Beras sebagai salah satu pangan utama (selain gula, jagung, daging, dan ikan), seperti yang pernah dilontarkan Wapres Boediono, tidak cukup dengan swasembada tetapi harus surplus yang cukup sehingga tercipta sabuk pengaman bagi terjaminnya ketahanan pangan kita dalam keadaan apapun. Risikonya terlalu besar kalau kita puas dengan keadaan pas-pasan karena kita selalu akan dihantui oleh kerawanan pangan, ekonomi, dan sosial.
Tahun lalu, menurut Aram III BPS, produksi padi 65,39 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara beras 37,27 juta ton. Dengan konsumsi 139,15 kg per kapita per tahun dan jumlah penduduk 241 juta jiwa, maka total konsumsi beras 33,54 juta ton. Berarti, sebenarnya, kita surplus beras 3,73 juta ton atau hampir setara dengan konsumsi sebulan.
Tapi, mungkin, karena surplusnya tipis atau pas-pasan, tahun lalu kita masih mengimpor beras 1,6 juta ton atau 4,29 persen dari produksi atau 4,77 persen dari konsumsi. Menurut Mentan Suswono pada Seminar Nasional Meningkatkan Produksi Padi Nasional: Mencapai Surplus 10 Juta Ton Beras, yang dilaksanakan AGRINA di Jakarta, Rabu (14/12), gara-gara impor 1 juta - 2 juta ton beras, upaya menghasilkan 37,27 juta ton tadi terdistorsi. Misalnya menekan harga beras, sehingga menekan kesejahteraan petani padi.
Melalui Inpres No. 5 Tahun 2011 tertanggal 2 Maret 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menginstruksikan kepada 16 Menteri atau setingkat Menteri dan para kepala daerah (gubernur dan bupati atau walikota) dalam mengamankan produksi beras nasional untuk menghadapi kondisi iklim ekstrem. Bahkan sebelas hari setelah Inpres itu keluar, Mentan Suswono menyatakan, tidak cukup hanya surplus 4 juta - 5 juta ton beras, tapi surplus 10 juta ton. Surplus, berarti ada kelebihan produksi setelah dikurangi konsumsi.
Ada dua jurus untuk mencapai surplus 10 juta ton beras, yaitu menggenjot produksi atau menekan konsumsi sehingga tercapai surplus sebesar itu. Jurus mana yang dipilih? Jika melalui jurus produksi, surplus 10 juta ton beras atau setara 17,54 juta ton GKG, dengan produktivitas 5 ton per hektar per musim tanam, diperlukan lahan panen 3,51 juta hektar. Jika Indeks Pertanaman 200 persen, maka dibutuhkan tambahan lahan baku padi (sawah) 1,76 juta hektar. Diperkirakan, menurut Dirjen Tanaman Pangan Udhoro Kasih Anggoro, total anggaran untuk meraih surplus melalui jurus produksi ini mencapai Rp19 triliun.
Selain jurus produksi, menurut Bungaran Saragih, Guru Besar Agribisnis, kita dapat menciptakan surplus 10 juta ton beras melalui pengurangan konsumsi. Berdasarkan data 2010, konsumsi beras per kapita per tahun di Indonesia sekitar 139,15 kg. Tapi tahun lalu, BPS merilis konsumsi sekitar 113,48 kg. Bandingkan dengan rata-rata konsumsi beras di dunia sekitar 64 kg. Menurut Menteri Pertanian periode 2000 – 2004 itu, lebih mudah mengurangi konsumsi daripada menggenjot produksi, apalagi surplus 10 juta ton.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2010, konsumsi karbohidrat (salah satunya bersumber dari nasi) di Indonesia sekitar 61 persen dari porsi gizi seimbang 50-60 persen. Konsumsi lemak 26 persen dari porsi gizi seimbang 25 persen. Sedangkan konsumsi protein hanya sekitar 13 persen dari porsi gizi seimbang 15 persen. Memang konsumsi beras kelompok menengah ke atas tetap lebih rendah ketimbang daerah-daerah dengan kemiskinan tinggi.
Semestinya, semakin tinggi pendapatan, yang tahun lalu sekitar US$3.005 per kapita, pola konsumsi akan bergeser dengan pengurangan konsumsi karbohidrat dan diganti dengan peningkatan konsumsi protein (daging ayam, telur, daging sapi, dan ikan), vitamin, dan mineral. Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber vitamin dan mineral.
Tapi pola makan yang menjadikan nasi sebagai makanan utama dan roti atau mi sebagai makanan selingan, mengakibatkan konsumsi karbohidrat berlebihan. Apalagi dengan kurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan serta kurangnya aktivitas fisik (seperti berolahraga), akan memicu semakin banyaknya penderita penyakit degeneratif, seperti kanker, diabetes, jantung, dan stroke (penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak).
Selama ini, pengurangan konsumsi beras dikampanyekan dengan penganekaragaman sumber karbohidrat selain beras seperti umbi-umbian, sehingga diharapkan masyarakat akan mengurangi konsumsi beras. Semestinya, yang dikampanyekan itu adalah makanan sehat, beragam, dan berimbang. Karena itu, menurut Bungaran Saragih, dalam menekan konsumsi beras ini perlu menyertakan Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, pada Kementerian Kesehatan akan terdapat mata anggaran untuk mengurangi konsumsi beras.
Selain itu, secara total konsumsi beras ini berkaitan dengan jumlah penduduk. Setiap tahun penduduk bertambah 1,49 persen atau 3,59 juta jiwa. Jika konsumsi masih 139,15 kg per kapita per tahun, setiap tahun diperlukan tambahan beras 0,5 juta ton. Karena itu, untuk menekan konsumsi beras juga diperlukan koordinasi dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional untuk menekan laju pertambahan penduduk per tahun.
Jadi? Jika penggenjotan produksi padi diimbangi pengurangan konsumsi, dan dibarengi penekanan laju pertambahan penduduk, tidak sulit untuk meraih surplus 10 juta ton beras.
Syatrya Utama