Dengan berkelompok, petani dapat merebut nilai tambah, tidak hanya pada tingkat on-farm, tapi juga off-farm.
Kita sering berbicara kesejahteraan petani. Jika kita lihat pada rantai agribisnis, menurut penelitian Bayu Krisnamurthi, nilai tambah pada budidaya (on-farm) sekitar 9 persen, off-farm (pengolahan atau agroindustri, perdagangan besar, pengecer, dan distribusi) 79 persen, dan pada manufaktur sarana produksi (seperti pupuk, benih, alsintan,dan pestisida) 12 persen.
“Ternyata, dari studi, nilai tambah pada on-farm dibanding off-farm itu satu berbanding delapan,” kata Jamil Musanif, Direktur Pengembangan Usaha dan Investasi (PUI), Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Kementerian Pertanian, kepada AGRINA (23/11). “Artinya, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, petani itu harus melakukan diversifikasi usaha vertikal,” kata alumnus Fakultas Pertanian UGM itu.
Diversifikasi Vertikal
Diversifikasi usaha vertikal, berarti petani harus merebut nilai tambah yang terdapat pada off-farm sehingga total nilai tambahnya meningkat. Misalnya nilai tambah dari pengolahan, jasa distribusi, dan lainnya. “Nilai tambah yang selama ini tidak dinikmati petani, menjadi dinikmati petani,” kata pria kelahiran Kalianda, Lampung, 31 Maret 1956, itu.
Namun, menurut suami Putri Siswandewi ini, untuk merebut nilai tambah pada off-farm sulit dilakukan petani secara individu. Karena itu, petani harus membentuk kelompok seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani ataupun koperasi sehingga skala usahanya lebih ekonomis. “Dengan bergabung, bisa melakukan diversifikasi usaha vertikal,” lanjut ayah dua anak ini.
Agar kelompok tadi menjadi institusi agribisnis, maka harus memperhatikan empat pilar. Pertama, sumberdaya, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya kelembagaan usaha. Kedua, pilar teknologi. Dalam era perdagangan bebas, teknologi itu sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah. Ketiga, permodalan. Kempat, pasar, termasuk promosi di dalam dan luar negeri.
Secara spesifik, masing-masing pilar itu sudah ada yang menanganinya. Misal, teknologi, ada Balitbang; SDM, ada Badan Pengembangan SDM; pembiayaan, ada Direktorat Pembiayaan Pertanian; dan pemasaran, ada Direktorat Pemasaran (Dalam Negeri dan Internasional). “Tugas kami, mengemas empat pilar tadi untuk memperkuat pelaku,” urai alumnus Program Magister Ilmu Pemerintahan dari Universitas Satyagama, Jakarta, ini.
Salah satu caranya melalui kemitraan, baik sesama berskala usaha kecil maupun berskala usaha menengah atau besar. Dengan kemitraan, keempat pilar tersebut bisa sekaligus berkembang, baik sumberdaya, teknologi, permodalan, maupun pasar. Selain itu, pemberian insentif two-in-one, dengan syarat sumberdaya dan akses pasar sudah kuat.
Insentif two-in-one ini berupa teknologi dan pembiayaan. Komponen insentif teknologi ini berupa peralatan, pendampingan, dan tenaga ahli, yang sumber pendanaannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan insentif pembiayaan, berupa fasilitas mendapatkan dana bank (kredit program maupun komersial) atau corporate social responsibility (CSR), dalam bentuk mencarikan avalis dari swasta. “Insentif teknologi itu dari dana APBN, sedangkan insentif pembiayaan itu dari swasta,” tuturnya.
Nilai Tambah
Untuk menggenjot nilai tambah, pemerintah mendorong agroindustri pedesaan yang berbasis bahan baku lokal. Misalnya susu. Pilihannya UHT (Ultra High Temperature), pasteurisasi, atau susu bubuk. Tentu, yang dipilih UHT atau pasteurisasi karena bahan bakunya dari peternak. “Filosofinya ada linkage antara pengembangan industri dan kesejahteraan petani. Jangan industrinya berkembang, tapi (kesejahteraan) petaninya nggak terangkat,” ucap mantan anggota tim tata ruang nasional ini.
Promosi, merupakan salah satu upaya pengembangan pasar. Promosi di dalam negeri, misalnya melalui Agrinex dan Agro & Food Expo, tidak saja bertujuan meningkatkan konsumsi, tapi juga kesehatan, seperti mengonsumsi sayuran dan buah-buahan. Sedangkan promosi di luar negeri, biasanya berdasarkan komoditas. “Tentu yang sudah siap ekspor, baik dari segi pelakunya maupun komoditasnya,” imbuhnya.
Jadi, Direktorat PUI ini mempunyai tugas yang mulia, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani. Pada 2013, akan dilakukan melalui pendekatan pada sentra produksi (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan). Dengan sentuhan P2HP, sentra ini menjadi kawasan pembangunan berbasis agribisnis (Kapemba) karena nilai tambah akan berada di level petani dan masyarakat pedesaan pada umumnya. “Ini merupakan upaya nyata dan langsung dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani,” tegasnya.
Syatrya Utama, Tonthowi Jauhari