Rasa bosan yang melandanya justru membawanya menjadi petani melon. Bahkan, kini buah melon menjadi ikon Provinsi Banten.
Melihat gersangnya tanah di wilayah Cilegon dan sekitarnya, tidak akan ada yang menyangka ada komoditas pertanian dapat bertahan. Namun, kenyataannya, buah melon yang dijual di berbagai swalayan buah segar di kota-kota besar berasal dari Kota Baja ini. Ade Dwi Adedi-lah yang menjadi sang pelopor.
Ade, sapaan lelaki 47 tahun itu, sejatinya tidak punya darah pertanian dari kedua orang tuanya. Kejenuhanlah yang membuatnya menekuni dunia pertanian. “Saya delapan tahun bertugas di perpustakaan. Karena kesal, bosan (menunggu pengunjung) saya membaca buku-buku pertanian. Kok asyik. Begitu mengenal, saya jadi ketagihan,” kenang Ade saat berbincang dengan AGRINA di kediamannya di Cilegon, Banten.
Berbekal pengetahuan yang dipelajarinya secara otodidak, pada 2005 Ade mulai menanam melon. “Saya coba dari satu-dua pack (benih melon). Belum ada yang mencoba golden melon itu. Saya ajari masyarakat di sini, satu-dua orang, terus berkembang. Bahkan dari sini bisa dihasilkan 20-30 ton melon per minggu. Saat ini, untuk benih satu jenis melon saja kita bisa sampai Rp160 jutaan per bulan. Sampai sekarang malah jadi ikon Provinsi Banten,” ujar pengguna benih dari PT Known You Seed ini.
Bertani Itu Pilihan
Aksi coba-coba ini pun berlanjut. Dari 1.000-2.000 tanaman yang dicobanya, Ade mendapatkan pasar. Saat itulah lelaki asli Serang ini aktif mengajak warga masyarakat sekitarnya. Tidak mudah memang mendapatkan kepercayaan masyarakat untuk mengikuti jejaknya. Dengan menunjukkan bukti-bukti nyata, saat ini petani binaannya mencapai 300 orang yang tersebar di wilayah Cilegon, Anyer, Labuan, Panimbang, Rangkasbitung, dan Tangerang.
Kiat untuk mendapatkan kepercayaan petani, urai Ade, adalah dengan dua kunci penting. “Pertama, kami buktikan dulu secara pribadi. Kalau belum kami buktikan, mereka tidak akan ikut. Kedua, bawa mereka dengan kejujuran dan ketulusan. Mereka itu orang-orang jujur, setia, dan polos. Mereka sangat lugu, ketika kami bawa dengan baik, mereka akan jadi pembela-pembela yang siap melindungi kita lho,” ungkapnya.
Tidak semata mengajarkan ilmu budidaya kepada petani, suami Mulyasih ini pun menanamkan pengertian bahwa profesi petani adalah pilihan. “Kalau kita bertanya pada petani tradisional kenapa jadi petani, jawabannya kebanyakan terpaksa. No choise. Saya ingin membalik. This is your choise. Itu yang kami buktikan,” ucapnya. Ditambahkan Ade, petani binaannya pun mayoritas pemuda yang di kota besar umumnya gengsi terjun ke pertanian.
Mencangkul dengan ponsel adalah ilmu lain yang diajarkan Ade kepada petani-petani binaannya. “Mereka bingung. Pertama, memang kita pakai otot dulu, selama satu kali tanam. Lalu 50 persen kita kurangi pakai otot. Kalau dulu nyangkul sendiri, sekarang Anda tidur di rumah, tukang cangkul tinggal ditelepon, bikin bedengan 15 meter. Apa tidak enak? Sekarang, mayoritas petani melon seperti itu, bagaimana tidak bangga melihatnya?” papar lulusan STIA Serang ini.
Bantuan yang diberikan Ade memang tidak tanggung-tanggung. Tidak hanya pendampingan budidaya, tapi juga pinjaman modal, sarana produksi, hingga jaminan pasar. Uniknya, ayah Rizka Hakiki dan Selma Damayani ini tidak mengikat petani-petani melonnya, “Saya justru senang kalau mereka sudah lepas, punya pasar sendiri. Itu artinya saya berhasil membina mereka.”
Kenali dan Cintai
Melon yang dihasilkan kelompok tani binaan Ade telah dipasok ke berbagai swalayan buah segar, bahkan diekspor ke Singapura sejak 2006. Namun, lelaki rendah hati ini menolak dikatakan sukses. “Saya bingung kalau dapat undangan jadi pembicara kisah sukses. Sukses dari mana? Saya hanya menjalankan, hasilnya ya begini,” paparnya ringan.
Kalau diundang jadi pembicara seminar, tutur Ade, dia kerap menjelaskan dirinya bukan pengelola perusahaan. Pekerjaannya hanyalah mengurus petani. “Saya lebih suka diundang pihak yang langsung melakukan pembinaan dan lebih asyik lagi jika langsung bertemu dengan para petani di lapangan. Satu hal yang lebih penting lagi adalah kegiatan apapun siap kerja sama yang penting ada nilai tambah bagi petani,” katanya.
Keberhasilan kegiatan itu sudah banyak mendapat kunjungan para pejabat, mulai dari Menteri Pertanian, Komisi VI DPR RI, Dirjen Hortikultura dan lain-lain. Mungkin hanya Presiden yang belum pernah datang ke Cilegon. Ia menambahkan, pada akhirnya yang paling penting adalah bisa memberikan manfaat bagi orang lain dan ternyata materi pun dapat diperolehnya. “Ada pepatah yang bijak, kalau tujuannya mencari uang, kita akan lelah mengejarnya, tapi kalau tujuannya ingin bermanfaat bagi orang lain insya Allah uang akan mengikutinya,” kutipnya.
Perencanaan Jauh ke Depan
Salah satu hal yang membedakan petani binaan Ade dari kebanyakan petani lain adalah adanya perencanaan produksi dan pemasaran yang telah dipikirkan jauh sebelumnya. Bahkan, perencanaan itu bersifat jauh ke depan. Ini diakui juga kalangan akademisi yang mencermati kegiatan petani binaan Ade.
“Mendengar pengakuan itu, saya ketawa. Ini terjadi tanpa sadar begitu. Padahal, saya hanya mengupayakan agar wadah ini berfungsi. Kami hanya menjamin pasar, tawar-menawar dan bernegosiasi dengan pasar. Petani di sini kami suplai kebutuhannya, jamin harganya, jadi kami berdiri di tengah, begitu saja,” lanjut Ade. Meskipun, memang, ia mengakui ada pula sentuhan-sentuhan khusus terhadap petani binaannya, seperti diajak berpikir lebih maju.
Yang jelas, dampak positif kegiatan Ade dan para petani mitranya tak bisa dipandang enteng. Kini, Cilegon malah dikenal sebagai “Kota Balon”. Menurut Ade, julukan itu diberikan seorang dosen fakultas pertanian saat diadakan sebuah simposium. “Waktu itu, saya jadi narasumber. Saat saya datang, dosen itu menyebut Cilegon sebagai Kota Balon. Saya tanya, apa itu balon? Ternyata baja dan melon,” kenang Ade.
Namun, seperti dalam semua kisah sukses, biasanya selalu ada saja suara miring yang muncul. Hal ini diakui oleh Ade, dan dia juga punya kiat melawannya. “Tentu ada juga yang tidak suka, terasalah. Toh, kata para petani, mau diterjang angin kayak apapun, kalau akarnya kokoh mah nggak roboh. Itu bahasa petani lho. Kalau bahasa Jawa sini, yo wis, meneng bae. Diam saja,” tandasnya.
Renda Diennazola, Syaiful Hakim