Green City, garden city, atau green living yang tengah berkumandang akhir-akhir ini sebenarnya bukanlah hal baru. Konsep kota hijau serta sistem membangunnya sudah ada di Inggris dan Amerika sejak peralihan abad 19 ke abad 20. Adalah Ebenezer Howard, seorang Inggris yang visioner yang mendesikripsikan dalam bukunya “To-Morrow: A Peaceful Path to Real Reform” (1898) kota impian di mana masyarakat hidup harmonis dengan alam. Buku itu dicetak ulang pada 1902 dengan judul “Garden Cities of Tomorrow”. Publikasi itu sangat menggugah dan membangkitkan gerakan membangun kota taman. Sir Ebenezer Howard mendirikan “Garden Cities and Town Planning Association” (1913, kini bernama International Federation for Housing and Planning-IFHP).
Belanda membawa konsep kota taman ke tanah jajahannya dan menerapkannya di kota Batavia, Bandung, Surabaya. Tengoklah kawasan Menteng dan Kebayoran Baru di Jakarta yang dibangun pada 1930-an dan akhir 1940/awal 1950. Sampai akhir 1950-an kita masih menikmati kawasan Menteng, Kebayoran Baru di Jakarta dan kawasan Cipaganti, Dago, di Bandung Utara, serta kawasan Darmo di Surabaya, yang asri dan hijau. Di tepian jalan-jalannya, maupun di lingkungan fasilitas publik dan pekarangan rumah-rumahnya. Memang belum sepenuhnya 3R (reduce, reuse, recycle), tapi jelas pepohonan mengurangi terik matahari, meneduhkan iklim kota, dan menyerap air hujan.
Masa itu masih benar-benar ada taman-taman kota (kini tinggal nama jalannya), dan juga sistem saluran dan kolam tempat “parkir” air. Masih ada lorong selebar dua meter di antara barisan pagar belakang rumah/persil bangunan. Lorong itu disebut “brandgang”, yakni gang untuk dilewati pemadam kebakaran. Di bawah gang-gang tersebut terdapat gorong-gorong yang disebut “riool”, yang meliuk-liuk di sela-sela perumahan, dan terhubungkan pada kanal-kanal. Jaringan riool ini berfungsi sebagai saluran air hujan atau sebagai tempat parkir air bila selokan dan kali meluap. Ia menjadi drainase sekaligus mengademkan tanah permukaan. Kota menjadi adem atas bawah. Kini brandgang itu sudah tiada karena sudah diambil untuk memperluas halaman belakang rumah (berbagi rata dengan tetangganya), riool-nya sudah tertutup.
Di Kebayoran Baru semula ada jalur hijau mulai dari Petogogan di Blok A, membelah di antara Jalan Barito dan Jalan Langsat, menyusur di depan Jalan Leuser, melintasi Senayan sampai ke Rawa Simprug. Kini green belt itu hanya tersisa di antara Jalan Barito dan Jalan Langsat dan di depan Jalan Leuser. Dulu ada kolam Blok P yang menjadi tempat penampungan air. Kini kolam itu sudah berubah jadi perumahan dan driving range. Karena itu air hujan yang tidak lagi punya penampungan di selokan, riool, kolam, kanal dan sungai, mengklaim tempatnya di jalan raya dan pemukiman penduduk. Ini hanya beberapa contoh.
Mengacu pada environment kota-kota besar di Jawa yang pernah kita nikmati, ramai- ramai green city sekarang ini, sebenarnya kemunduran atau ketertinggalan kita selama lebih 60 tahun. Rupanya para pemimpin republik yang pada 1950 mengambil alih pemerintahan dari Belanda, bacaannya lebih berat ke politik. Dan pemerintahan- pemerintahan RI berikutnya juga masih berkutat pada politik dan ekonomi pembangunan. Masalah kesejahteraan rakyat yang berhubungan sebab-akibat dengan lingkungan alam sekitarnya baru bangkit belakangan ini, yang dipelopori oleh pers, LSM dan organisasi-organisasi nirlaba. Kesadaran baru itu kini mewujud pula dalam gerakan masyarakat seperti Greenmap, Green Building Council. Para developer juga ngetren, memakai label green dalam jualannya. Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian memfasilitasi program green city untuk sepuluh kota. Pemerintah DKI dan pemerintah kota-kota besar juga melaksanakan pembangunan kota hijau.
Kegiatan penanaman pohon sebenarnya tangible dan bisa dinilai dengan uang. Dari penelitian di Kalifornia, sebuah pohon besar dan rimbun di halaman depan rumah (di Kalifornia Tengah) memberi benefit senilai US$111, dalam nilai itu terdapat US$30 penghematan tagihan listrik untuk AC, US$45 kredit untuk penyerapan emisi karbon kendaraan bermotor, US$6 penghematan biaya pengelolaan kualitas air dan pengendalian banjir.
AGRINA tentunya menyoroti kota hijau dalam hubungannya dengan agribisnis. Karena keterkaitannya dengan pertamanan, dengan penanaman pohon hias dan penempatannya di lobi gedung-gedung tinggi dan di pekarangannya. Kaitannya dengan para petani dan pekebun hortikultura besar dan kecil. Membuka peluang besar untuk bisnis yang sehat dan yang menyehatkan, baik bagi pelaku bisnis hortikultura, pelaku bisnis properti, pemerintah kota dan warganya. Karen Tambayong, Ketua Komite Green City, yang juga pengusaha hortikultura mengatakan green city, ujung-ujungnya akan meningkatkan penjualan tanaman, mengembangkan bisnis-bisnis baru seperti landscaping, nursery, dan bisnis konsultan. Lalu ia menyarankan para grower, akademisi, environmentalist, horticulturist, botanist, dikumpulkan untuk melihat tanaman apa yang cocok suatu kota atau daerah.
Daud Sinjal