Dia memilih pensiun dini demi membudidayakan kerapu tikus. Meskipun awalnya berat, kini usahanya turut menghidupi warga sekitar.
Saat bertugas di Sumatera, Mulia Bangun Sitepu kerap menyempatkan diri refreshing sambil melihat-lihat kondisi daerah itu. Maklum, staf di Departemen Pekerjaan Umum ini juga punya hobi jalan-jalan. Ketika melihat keramba jaring apung di laut yang digunakan untuk budidaya kerapu, dia pun amat tertarik.
Dia ingin mengetahui lebih banyak tentang kerapu, dijual ke mana dan harganya berapa. “Saat itu, petaninya bilang dijual ke luar negeri dengan harga sekitar 12 dollar AS per kilonya,” cerita Sitepu saat mengobrol dengan AGRINA.
Dari situlah, Sitepu mulai tertarik berusaha di keramba jaring apung meski tak memiliki latar belakang budidaya ikan laut. Namun, hitung-hitungan keuntungan yang lumayan membuat tekadnya kian kuat. “Saya pikir, kalau usaha ini ditekuni dengan baik dan serius, bisa jadi usaha setelah pensiun dari kedinasan,” katanya.
Dia pun mulai belajar dan bertanya kepada siapa saja tentang usaha budidaya kerapu yang akan digelutinya itu. Karena masih awam, Bangun memilih lokasi budidaya kerapunya di dekat Balai Budidaya Laut (BBL) di Lampung. “Agar saya nantinya bisa dibina dan kalau terjadi apa-apa bisa cepat,” alasannya.
Pria ini pun tak segan terjun langsung dalam memimpin anak buahnya. Dia tidak ingin banyak melakukan kesalahan dalam bekerja. “Kami hanya ingin meminimalkan kesalahan dan selalu berusaha menjadi lebih baik,” tegas Ketua Forum Komunikasi Kerapu Lampung ini.
Tak mengherankan jika usaha yang dikembangkan Direktur CV Laut Biru Persada di Tanjung Putus, Lampung, ini juga berdampak bagus bagi masyarakat sekitarnya. Bahkan, beberapa anak buahnya berasal dari warga di sekitar tempat usahanya, terutama yang putus sekolah tapi bersemangat untuk bekerja. “Ini satu bentuk kepedulian dan sebagai tanda terima kasih kepada mereka yang memberikan kesempatan kepada kami untuk berusaha di wilayah mereka,” ucap Ketua Ikatan Batak Muslim (Ikabamus) dan Perkumpulan Muslim Karo ini.
Pilih Pensiun Dini
Mulanya, kesibukan Sitepu sebagai abdi negara membuatnya kurang berkonsentrasi pada usaha yang baru dikembangkannya itu. Namun, setelah beberapa bulan, mulailah usaha yang dirintisnya itu menampakkan perkembangan. “Ada kehidupan dan bagus. Tapi, karena populasinya (ikan) terlalu padat, kematiannya juga banyak,” katanya.
Kala itu, total kematian ikan mencapai 90 persen dari penebaran 2.000 ekor benih. Tapi, hal ini tidak membuat lelaki itu menyerah dan kapok. “Karena masih ada yang hidup, saya yakin pasti bisa diusahakan. Karena kematian dalam usaha pembesaran kerapu pasti ada, jelas pasti ada pula solusi mengatasinya,” cerita Sitepu.
Yang jelas, lanjut dia, karena ada ikan yang hidup, berarti usaha ini layak dikembangkan. “Hanya tinggal proses teknologi untuk memperkecil kematian,” katanya.
Setahun setelah itu, Sitepu semakin memfokuskan dirinya ke usaha tersebut dan memutuskan memilih pensiun dini. Dia pun mencari perairan yang paling cocok bersama staf dari BBL Lampung. “Menurut mereka, yang paling cocok adalah Tanjung Putus karena sesuai dengan persyaratan parameter budidaya,” paparnya mengenang saat pertama kali pindah ke Tanjung Putus pada 1999.
Membentuk Konsorsium
Sejak saat itulah Sitepu menekuni budidaya kerapu tikus di Tanjung Putus. Sudah 10 tahun usaha itu dilakoninya dan tetap eksis sampai hari ini. Bahkan, bersama sesama pelaku budidaya kerapu, dia pun mencoba membentuk konsorsium kerapu.
“Yah, ini memang masih wacana dan baru diusulkan ke pemerintah. Konsorsium inilah yang akan memfasilitasi pembudidaya kerapu, baik dari segi pemasaran maupun teknik budidayanya. Masak, pemerintah tak bisa mencarikan orang berduit untuk membentuk konsorsium?” tanyanya.
Budidaya kerapu memang membidik pasar yang menjanjikan dan Indonesia selalu belum bisa memenuhi permintaan pasar tersebut. Inilah yang selalu dikumandangkan, potensi bagus dan harus dikembangkan. Namun, tidak ada tindakan nyata yang membantu mewujudkannya.
“Jadi, ngapain didengungkan berpotensi jika pemerintah tak membantu? Bilang saja tutup buku, tidak ada potensinya. Berpotensi tapi tidak ada orang yang berinvestasi di bidang itu berarti tidak ada potensi,” keluh Sitepu.
Belum Ada Kepercayaan Bank
Hingga saat ini, dalam mengusahakan budidaya kerapu, Sitepu masih harus mengembangkan usahanya dari kocek sendiri, tanpa bantuan perbankan. Namun, dengan kerja keras dan ketekunan, dia mampu bertahan hingga 10 tahun di bawah bendera usaha CV Laut Biru Persada.
Sitepu bersama sesama pembudidya lainnya tak kenal lelah berupaya menunjukkan bahwa budidaya kerapu layak mendapat kepercayaan perbankan. Memang, mereka menyadari perbankan tentu akan selalu mengutamakan prinsip kehati-hatian. Tapi, ini justru menjadi tantangan bersama bagi para pembudidaya agar mereka bisa bersinergi bersama.
“Perbankan selama ini hanya melihat perbandingan antara budidaya kerapu dan budidaya ikan jenis lain, terutama air tawar, yang bisa dilakukan dengan modal tak lebih Rp50 juta,” cetusnya. Padahal, budidaya kerapu ini tidak bisa disamakan dengan budidaya ikan konsumsi lain yang pemeliharaannya tidak lebih dari tiga bulan. Budidaya kerapu cukup panjang, bisa mencapai 18 bulan.
Selama ini, Sitepu hanya bisa memanfaatkan kredit komersial dengan bunga relatif cukup tinggi, mencapai 15 persen. Toh, dengan bunga sebesar itu pun pembudidaya masih mau. “Sampai kapan? Kalau kita pengin mengembangkan kerapu, harusnya ada kredit lunak untuk usaha ini sehingga pembudidaya bisa memajukan usahanya. Jika tidak, begini-begini saja,” tukasnya.
Bahkan, aset usaha yang menjadi tumpuan hidup para pelaku usaha budidaya kerapu seakan tidak pernah dihitung oleh perbankan. Pernah Sitepu mencoba meminjam dana ke perbankan dengan agunan aset usaha miliknya, tapi hasilnya tak sesuai harapan. Tidak lebih dari seperempat total pinjaman yang bisa diberikan kepadanya.
“Saya rasa tidak mungkin pembudidaya lari. Masak, gara-gara Rp200 juta dia tinggalkan yang Rp1 miliar? Itu tidak mungkinlah secara logika. Apalagi usaha ini merupakan tulang punggung pendapatannya dan sudah ditekuni selama lebih dari lima tahun,” pungkasnya bernada protes.
Tri Mardi Rasa