Minggu, 23 Oktober 2011

Prospek Cerah Waralaba Ayam Lokal

Waralaba adalah perangkat bisnis yang jelas membuka lapangan pekerjaan kepada banyak orang, terutama lulusan sekolah menengah. Mempekerjakan orang-orang dengan pendidikan rendah bahkan tujuan utama ibu-ibu pendiri Ayam Goreng Fatmawati,  “Kita levelnya anak-anak SMA semua, kecuali untuk level supervisor yang D1, D3 atau S1,” kata Marketing Manager PT Ayam Goreng Fatmawati Indonesia Firman Rudiyanto. Tengoklah McDonald’s perusahaan waralaba dunia yang merekrut calon karyawannya yang rata-rata juga lulusan high school. Yang kemudian dididik dan dilatih di Hamburger University, dan sudah 80.000 (sejak 1961) menjadi manajer restoran-restoran franchise McDonald’s di seluruh dunia.

Burang Riyadi dari International Franchise Business Management (IFBM) Consulting mengungkapkan, sejak 2006 omzet waralaba tumbuh di atas 40 persen. Pada 2008 total omzet waralaba di Indonesia yang baru 700 merek mencapai Rp4 triliun per bulan. Sekarang dengan 1.700–2.000 merek, total omzetnya mencapai Rp15,6 triliun per bulan. Bersamaan dengan itu, rata-rata ada 11 ribu gerai baru yang dibuka per bulan. Berarti  ada 11 ribu pengusaha baru. Kalau satu gerai bisa menyerap tenaga kerja 2–6 orang lebih, dikalikan 11 ribu, maka jumlah pengangguran bisa berkurang 22 ribu–66 ribu per bulan (Majalah Marketing, 30/09-2011).

Waralaba makanan dan minuman paling bermekaran di kawasan Asia Pasifik dalam lima tahun terakhir ini. Pemainnya ratusan, yang sebagian besar penduduk lokal. Mereka menebar jaringan, menjalin kerjasama, membangun waralaba di dalam negerinya sendiri atau merambah ke negara tetangga. Di Indonesia, menurut Anang Sukandar, Ketua Umum Asosiasi Franchise Indonesia, revenue dari bisnis waralaba tahun ini bisa mencapai Rp135,4 triliun, naik 18 persen dari angka 2010. Dari revenue gabungan itu, waralaba bidang makanan merupakan kontributor terbesar, tahun ini bisa mencapai Rp49 tiliun.

AGRINA edisi ini menyoroti bisnis waralaba food and beverages tersebut, khususnya para pemain lokal waralaba ayam. Harapan kita, pewaralaba ayam lokal bisa menjadi tuan di pasar domestik, bahkan bisa merambah ke negeri tetangga. Franchising ayam lokal yang kita kenal antara lain: Ayam Goreng Fatmawati, CFC (California Fried Chicken),  Ayam Goreng Sabana, Ayam Tulang Lunak, Ayam Kremes Kriuuk, Dobbi Burger and Fried Chicken, Quick Chicken, Ayam Bakar Mas Mono, Ayam Goreng Suharti, Mbok Berek Ny.Umi dan banyak lagi. Kita mendapatkan banyak bukti dan prospek positif bagi waralaba ayam lokal ini. 

Indonesia dengan ratusan juta warganya yang pemakan ayam adalah pasar yang demikian besar. Pemain yang datang dari luar negeri dan pemain lokal tidak perlu berbenturan karena segmen yang dituju berbeda. Yang gerobak dan yang restoran atau warung juga punya pangsa masing-masing. Pemodal besar dan UKM tidak perlu bersaing karena bisa franchising. Bagi Irawan Kusumo Winarto, pemilik Dobbi Burger and Fried Chicken, bisnis ayam olahan selalu berprospek cerah. Buktinya ia mampu mengembangkan 48 gerainya melalui business opportunity. Sebanyak 40 persen di antaranya yang di luar Jawa mengandalkan pasokan dari rumah potong ayam lokal, berarti memajukan peternakan ayam di daerah tersebut. Omzet Dobbi di luar Jawa cukup tinggi, ceruk pasarnya pun masih sangat besar. Bagi Bedi Zubaedi, Presiden Direktur Quick Chicken, yang berpusat di Yogyakarta, masuknya banyak franchise dari luar harusnya tidak jadi masalah. Kita lebih tahu kemauan dan cita rasa lokal. Tapi kita bisa belajar banyak dari mereka untuk memperbaki diri.

Waralaba sungguh cocok untuk perusahaan kecil dan menengah atau pun sebagai business opportunity yang menggandengkan pemodal besar dengan pengusaha menengah dan kecil. Manakala dikembangkan sampai ke daerah-daerah, ia pun membangun ketahanan ekonomi setempat dan memperkecil kesenjangan antar-wilayah.  Hanya saja pebisnis waralaba ayam lokal masih dihadapkan dengan masalah air, listrik, transportasi dan sarana jalan yang rusak. Sehingga waralaba ayam lokal masih bertumpu di Pulau Jawa. Pemerintah dipandang masih kurang memberi perhatian atas peran waralaba lokal ini yang sesungguhnya amat strategis bagi  percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi.

Sekadar membandingkan: di Malaysia pameran franchise dibuka oleh Perdana Menteri, sementara di sini dibuka oleh pejabat setingkat direktur. Di Thailand pemerintah menyangoni para pelaku bisnis waralabanya yang mengikuti pameran internasional.  Kementerian negara, lembaga pemerintah atau asosiasi di Australia, China, Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan, dan Vietnam giat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan setara diploma untuk mendapatkan personel dan sumber daya manusia yang bisa diandalkan di bisnis ini. Di China malah ada pendidikan tinggi yang membuka program S1 bidang international franchise.  Di Korea, pemerintah mengeluarkan dana jutaan dolar untuk menengahi perkara yang timbul antara franchisor dan franchisee.  Pemerintah Singapura dan Malaysia memberi dukungan finansial kepada perusahaan yang memperluas usahanya via franchising.

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain