Tahun 2011 ini, genap 100 tahun budidaya kelapa sawit dikomersialkan di Indonesia. Pada 1911, dua perkebunan sawit dibangun di Sumatera Utara (kini milik PTPN IV), maka puncak perayaan 100 tahun kelapa sawit itu dipusatkan di Medan (28-30 Maret 2011). Perkebunan kelapa sawit kini telah tersebar di 22 provinsi dengan luas meliputi 8,4 juta hektar. Departemen Pertanian Amerika (US Department of Agriculture/USDA) menaksir produksi minyak sawit (CPO) Indonesia pada 2011 ini mencapai 25,4 juta ton, dan ekspornya 19,53 juta ton. Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, tahun lalu kelapa sawit memberikan devisa 12 persen dari total ekspor kita atau setara Rp122 triliun. Tahun ini akan menembus US$20,2 miliar atau Rp180 triliun.
Sejak 2006 Indonesia menjadi pemasok terbesar minyak nabati dunia. Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengingatkan tentang kebutuhan minyak nabati dunia (untuk pangan dan energi) yang tahun ini banyaknya 171,3 juta ton. Kebutuhan itu akan melonjak jadi 273,8 juta ton saat 2025 mendatang, maka diperlukan tambahan produksi 104 juta ton. "Indonesia satu-satunya harapan dunia untuk paling tidak menghasilkan 50 juta ton minyak sawit mentah pada 2025," kata Sahat pada seminar “Sinar Harapan” tentang industri sawit 24 Maret 2011. Dan memang pemerintah Indonesia pun sudah mencanangkan produksi sawit kita 40 juta ton tahun 2020. Lalu selaras dengan itu GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) juga menggariskan skema “3526”, yakni produktivitas 35 ton tandan buah sawit per hektar per tahun (TBS/ha/tahun) dengan rendemennya 26 persen CPO.
“3526” ini adalah lonjakan yang besar dan bisa dianggap mustahil mengingat produktivitas sawit kita yang sekarang ini masih sekitar 15 ton TBS per ha per tahun dan rendemen CPO 21-22 persen
Tahun 2010 luas lahan sawit diperkirakan baru mencapai 8,127 juta hektar (ha) dengan produksi CPO sebanyak 23,199 juta ton, artinya produktivitas tanaman sawit 3,717 ton minyak per ha. Untuk mencapai 40 juta ton pada 2020 atau 50 juta ton pada 2025, produktivitasnya harus dikejar sampai 4,5 ton minyak per tahun. Tapi menurut Dr. Witjaksana Darmosarkoro, Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit, berdasarkan hasil hasil penelitian, 3526 itu “sangat-sangat memungkinkan”. Beberapa perusahaan juga telah punya pengalaman mencapai 35 ton TBS/ha/tahun (bahkan lebih) dan 26 persen rendemen CPO.
Pencapaian ini tentu harus melalui efisiensi pada seluruh tahapan produksi, pengolahan dan pemasaran. Mulai dari bibit, pemupukan, hama penyakit, pabrik, sampai SDM. Apalagi seperti dikatakan oleh Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi peningkatan produksi CPO dua kali lipat itu tidak akan melalui perluasan lahan secara besar-besaran, melainkan dengan peremajaan kebun dan peningkatan kualitas benih. “Perluasan areal memang tetap diperlukan, namun pemerintah mengupayakannya melalui peningkatan intensifikasi, bukan melalui perluasan kebun atau ekstensifikasi”. Tahun 2015 kita diharapkan sudah menghasilkan 3526 tersebut, karena menurut Direktur Tanaman Tahunan, Rismansyah Danasaputra, benih-benih berkualitas yang direkomendasikan Kementerian Pertanian dalam waktu 3,5 tahun sudah bisa berbuah.
Skema 3526 “sangat sangat memungkinkan”, juga naga-naganya program yang lebih ke hulu ini akan lebih leading ketimbang hilirisasi. Hilirisasi sawit memang sedang ditempuh pemerintah antara lain dengan membangun cluster industri di Sei Mangke, Sumatera Utara, Dumai, Riau, dan Maloy, Kalimantan Timur. Namun, kendati Menko Perekonomian Hatta Rajasa, di tengah perayaan 100 tahun sawit, mengobarkan tentang keharusan mengolah kelapa sawit yang memberi nilai tambah, toh kementerian kementerian yang berada di bawah koordinasinya masih berjalan dengan business as usual-nya sendiri-sendiri. Aturan tata ruang belum sinkron antara Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah, tax holiday diterbitkan Kementerian Keuangan tapi pelaksanaannya belum jelas, Kementerian Perdagangan makin menambah daftar produk turunan sawit yang dikenai bea keluar, insentif suku bunga tetap saja enggan diberikan. Belum lagi infrastruktur pelabuhan, jalan, rel kereta api, listrik, yang belum memadai.
Apalah daya kalau Dr. Derom Bangun bilang investor lebih suka berinvestasi di sektor hulu dibandingkan hilir. Juga perbankan lebih tertarik mendanai investasi di hulu. “Sebab perbankan sudah memiliki success story untuk hulu. Sementara di hilir dianggap masih belum teruji”. Dihubungkan dengan “3526”, tampaknya kelapa sawit kita masih betah mendekam di hulu.
Daud Sinjal