Senin, 26 September 2011

Khalis Esbe : “Kita tidak boleh menyerah”

Ribuan nelayan dan petani rumput laut menggantungkan hidup kepada perusahaan ini.

Sejak kuliah, Khalis Syuaib Basthomi, yang biasa disapa Khalis SB alias Khalis Esbe, memang sudah berniat menjadi pengusaha. Alumnus Teknologi Industri Pertanian IPB 1984 ini biasa membawa batik Madura dan menjualnya di Bogor. “Saya ingin jadi pengusaha. Saya tidak ingin jadi pegawai negeri, takut korupsi,” tutur ayah dua anak ini.

Pria kelahiran Sumenep, Madura, 24 Februari 1961, ini bercerita tentang perjalanan bisnisnya ketika ditemui di Cafe Rollas, Tunjungan Plaza, Surabaya, beberapa waktu lalu. “Kita harus berani merintis usaha dari bawah. Kalau dari bawah, dengan jiwa yang baik, Insya Allah berhasil. Saya saja dari tidak ada modal. Bisa. Yang penting ada niatan,” kisahnya.

Kembali ke desa

Suami Aisyah Fath ini mengajak para sarjana kembali ke desa menekuni agribisnis, apalagi yang berbasis pangan. “Peluang agribisnis itu besar sekali. Jumlah penduduk semakin bertambah, lahan semakin berkurang. Mari kita tekuni agribisnis,” kata Khalis.

Setamat kuliah, anak keempat dari sebelas bersaudara pasangan H. Syuaib Basthomi dan Hj. Barirah ini mendirikan usaha sendiri di Desa Kapedi, Bluto, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Di sana, ia mengembangkan bisnis teri nasi (Stolephorus sp), yang lazim disebut Chirimen alias Anchovy. “Ikan teri nasi ini banyak diekspor ke Jepang,” ungkapnya. Setiap bulan, ia mengekspor sekitar 10 peti kemas (satu peti kemas 8 ton) teri nasi kering.

Di pasaran, teri nasi ini terdiri dari beberapa ukuran. Ukuran SS (0-1 cm), S (1,1 – 1,5 cm), S1 (1,6 – 2 cm), M (2,1 – 3 cm), dan L (> 3 cm). “(Konsumen) Jepang itu senang dengan size kecil, 2 cm ke bawah,” katanya. Di Madura lebih banyak ditemukan teri nasi yang berukuran S atau SS, sedangkan di Tuban, Jawa Timur, yang ukurannya lebih besar.

Selain di Madura dan Tuban, pemilik PT Marinal Indoprima ini juga mendapatkan pasokan teri nasi dari nelayan di Probolinggo, Cirebon, Indramayu, dan Banten. Harga teri nasi basah yang dibeli dari nelayan sekitar Rp10.000 per kg. Jumlah nelayan mitranya sekitar 1.000 orang. Jika setiap perahu ada 4-5 orang ditambah dengan anggota keluarganya, paling tidak 20.000 orang yang menggantungkan hidup pada perusahaan ini.

Setelah diolah dan dikeringkan, teri nasi diekspor dengan harga sekitar US$ 11 per kg CIF (cost, insurance, freight) atau harga sampai di negara tujuan ekspor. Tapi harga itu bervariasi tergantung pasokan di dunia. Pada 1996, perusahaan ini sempat merugi karena tim manajemennya kurang peka. Ternyata pasokan dari nelayan Jepang cukup tinggi, akibatnya permintaan dan harga turun. Namun, dengan melemahnya rupiah, yang mencapai Rp15.000 per dollar AS, gara-gara krisis moneter, kerugian bisa ditutupi.

Petunjuk Allah

Selain teri nasi, Khalis juga menekuni bisnis karaginan, yang diolah dari rumput laut Eucheuma cottonii. Rumput laut yang dipanen setiap 45 hari ini antara lain diperoleh dari petani di Cirebon, Madura, Bima, dan Kupang. Harga beli dari petani sekitar Rp10.000 per kg. Setelah dikeringkan (setiap tiga kilogram basah menjadi satu kilogram kering), diolah menjadi tepung (powder), baik menjadi refined carrageenan maupun semi-refined carrageenan. “Saya baru sampai yang semi-refined carrageenan,” terangnya.

Dengan tingkat kemurnian dan kejernihan yang tinggi, refined-carrageenan ini antara lain digunakan untuk bahan baku kosmetik, jelly, dan kapsul. Sedangkan yang semi-refined carrageenan, antara lain digunakan untuk pengemulsi (pengisi atau pengental) pada pembuatan bakso, sosis, sarden, dan burger. “Dengan karaginan ini, teksturnya lebih bagus,” imbuhnya. Eropa sudah banyak menggunakan karaginan sebagai pengemulsi ini.

Perusahaan Khalis antara lain mengekspor karaginan ke Denmark. Harganya (semi-refined carrageenan) sekitar US$1.400 per ton. Setiap tahun, perusahaan ini berhasil mengekspor sekitar 1.300 ton atau setara dengan bahan baku rumput laut basah sekitar 4.000 ton. Bahan baku ini dipasok dari sekitar 1.000 petani rumput laut. Ketika cuaca kurang bersahabat untuk menangkap teri nasi, para nelayan bisa menanam rumput laut.

Suatu hal yang membanggakan bagi Khalis. Para mitranya, baik nelayan ikan teri nasi maupun petani rumput laut, yang tadinya hanya berumahkan gubuk-gubuk, kini sudah banyak yang memiliki rumah beton. Itu indikator kemajuan yang kasat mata. “Melalui perusahaan ini, Allah telah menghidupi mereka,” tutur pemilik PT Marinal Indoprima ini.

Sebagai pengusaha, kadang-kadang mengalami pasang-surut, Khalis selalu memohon petunjuk Allah. “Sehari-hari saya mohon petunjuk Allah agar diberikan pertolongan terus dalam hidup,” kata pengusaha yang terlihat berkarakter tenang ini. Di sisi lain, ia selalu mengeluarkan zakat dari hasil usahanya karena yakin Allah akan membalas kebaikan itu. Tapi yang penting lagi, tidak menyerah. Rugi bisa saja terjadi. “Kita tidak boleh menyerah,” tandasnya bersemangat.

Syatrya Utama

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain