Indonesia adalah surga penelitian tanaman dan khasiat tanaman. Sampai menjelang Perang Dunia II, Bogor menjadi pusat dunia untuk penelitian keanekaragaman-hayati. Begitu terbuka pula, karena seperti dikatakan mendiang Dr.Karel Willem Dammerman, Direktur Kebun Raya Bogor (1932-1939), jauh lebih banyak peneliti asing di sana ketimbang peneliti Belanda sendiri (“A History of the Visitors' Laboratory of the Botanic Gardens, Buitenzorg”, dalam buku The Science and Scientist in the Netherlands Indie, 1945). Namun, dalam riset kepustakaan, temuan tentang tanaman yang mujarab di Indonesia malahan telah “diterbitkan” dalam dua kitab lontar “Serat Centhini” dan “Lontar Usada” jauh sebelum publikasi-publikasi dari peneliti internasional yang bergiat di Buitenzorg (Bogor) itu, jauh sebelum Rumphius menulis Herbarium Amboinense.
Pengobatan tradisional, dan pengetahuan tentang rempah, herbal, atau jamu, sudah ribuan tahun dikuasai bangsa-bangsa di dunia. Kini sudah dengan landasan ilmiah pula. Namun keabsahan penggunaannya di banyak negara, termasuk Indonesia, baru sebatas suplemen untuk pemeliharaan kesehatan atau pencegahan penyakit. Belum lagi diakui sebagai obat penyembuhan. Kecuali di China yang dokter-dokternya bisa membuat resep untuk obat-obatan kimiawi dan boleh pula memberikan resep untuk racikan obat obatan tradisional. Obat-obatan tradisional dari China yang di pasaran populer dengan sebutan traditional chinese medicine (TCM) berkembang pesat dan semenjak 1990 mulai merambah dunia. TCM diandalkan sebagai obatan-obatan alternatif antara lain untuk menyembuhkan penyakit seperti diabetes melitus, jantung, kolesterol, darah tinggi, dan kanker.
Dengan berlakunya perdagangan bebas ASEAN-China (AC-FTA) dan nantinya pasar tunggal ASEAN 2015, kita harus mengimbangi pelebaran pasar TCM itu dengan juga menggencarkan ekspor jamu dan produk kosmetik berbasis herbal. Apalagi kita tidak hanya menghadapi TCM yang telah dijual melalui puluhan klinik herbalnya di kota-kota besar di Indonesia, tapi juga Malaysia yang mengembangkan serius ramuan tradisionalnya dalam manufaktur dan kemasan modern. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Charles Saerang mengatakan, total penjualan jamu Indonesia kalah besar dibandingkan Malaysia. "Saat total penjualan jamu Indonesia Rp10 triliun, Malaysia sudah mencapai Rp15 triliun." Indonesia jauh tertinggal dalam hal pendidikan dan penelitian di bidang jamu-jamuan ketimbang Malaysia maupun negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Di Malaysia dukungan dana untuk program program riset dialokasikan sebesar 2 persen di APBN-nya.
Terobosan yang tajam untuk memenangkan jamu dan herbal kita di pasar domestik dan global sejatinya juga dimulai dengan penguatan riset. Dr. Ilham Habibie, Anggota Komite Inovasi Nasional, dalam suatu diskusi di Sinar Harapan (3 Juni lalu) memprihatinkan anggaran untuk riset dan pengembangan di Indonesia yang tidak sampai setengah persen (0,07 persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah China (1,5 persen), Korea Selatan (3 persen), Jepang (4 persen), dan Israel (5 persen). Padahal, UNESCO telah menetapkan acuan bahwa anggaran penelitian dan pengembangan yang ideal adalah dua persen dari PDB atau satu persen setidaknya untuk negara berkembang.
Di China ada 3.000 lebih perusahaan yang mengelola TCM. Laba yang mereka raih ternyata jauh lebih tinggi daripada rata-rata industri obat dan farmasi. Ekspor herbal mentah menguasai seperlima dari keseluruhan ekspor pertanian negeri tersebut sehingga perkebunan tanaman obat menjadi bisnis yang menggiurkan buat petani/pekebun di sana. Sejumlah provinsi, seperti Hebei, Guizhou, Yunnan, Sichuan, dan Shaanxi, telah menjadikan obat-obatan tradisional sebagai pilar industrinya. Di Indonesia ada 1.166 industri jamu dan obat tradisional, 1.036 di antaranya berupa industri kecil dan industri rumah tangga. Namun dari semua itu, baru 69 industri yang mendapat sertifikat Cara Pengolahan Obat Tradisional yang Baik (Good Traditional Medicine Manufacturing Practices). Kita pun hanya menargetkan 20 formula jamu yang terstandardisasi pada 2014.
Dari sekitar 40.000 spesies tanaman obat di dunia, 30.000 spesies di antaranya tumbuh subur di sini. Dengan tradisi dan pengetahuan tanaman obat yang hampir sama panjangnya seperti di China, dan diperkuat dengan riset dan pengembangan yang lebih terarah, agribisnis tanaman obat dan industri manufakturnya di Indonesia tentunya bisa sama bergairah seperti di Negara Panda itu.
Daud Sinjal