“Meski pertanian menjadi sektor andalan, petani masih banyak yang dirugikan, bahkan menjadi bagian yang paling banyak menanggung kerugian,” ungkap Sigit E. Susilo.
Seorang petani yang melakukan budidaya mulai pratanam hingga pascapanen mengalami banyak hambatan, seperti serangan hama penyakit, harga produksi anjlok, permainan harga oleh tengkulak, dan lainnya. Penyebabnya informasi yang diterima petani sangat minim. Hal itu akibat penyampaian informasi yang belum dikelola dengan baik.
Padahal, menurut Direktur Utama PT Solusi Bioteknologi Indonesia Sigit E. Susilo, petani masih banyak menggeluti usahanya secara tradisional atau secara turun temurun membutuhkan dukungan informasi yang baik. “Petani benar-benar butuh informasi agar tidak tertipu dan bisa mengambil keputusan yang tepat dari informasi yang mereka terima. Informasi yang sangat dibutuhkan petani di antaranya teknologi budidaya, info pasar, akses pembiayaan, pupuk, benih dan lainnya,” jelas Sigit. Karena itu perlu upaya serius penanganan di sektor agribisnis mulai dari investasi, penelitian, penyuluhan, hingga pemasaran.
Bertolak dari hal itu, Soegee Group yang merupakan induk dari PT Solusi Bioteknologi Indonesia, mengembangkan lelang pasar fisik komoditas melalui PT iPasar Indonesia untuk produk pertanian, seperti jagung, rumput laut, dan hasil kehutanan. Melalui PT iPasar Indonesia, petani sebagai produsen dan pembeli dapat mengetahui informasi harga komoditas secara real time. Produsen dan pembeli memperoleh informasi yang sama tentang harga komoditas sehingga dapat mengambil keputusan secara tepat.
Langkah selanjutnya, untuk menjamin ketersediaan komoditas yang dipasarkan Soegee Group masuk dalam sektor produksi di beberapa daerah di Indonesia. Dan untuk meningkatkan produktivitas Soegee Group mulai ikut dalam memproduksi input pertanian. “Kami masuk dalam CV Buana Sakti dengan membentuk PT Solusi Bioteknologi Indonesia untuk mengembangkan produk dan pasar dari SolBi agro,” jelas Sigit.
Riset dan Pengembangan Harus Serius
Pria yang akrab disapa Sigit ini melihat masih ada beberapa kelemahan dalam pembangunan pertanian kita. Misalnya dalam hal produksi benih. Dari pengalamannya bekerja di perusahaan benih multinasional, industri benih Indonesia masih tertinggal. Ia berharap dan yakin industri benih Indonesia bisa lebih maju dari negara lain, sedikitnya di antara negara-negara ASEAN. “Saya melihat, industri benih kita seperti industri lain, yaitu tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Padahal kita punya plasma nutfah yang luar biasa,” katanya.
Sementara benih-benih yang dikembangkan oleh negara-negara, seperti Thailand, Filipina dan negara lain kualitasnya sama dengan yang dihasilkan di Indonesia. Bahkan secara kualitas pengembang benih atau ahli benih di luar negeri tersebut tidak berbeda dengan ahli Indonesia. Artinya, tambah Sigit, sumber daya manusia Indonesia mampu bersaing dengan para pengembang benih dari luar negeri terutama dalam hal keilmuan.
“Ada sesuatu yang missing melihat hal ini,” cetusnya lalu menceritakan pengalamannya saat bekerja di perusahaan benih milik multinasional. Menurut alumni Institut Pertania Bogor ini, para ahli benih kita bila bertemu dan berbicara dengan para ahli benih dari luar negeri terlihat tidak bodoh-bodoh amat, dan ahli dari luar juga tidak pintar-pintar amat.
Pasarnya Harus Lebih Luas
SolBi agro sebagai pupuk hayati dan pembenah tanah yang sudah dikenal petani melalui PT Solusi Bioteknologi Indonesia. Produk ini akan diperkuat sektor riset, pengembangan produk, dan pengembangan pasarnya sehingga dapat secara mudah diperoleh petani untuk meningkatkan hasil panen dan kualitas produk yang dihasilkannya.
Sigit yakin, produk yang sekarang dipegangnya tersebut akan menjadi produk yang dibutuhkan petani. “Harapannya sederhana, produk tersebut tidak hanya bisa melakukan penetrasi pasar dalam negeri tapi juga dapat menerobos pasar yang lebih luas. Keinginan ini menjadi mimpi saya untuk mampu bersaing dengan produk sejenis yang diprosuksi multinational company,” ungkap Sigit. Keyakinannya itu muncul lantaran kualitas SolBi agro lebih baik dan harganya bersaing dengan produk sejenis produk negeri lain.
Sayangnya, selama ini peningkatan produksi dan kualitas produk yang dihasilkn petani belum dihargai secara baik oleh pembeli atau tengkulak sehingga petani tidak menikmati hasil jerih payahnya. Mestinya, dengan kualitas baik petani bisa menjual atau memasarkan produknya dengan harga yang baik. Untuk itu, ke depan tim PT Solusi Bioteknologi Indonesia akan mengajarkan kepada petani bagaimana dan di mana harus menjual hasil panennya. “Petani pun akan merasakan keuntungan dari kenaikan produktivitas dan kualitas hasil produknya itu,” jelas pria kelahiran 18 Juli ini.
Tak Mau Memilih Agronomi
Kepeduliannya kepada petani tak terlepas dari latar belakang pendidikannya yang sarjana pertanian. Setelah meraih gelar kesarjanaannya, ayah seorang putra dan dua putri ini bercita-cita sederhana, “Ingin menjadi profesional hingga waktu tertentu dan akan menjadi seorang pengusaha. Ternyata untuk jadi pengusaha saya tidak punya keberanian karena melihat banyak teman yang di (lingkup) profesional yang berhasil begitu jadi pengusaha gagal,” cerita ayah dari Rizmanta F. Pratama, Rara Hastuti, dan Rininta ini.
Suami Indri E. Susilo ini mengatakan, untuk berhasil menjadi pengusaha tidak sekadar punya jejaring saja, tapi juga ada faktor-faktor lain yang tidak bisa dipelajari saat menjadi profesional. “Saya alami sendiri dan saya pernah mencoba menjadi pengusaha tapi tidak berhasil,” kata Sigit sambil tersenyum tanpa mau menceritakan pengalaman kegagalannya tersebut.
Kesederhanaan dalam memilih profesi yang akan dijalani, terlihat dari saat pertama kali diterima di IPB melalui program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada 1984. “Ketika mendapat panggilan dari IPB, saya hanya berpikir di IPB hanya ada fakultas pertanian thok. Ternyata jurusannya banyak, bahkan saya sampai bingung memilihnya saat memasuki semester tiga,” jelas lelaki kelahiran Kebumen 46 tahun lalu ini sambil tertawa. Akhirnya ia memilih jurusan Teknologi Industri karena banyak cerita dari teman-temannya bahwa jurusan ini cukup menarik.
Empat tahun berlalu di IPB dengan segala suka dukanya, Sigit mendapatkan tawaran untuk bergabung dengan perusahaan multinasional di Indonesia. “Padahal saat itu belum lulus dan tawaran pertama ini saya ambil,” jelas pria yang senang bercanda ini. Ia pun sempat keluar masuk ke perusahaan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan ilmu yang didapatnya di bangku kuliah hingga 1997 ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi. Ia melihat pada saat itu pertanian hampir tidak terkena dampak krisis ekonomi di Indonesia, bahkan menjadi sektor penyelamat. Kondisi tersebut mengilhami Sigit kembali memilih bidang pertanian untuk melanjutkan karirnya hingga kini.
Tri Mardi Rasa