Minggu, 31 Juli 2011

Dari Rantangan sampai Frugal Gourmet

Setiap hari ribuan orang berseragam dan berpeci menembus kepadatan lalu lintas kota Mumbai, India, mengantarkan rantangan makan siang ke pekerja kantoran atau anak sekolah.  Makan siang itu adalah masakan istri pelanggan atau bikinan ibu-ibu tetangga yang dibawa secara estafet dengan bergantian moda angkut. Setiap hari sekitar 200 ribu hantaran sampai di tujuan, tepat waktu. Delivery service ini namanya Dabbawala  (kotak makan siang). Majalah Forbes Global 1998 mempelajari operasi pengantaran makanan ini dan memberinya rating efisiensi Six Sigma  senilai 99.999999: Dabbawala hanya satu kali salah kirim dalam enam juta pengantaran. Anda mungkin pernah menonton tayangan film tentang keunikan jasa pengantaran makanan rumah ini yang telah mentradisi di Mumbai lebih dari 120 tahun.

Usaha rantangan juga sudah mentradisi di kota-kota besar di Indonesia. Isinya juga makanan rumahan. Konsumennya karyawan kantoran dan anak indekosan atau suami istri pekerja dan belum punya anak. Namun makanan ini disiapkan dan dikirim oleh perusahaan katering atau rumah makan. Sedangkan Dabbawala, rantangannya berisi makanan dari dapur si pelanggan sendiri atau dibuat di dapur ibu-ibu yang lain. Dabbawala hanyalah jasa pengantaran dengan berlangganan bulanan. 

Arkian, sejalan tuntutan kehidupan kota besar (terutama Jakarta) di mana suami istri bekerja, menyiapkan anak berangkat ke sekolah, semua serba bergegas, waktu terbatas karena termakan di kemacetan jalan, menyapalah dengan bergairah bisnis makanan siap masak dan siap saji. Keduanya diproduksi perusahaan-perusahaan besar nasional dan multinasional. Tren terbaru untuk makanan siap saji adalah frugal gourmet. Ini konsep makanan yang serius, yang berbeda dengan fast-food seperti KFC atau MacD.  Frugal gourmet seperti rantangan makanan rumahan, tapi tidak  “murahan”, namun lebih hemat daripada makan di restoran. Ia dibuat untuk efisiensi, kepraktisan, bisa disimpan, hemat waktu dalam menghidangkan, porsinya tidak mubazir. 

Hardinsyah, ahli gizi IPB, menimbang, bagaimanapun makanan cepat saji umumnya lebih mahal, kecuali yang cepat saji dibuat dari cara-cara tidak sehat untuk menghemat biaya. Tapi kalau satu rumah tangga itu hanya dua atau satu orang, memasak untuk satu atau dua orang itu adalah pemborosan. Lebih murah beli makanan siap saji. Tapi kalau di rumah tangga itu ada empat sampai enam orang, lebih murah masak sendiri. “Orang ‘kan harus ada hitungan begitu. Juga dari sisi waktu. Yang penting bisa berhemat”. Makanan siap saji yang makanan rumahan ini pastilah cocok untuk sahur atau buka puasa. Hardinsyah membayangkan kalau sahur, di mana setengah jam sebelumnya sudah harus dipersiapkan. Yang ingin berhemat, bangun, cukup lima sampai sepuluh menit mempersiapkan.

Frugal gourmet ala Indonesia diproduksi banyak industri besar, menengah dan kecil dalam aneka pilihan: ada rawon, rendang, sapi lada hitam, ayam bakar bumbu rujak, ayam goreng presto Surabaya,  bulgogi.  Beragam pilihan nasi goreng. Ada yang pakai “branding” dari nama-nama tenar. Semuanya terjaga mutu dan gizinya serta memenuhi persyaratan kesehatan dan kehalalan. Salah satu merk yang bisa didapat di Hypermart, Carrefour, Lion Superindo, Ranch Market, Food Hall Sogo, dan supermarket di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia adalah “Ayobu”  produksi PT Karya Anugerah Jaya. Perusahaan ini memproduksi 22 jenis pilihan hidangan lezat dan bergizi siap saji dalam 20 ribu kotak plastik  sebulan.

Dalam skala lebih kecil, ada yang seperti dijalankan oleh Ny. Anita Herdiyati, pemilik merk “Ayam Kane” yang dalam sebulan memproduksi 1.000 kotak, terbagi dalam tiga rasa:  ayam bakar bumbu kecap, ayam bakar bumbu rujak, dan ayam goreng. Ada pula sebuah rumah makan di Kebayoran Baru yang dulu cukup terkenal, kini menyediakan  masakan sop buntut, sop kikil, soto sulung, rawon yang bisa disimpan di rumah dan siap disajikan kapan pun diperlukan.  Iklannya berbunyi, ”yang pernah makan di restoran itu, pasti tau enaknya....” Banyak tersedia makanan siap saja ala rumahan. Yang perlu dicermati tentunya masa kedaluwarsa, keutuhan kemasan, serta cara penyimpanan, dan memasaknya.

Makanan siap saji gelagatnya sudah memberikan jawaban bagi mengatasi kehilangan waktu warga kota besar. Indikasinya, proyeksi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menunjukkan terjadinya lonjakan investasi industri makanan dan minuman sampai 56 persen pada tahun terakhir ini (dari Rp25 triliun tahun 2010 menjadi  Rp39 triliun pada 2011). Prospek ini bisa juga dihubungkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia yang awal 2011 ini mencapai 111,3 juta (konferensi pers BPS 5 Juli 2011).

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain