Indonesia menghadapi permasalahan gula yang kronis terutama disebabkan oleh produktivitas rendah dan inefisiensi. Ini terkait dengan kekurangan lahan, pabrik gula yang cuma berjumlah 63 yang kebanyakan mesinnya sudah tua, kekurangan bibit bermutu, infrastruktur, akses permodalan, dan perubahan iklim. Namun “keramaian” yang paling aktual adalah soal gula kristal rafinasi (GKR) yang merangsek pasar gula kristal putih (GKP-gula konsumsi langsung masyarakat). Gendang yang meningkahi keramaian ini adalah kewenangan yang saling tumpang tindih antar-instansi pemerintah yakni: Kementerian Perindustrian (untuk industri gula kristal rafinasi-GKR), Kementerian Pertanian (pasokan tebu), Kementerian Perdagangan (izin impor gula mentah bagi industri GKR).
Total kebutuhan gula dalam negeri (konsumsi rumah tangga dan industri) saat ini adalah 4,67juta ton setahun. Produksi dalam negeri hanya mampu menghasilkan 2,7 juta ton GKP setahun. Sehingga masih perlu mengimpor gula mentah dan gula rafinasi untuk industri. Tiadanya audit dan pengawasan atas keperluan industri dan besaran produksi GKR, serta impor gula mentah untuk rafinasi mengakibatkan terjadi kelebihan pasokan, dan kelebihan itu masuk ke pasar gula konsumsi (GKP). GKR yang diimpor langsung maupun yang diproduksi di sini dengan raw sugar impor harganya lebih murah dibandingkan GKP produksi dalam negeri. Jika GKR dijual bebas di pasar konsumsi, maka GKP produksi lokal akan kalah bersaing sehingga merugikan petani maupun industri gula dalam negeri.
Gula termasuk dalam kontrak politik Kabinet Indonesia Bersatu II. Program swasembada gula dan roadmap-nya sudah digariskan pada 100 hari pertama kabinet dan ditargetkan terwujud pada 2014 dengan 5,7 juta ton yang terdiri dari 2,96 juta ton untuk konsumsi langsung masyarakat dan 2,74 juta ton untuk keperluan industri. Pemerintah optimistis bisa mewudjudkannya, seperti dikatakan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi (di Kendal 9 April 2010), “meski untuk mencapai swasembada gula hanya menyisakan waktu empat tahun, pemerintah tetap optimistis mampu merealisasikannya”. Optimisme juga disuarakan oleh Deputi Meneg BUMN bidang Usaha Primer, Megananda Daryono (di Wonosari, Lawang, Kabupaten Malang, 7 Oktober 2010), “Swasembada gula sudah bisa kita realisasikan mulai 2014 nanti. Tidak ada kendala yang berarti. Semuanya saat ini sudah dalam proses yang kondusif. Tidak ada masalah”.
Namun belum genap dua tahun berjalan, pemerintah sudah mengaku gagal. Targetnya diturunkan menjadi 3,57 juta ton. Menteri Pertanian Suswono, di depan DPR 30 Juni, menyatakan, target swasembada gula 2014 tidak akan tercapai dikarenakan terhambatnya penyediaan lahan serta revitalisasi pabrik gula. Ia malah mewanti wanti akan lebih turun lagi menjadi 3,25 juta ton, “apabila ketersediaan lahan dan revitalisasi pabrik gula tidak berjalan sesuai rencana.” Jumlah ini hanya mampu memenuhi pasokan GKP. Berarti kita nanti masih harus mengimpor 2,5 juta ton gula untuk keperluan industri.
Kegagalan Swasembada Gula 2014 ini jelas merapuhkan benteng pertahanan gula nasional mengingat kita sudah berada dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area) dan pada 2015 memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN yang adalah kawasan pasar tunggal (seperti halnya di Uni Eropa), di mana lalu lintas barang, modal, jasa dan tenaga kerja antar-negara anggota ASEAN boleh berlangsung secara bebas. Kita juga harus siap menghadapi gula dari China karena keterlibatan kita dalam free trade agreement China-ASEAN (CAFTA). Swasembada gula 2014 sejatinya untuk membendung segala bentuk serbuan liberalisasi perdagangan gula itu.
Bagaimanapun swasembada gula harus dikejar, yang dengan demikian memenuhi kebutuhan dalam negeri, membentengi diri terhadap serbuan gula dari luar, sekaligus menghindarkan saling gontokan antara para stake-holders kita sendiri. Komitmen pemerintah harus ditegakkan, antara lain mendirikan 17 pabrik gula baru seperti yang dijanjikan, konsisten dengan penyediaan lahan 350 ribu hektar, mengupayakan rendemen setidaknya sama dengan rata-rata dunia yang 10,6% serta tindakan tindakan produktif dan efisien lainnya.
Indonesia pada 1930-an (ketika masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda) memiliki 179 pabrik gula (PG) dengan produksi puncak mencapai 3 juta ton, yang rendemennya mencapai 13,5% sampai 15%, dan mengekspor gula sebesar 2,4 juta ton. Kini kita cuma punya 63 PG, yang akan ditambah 17 PG baru. Tantangan yang dihadapi Indonesia, menurut Martin Evans, peneliti dari Booker Tate, bukan untuk meningkatkan pertumbuhan produksi gula, tapi bagaimana agar produksi gula bisa efisien. Kita punya tradisi gula yang panjang, dan sempat dari tahun 1983 sampai 1987 mencapai swasembada. Dengan revitalisasi pabrik, modernisasi teknologi, bibit tebu berkualitas dan perluasan lahan, diharapkan efisiensi bisa dijalankan, dan produktivitas bisa meningkat signifikan.
Daud Sinjal