Keprihatinan akan kondisi tanah di persada negeri ini amat menggalaukan hati perempuan satu ini. Dia, dengan gemas, menyatakan betapa mudahnya kita membuktikan kondisi tanah negeri ini yang sudah rusak.
“Tanahnya keras. Tanah yang keras menandakan porositasnya (daya serap air) sudah tidak bagus. Itulah salah satu penyebab banjir,” ujar Dwi Sutanti, Direktur Utama PT Bio Industri Nusantara (Bionusa), dalam perbincangan dengan AGRINA di kantornya, kawasan Dago, Bandung.
Tak hanya itu, Tanti—demikian sapaannya-- pun melukiskan betapa sewaktu kemarau kondisi kian mengenaskan. Hanya datang musim kemarau sebentar, kondisi tanah sudah menjadi kering dan pecah-pecah.
Semua ini terjadi, papar Tanti, lantaran penggunaan pupuk kimia besar-besaran pada sekitar 1970-an tatkala negeri ini tengah berupaya menggenjot produksi pertanian. Akibat penggunaan pupuk kimia besar-besaran tadi, banyak mikroba tanah mati. Padahal, sambungnya, “Mikroba berfungsi mengurai berbagai unsur dalam tanah sehingga unsur hara mudah diserap tanaman.”
Satu-satunya langkah yang harus dilakukan adalah menambahkan pupuk organik dan hayati pada tanah rusak tadi. “Saya selalu katakan, tolonglah tanah-tanah itu diperbaiki lagi sifat fisik, kimia, dan biologinya sehingga pupuk yang kita berikan semuanya terserap. Kalau tidak terserap, percuma karena hanya buang-buang duit,” tukas Tanti.
Komitmen terhadap Mutu
Semenjak menduduki posisi puncak di perusahan yang memproduksi berbagai pupuk hayati dan organik dua tahun silam, dia terobsesi memperbaiki tanah yang sudah rusak di negeri ini agar bisa subur kembali. Apalagi, Tanti memang mantan orang lapangan yang tahu benar fakta di banyak daerah.
Namun, lantaran “kenyang” di lapangan ini pula, kini dia sangat berkomitmen memproduksi pupuk organik dan hayati yang benar-benar terjaga kualitasnya. “Nah, begitu saya jadi pengelola, saya commit terhadap mutu pupuk. Jangan sampai saya menipu pengguna. Kalau misalnya mutunya jelek, ya kami tarik, harus sesuai spek. Karena kepuasan pelanggan itu salah satunya kualitas,” katanya.
Itu sebabnya, dia mengingatkan agar program bantuan langsung pupuk dari pemerintah juga harus mendapat pengawasan kualitas yang ketat. “Itu ‘kan bekerja sama dengan mitra ya, kalau tak ada pengawasan kualitas, kasihan petani,” tandasnya.
Toh, tak semudah membalikkan telapak tangan membuat petani, pekebun, dan pengusaha perkebunan menggunakan pupuk hayati dan organik. Soalnya, mereka terbiasa menerapkan paradigma berpikir serba-instan. Jadi, mengubah paradigma ini mesti dilakukan. “Maunya cepat menghasilkan, tapi untuk jangka panjang apa yang kita tinggalkan pada anak-cucu kita kalau tanah keras? Padahal, Allah menciptakan tanah itu subur. Kenapa kita merusaknya?” tutur wanita asli Majalengka, Jabar ini.
Membina Petani
Dunia pertanian mungkin memang menjadi jalan hidup Tanti. Lahir pada 13 Maret 1956, putri pasangan Marseno Prawiroatmo dan Nani Soenari ini sejak kecil sudah sering diajak ayahnya turne (kunjungan lapangan) ke berbagai lokasi perkebunan karena ayahnya bertugas di dinas kehutanan.
Ketika lulus SLTA, dia ingin masuk ke Fakultas Kehutanan. Namun, karena dia perempuan, ayahnya menyarankan dia mengambil Fakultas Pertanian. Jadilah, Tanti menempuh studi di Jurusan Agronomi Faperta UGM.
Setelah lulus, dia masuk ke PT Perkebunan XI (PTP XI) di Jakarta dan sejak awal bertugas di perkebunan kelapa sawit di kawasan Banten. “Ya, saya sudah bertugas membina petani plasma waktu itu,” kenangnya.
Sempat mengabdi di bagian data elektronik dan pengadaan, ketika PTP XI, XII, XIII digabung menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dia pindah ke Serpong, 1995, di Bagian Tanaman. Pada 1998, dia dipindah ke Bandung, ke kantor pusat, sebagai Kepala Proteksi dan Pemupukan di PTPN VIII.
Mengelola 60 Ribu SDM
Pada 2001, dia diangkat sebagai Kepala Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) PTPN VIII yang sama sekali berbeda dengan latar pendidikan. Toh, dia merasa enjoy. Soalnya, “Bedanya jauh, kalau mengurus tanaman, dengan satu perlakuan satu reaksi. Tapi, kalau manusia, dengan satu aksi, reaksinya bisa seribu ya, kalau SDM-nya seribu,” komentarnya.
Bagi Tanti, mengelola SDM ibarat suatu seni. “Ya, jadi bagaimana cara terbaik mengelola SDM yang waktu itu di PTPN VIII, karyawan tetapnya sekitar 30 ribu tersebar di seluruh Jabar dan 30 ribu lagi karyawan lepas,” katanya.
Lantas, apa rahasia keberhasilan Tanti mengurusi pekerja sebanyak itu? “Saya berusaha memiliki hubungan solid dengan serikat pekerja. Jadi, kalau ada apa-apa, bisa kami bicarakan. Misalnya, ada kebijakan baru direksi, saya akan omong dulu dengan ketua serikat pekerja, baru nanti kami sama-sama sosialisasi. Enaklah,” paparnya.
Seperti Air Mengalir
Setelah kurang-lebih enam tahun menjadi Kabag SDM, dia lompat lagi ke posisi Kabag Tanaman pada 2007. Dan pada 2009, datang pertanyaan dari direksi PTPN VIII, apakah dia bersedia mengelola anak perusahaan, PT Bionusa.
“Bagi saya, hidup dan karir itu seperti air yang mengalir saja. Jabatan bukan untuk dikejar-kejar. Kalau diberi kesempatan, ya saya sangat berterimakasih. Kalau amanah ini kita jalankan dengan baik, saya yakin Allah SWT juga ‘kan memberikan jalan. Yang penting, saya berupaya membina team work yang baik karena saya tidak akan bisa berhasil tanpa dibantu dari bawah,” bebernya.
Dalam memimpin Bionusa, Tanti berupaya agar para karyawan mempunyai satu tujuan yang sama, yaitu membesarkan perusahaan bersama-sama. “Kalau nanti perusahan jadi besar, ‘kan otomatis kesejahteraan meningkat?” ungkapnya
Kendati disibukkan dengan pekerjaannya, toh Tanti ibu rumah tangga juga. Bersuamikan Cecep Komar, Tanti dikarunia dua anak, Arya Wicaksana dan Arya F. Basundara. “Keluarga tetap paling penting, semua yang saya lakukan selalu atas dukungan suami,” ucapnya.
Untuk menjaga kesehatannya, Tanti masih menyempatkan berolahraga meskipun sekadar berjalan kaki sewaktu senggang, setidaknya pada Sabtu-Minggu. Bahkan beres-beres di rumah pun kadang dianggapnya sebagai olahraga ringan juga. “Tapi, waktu masih muda sih saya hobi olah raga,” tutup Tanti.
Syaiful Hakim