Mulyo dhewekan apik, tapi mulyo bebarengan luwih apik. Nasihat dalam bahasa Jawa itu bermakna sejahtera sendirian itu baik, tapi sejahtera bersama-sama jauh lebih baik, berulang kali terucap dari mulutnya.
Dialah Dwi Andreas Santosa –kerap dikenal sebagai D.A. Santosa – Ketua Dewan Pembina Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB) yang berlokasi di Bogor, Jabar. Niat untuk menjadi sejahtera bersama itu ditujukan Dwi kepada para petani negeri ini yang merupakan komponen terbesar penduduk Indonesia.
Meminjam istilah kalangan yang lebih “keras” dalam membela petani, Dwi menyoroti, ”Petani Indonesia itu terikat pada empat infus. Pertama, infus benih, kedua infus pupuk, ketiga infus pestisida, dan keempat infus kredit. Karena itu kami berupaya mengatasi hal itu. Kecuali infus kredit, itu di luar kewenangan kami.”
Ide membebaskan petani dari “infus-infus” itu, diakui Dwi mirip langkah peraih Nobel Perdamaian 2006, Mohammad Yunus. Tokoh ini mendirikan Grameen Bank untuk membantu rakyat miskin Bangladesh supaya bisa mendapatkan kredit, mulai diwujudkannya.
Pada Maret lalu, misalnya, Dwi berembuk di Bali dengan para petani dan rekan ilmuwan untuk lebih mematangkan niat pendirian Indonesian Farmer Seed Bank, bank benih yang sepenuhnya milik petani. “Mulai dari sini, infus pertama coba diatasi,” ujar Ketua Program S2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana IPB, ini optimistis.
Dwi juga mengembangkan benih hortikultura bersama kalangan ilmuwan. “Benih horti terbaik dikumpulkan dan kami sebarkan ke petani,” kata lelaki kelahiran Blora, 27 September 1962, ini.
Sedangkan guna mengatasi “infus” pupuk, kini Dwi tengah mengembangkan pupuk hayati berbahan mikroorganisme. Satu contoh, yang kini dirintisnya adalah pupuk hayati cair berlabel Probio berbahan mikroorganisme yang bermanfaat untuk pengomposan dan penyuburan.
Untuk menyebarluaskan pupuk tadi, lulusan Jurusan Ilmu Tanah, Faperta UGM, Yogyakarta, ini bersama sejawatnya hanya memproduksi master kulturnya, lalu diserahkan kepada petani. Sejumlah petani di Kediri dan Bojonegoro sudah mencobanya. “Kelompok tani yang memproduksi massal, menjualnya, dan uangnya bisa digunakan untuk pengembangan organisasi mereka,” paparnya bersemangat.
Keuntungannya? “Kami sekadar mendapat persentase sangat kecil, 10%, guna pengembangan riset belaka,” ungkapnya.
Dan upaya mengatasi “infus” ketiga adalah menciptakan biopestisida hayati dan biofungisida. Sistem produksi dan pendistribusiannya sama seperti pupuk tadi.
Pilihan Hidup
Keberpihakan Dwi pada petani adalah buah perjalanan panjangnya sebagai ilmuwan. Seusai menyelesaikan studi S-3 di University of Technology Braunschweig, Life Sciences, Jerman, pada 1995, layaknya ilmuwan lain dia berpikir akan mengembangkan teknologi tinggi di laboratorium. Namun, saat bersamaan, dia juga mulai bersentuhan dengan sesama ilmuwan sosial dan ekonomi.
Di situlah dia mulai berdiskusi, berdebat, sekaligus bergaul dengan jaringan akar rumput, termasuk petani. “Apa yang awalnya ada di pikiran kami sebagai ahli hard science berubah setelah sering bergaul. Ternyata banyak masalah yang tidak sederhana dan bisa diselesaikan hanya dengan teknologi,” tutur suami Riyantiningsih ini.
Ayah tiga anak itu melanjutkan, dewasa ini memang banyak orang berpikiran praktis dan serba-instan. Misalnya, ketika negeri ini kesulitan pangan, mereka menganjurkan untuk mengundang perusahaan multinasional yang menguasai teknologi transgenik. Padahal, ini justru bisa menyulitkan petani karena semua produk transgenik terkait property right (hak paten) internasional.
Akhirnya, Dwi pun menentukan pilihan. Seperti ungkapan berbahasa Jawa tadi, tambah dia, fasilitas milik ICBB sudah cukup bagus karena ada sekian miliar rupiah ditanamkan sebagai investasi. “Tapi, kalau itu bisa dimanfaatkan bersama-sama petani, mengapa tidak?” kilahnya.
Toh, bukan hanya itu yang membuat Dwi makin teguh pada pilihannya. Selama dua tahun, dia pernah melakukan pengembangan komunitas masyarakat di wilayah hutan Sanggabuana, Jabar. Di sebuah desa, dia makan, tidur, berdiskusi dengan petani. “Di situ saya melihat gap (kesenjangan) antara teknologi dan kebutuhan petani,” katanya. “Selama ini, petani diasumsikan tak punya kemampuan mengembangkan (teknologi). Nah, bagaimana kalau gap itu kita perkecil?”
Tak mengherankan jika pada Desember silam, Dwi pernah mengundang rombongan petani dari 12 daerah untuk hadir di ICBB guna mendapat pencerahan mengenai masalah pertanian, ekonomi hingga hukum dari para pakar. Pun ketika sekelompok petani di Kediri mengalami benturan kepentingan dengan perusahaan multinasional terkait hak paten benih, dirinya ikut sibuk membela petani di sana.
Menurut pandangan Dwi, perkembangan bioteknologi di Indonesia sudah cukup maju, hanya saja dalam tahap aplikasinya masih sangat kurang. Untuk tanaman transgenik, misalnya, belum ada yang bisa mengaplikasikannya dalam skala komersial. “Dalam penguasaan teknologi tak ada masalah, baik di bidang pertanian, farmasi, kedokteran, juga peternakan. Tapi, untuk beberapa hal, kita masih terkendala peraturan terkait paten-paten internasional,” katanya.
Falsafah hidupnya sederhana, yaitu berusaha membantu sesama. “Ini prinsip yang gampang diucapkan, tapi tak mudah dilaksanakan,” akunya.
Meski disibukkan dengan berbagai pertemuan jaringan petani, mengajar di IPB, menjadi pembicara seminar, menulis di berbagai media massa, aktif di berbagai organisasi seperti Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Perpres 39/2010), toh dalam keseharian, ilmuwan dan intelektual ini berpenampilan tenang dan sederhana. Bahkan, terkadang dia dan istri masih meluangkan waktu menikmati hobinya: mendaki gunung.
Syaiful Hakim
BIODATA Nama : Dwi Andreas Santosa Tempat, tanggal lahir : Blora, 27 September 1962 Pendidikan terakhir : S3 University of Technology Braunschweig, Life Siences, Jerman 1995 Keluarga -Istri: Riyantiningsih -Anak-anak: Kezia Laras Ratri Santosa, Sintha Prameswari Santosa, Khorana Tripambudi Santosa Riwayat Pekerjaan -Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB -Ketua Program S2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana IPB -Ketua Dewan Pembina Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB) -Anggota Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Perpres 39/2010) -Anggota Forum Indonesian Farmer Seed Bank