Yang menjadi masalah sekarang ini harus ada kemauan politik pemerintah untuk membangun infrastruktur yang berpihak kepada pertanian.
Masalah pangan (hewani dan nabati) di Indonesia, akhir-akhir ini, menjadi problem tersendiri di tengah kehidupan masyarakat. Harga-harga pangan melonjak. Harga cabai pernah menyentuh Rp100 ribu per kg. Harga beras dan sayuran juga melesat. Selain memengaruhi inflasi, juga meresahkan rakyat. “Kita masih menghadapi kekurangan dan harga pangan yang tidak terkendali,” kata Wan Abu Bakar, Anggota Komisi IV DPR RI.
Hal ini karena perubahan iklim yang cukup ekstrem, beberapa daerah ditimpa bencana atau musibah, serta kondisi infrastruktur (seperti jalan, irigasi, dan transportasi) yang tak mendukung pertanian. Padahal, secara potensi seperti kesuburan lahan, kita sangat bagus. “Yang menjadi masalah sekarang ini harus ada political will pemerintah untuk membangun infrastruktur yang dapat menunjang produktivitas pangan kita,” kata Wan.
Bersinergi
Menurut mantan Wakil Gubernur Riau periode 2003–2008 itu, dalam mengatasi krisis pangan ini tidak ada konsep yang komprehensif dari pemerintah. Misalnya, Kementerian Pertanian melaksanakan program Bantuan Langsung Benih Unggul dan Bantuan Langsung Pupuk tapi tidak sinkron dengan pembangunan infrastruktur, seperti irigasi dan jalan (untuk distribusi pangan), yang ditangani Kementerian Pekerjaan Umum.
Pangan, menurut ayah lima anak itu, bukan hanya menyangkut tugas Kementerian Pertanian saja, tapi juga Kementerian Perdagangan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, alumni Fakultas Ilmu Pemerintahan dari Universitas Satyagama, Jakarta, tersebut menyarankan perubahan dalam Dewan Ketahanan Pangan (DKP).
Selama ini, Ketua DKP adalah Presiden, sedangkan Ketua Pelaksana Hariannya adalah Menteri Pertanian. Pria kelahiran Selat Panjang, Riau, itu berpendapat sebaiknya Ketua DKP tetap Presiden, tapi Ketua Pelaksana Harian seharusnya Menteri Koordinator Perekonomian, sehingga memudahkan koordinasi dalam mengatasi krisis pangan. “Dengan demikian, menteri yang terkait dengan pangan ini betul-betul bisa bersinergi,” sarannya.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM) karena itu adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Selain itu, pangan pun merupakan komponen dasar mewujudkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, dan pilar utama pembangunan nasional, yang berperan dalam stabilitas sosial dan politik.
Revisi UU Pangan
Karena itu DPR berinisiatif merevisi UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, meski dari 12 Peraturan Pemerintah (PP) yang diamanatkan, baru tiga yang bisa dirumuskan dan disahkan, yaitu PP Keamanan Pangan, Mutu, dan Gizi Pangan; PP Ketahanan Pangan; serta PP Label dan Iklan Pangan. “Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi masalah pangan di Indonesia dan menyesuaikannya dengan kondisi kekinian,” jelas Wan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merevisi UU Pangan ini. Antara lain, pertama, diversifikasi pangan berdasarkan kekhasan daerah. Kedua, pembangunan serta rehabilitasi sarana dan prasarana pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan sumber daya air dan tanah. “Perlu pembenahan serius terhadap infrastruktur dan transportasi dalam mendistribusikan pangan agar tepat waktu, efisien, dan efektif, sampai ke konsumen,” jelas Wan kepada AGRINA, Selasa (1/2).
Wan pun memandang perlunya penguatan dan keberpihakan kepada daerah sehingga daerah menjadi lumbung pangan (nasional). Karena itu, harus ada sinergi antara UU Pangan dan UU Otonomi Daerah. “Memang, masing-masing daerah ada ketergantungan sesuai kondisi daerah. Itu nggak bisa dinafikan. Cuma, (yang penting) bagaimana ketahanan pangan terjamin,” kata suami dari Sri Rahayu Setyaningrum, itu.
Memang, kebutuhan pangan seperti beras terkait dengan pertambahan jumlah penduduk. Diversifikasi pangan menjadi salah satu cara menekan konsumsi beras, yang saat ini sekitar 139 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan Malaysia 80 kg per kapita per tahun dan Thailand 70 kg per kapita per tahun. Tapi, menurunkan konsumsi beras tidak bisa mendadak, harus bertahap. Karena itu, sementara mendorong penurunan konsumsi beras, pemerintah tetap mencetak sawah, yang hingga 2014 ditargetkan 2 juta ha. “Cetak sawah ini penting, karena konsumsi tidak bisa otomatis diturunkan,” lanjutnya.
Kesejahteraan Petani
Tapi, selain mencetak sawah, menurut Wan, yang perlu diperhatikan adalah kesejahteraan petani. “Petani harus betul-betul bisa menjual hasilnya (dengan harga optimal). Kalau bertani, tapi hasilnya tidak bisa dijual atau gagal panen gara-gara hama, petani khawatir,” tegas Wan. Apalagi, kesejahteraannya terganggu. Akibatnya, petani lebih suka menjual lahannya sehingga terjadi alih fungsi. “Dalam UU Pangan harus ada ketegasan alih fungsi lahan dari pemerintah daerah,” imbuh mantan Wakil Ketua DPRD Riau (1997-2003) itu.
Di satu sisi, kesejahteraan petani bisa tertekan gara-gara pengaruh produk-poruk impor. Misalnya impor daging dan beras. “Kita harus mengatasi, bagaimana impor harus dikurangi atau dikendalikan. Misalnya impor daging. DPR harus menekan impor ini. Kami bikin Panja (Panitia Kerja) Daging. Komisi IV juga bikin pernyataan, tidak setuju impor beras,” ujarnya ketika ditemui di Lantai 15 Gedung DPR RI, Jakarta.
Pemerintah harus benar-benar melindungi petani bahwa bertani itu bisa menyejahterakan mereka. “Yang saya amati (perlindungan kesejahteraan terhadap petani atau peternak) itu tidak ada. Untuk menjamin kesejahteraan mereka, impor harus dikurangi,” tandas Wan. Misalnya, kita kekurangan daging sapi, yang digalakkan adalah peternakan. “Sebetulnya, peternakan kita masih bisa dikembangkan. Daging itu berkaitan dengan masalah pembibitan, penggemukan, ya, itu saja yang dikembangkan,” katanya.
Dalam membuat kebijakan mengatasi krisis pangan tidak hanya bercermin pada kepentingan konsumen, tapi juga kepentingan produsen, dalam hal ini petani atau peternak. Untuk itulah, perlu UU Pangan yang lebih komprehensif. “Dalam UU Pangan harus ada jaminan ketersediaan pangan buat kebutuhan konsumsi (masyarakat), dan perlindungan bagi kesejahteraan petani. Pemerintah harus mem-protect petani,” tutupnya.
Syatrya Utama dan Inga Clarissa
BIODATA:
Nama : Drs. H. Wan Abu Bakar, MS, M.Si
Tempat/tgl lahir : Selat Panjang, 9 Agustus 1950
Agama : Islam
Istri : Sri Rahayu Setyaningrum
Anak : lima orang
Pendidikan : 1. Fakultas Hukum dan Kemasyarakatan, Universitas
Muhammadiyah, Bukit Tinggi (1972)
2. Fakultas Syari’ah, IAIN Susqa, Pekan Baru (1995)
3. Pasca Sarjana, Universitas Satyagama, Jakarta (2001)
Pekerjaan : 1. Wakil Gubernur Riau (2003 – 2008)
2. Anggota DPR-RI (Komisi IV)