Senin, 31 Januari 2011

Dadi Sudiana Perlu Satgas Cabai

Kehadiran satuan tugas alias satgas agaknya tidak hanya penting untuk memberantas mafia hukum, tetapi juga memberikan solusi bagi petani cabai.

Naik turunnya harga cabai sebenarnya kejadian biasa seperti dialami komoditas pertanian lain. Tatkala produksi melimpah, harga turun, dan sebaliknya saat pasokan seret, harga melambung. Namun gelombang harga yang terjadi pada Desember lalu menjadi istimewa lantaran mencapai angka Rp100 ribu lebih per kg, khususnya untuk cabai rawit merah. Harga ini dianggap sudah tidak wajar dan sangat ekstrem.

Kenaikan harga ini, menurut Dadi Sudiana, lantaran minimnya pa­sokan. Beberapa sentra penghasil cabai mengalami banyak masalah akibat hama penyakit merebak dan petani pun gagal panen. Pasokan cabai akan semakin berkurang dan cenderung menurun bila hujan terus turun.

Karena itu Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiana mengakui tidak bisa mem­pre­diksi sampai kapan harga cabai akan kembali normal. “Ini belum bisa diprediksi sampai kapan. Namun, situasi ini akan terus ber­langsung selama cuaca hujan te­rus turun,” jelasnya saat mengobrol dengan AGRINA di los cabainya yang terletak di Tanah Tinggi, Tangerang, Banten.

Dadi mengatakan, cuaca ekstrem basah mau tidak mau harus dihadapi petani meskipun kondisi ini bagus bagi perkembangan cendawan penyebab penyakit pada tanaman cabai. Penyakit ini bisa meng­hancurkan produksi petani antara 20%—90%. "Kejadian gagal panen ini merupakan kejadian luar biasa (KLB). Harus ada satuan tugas dari para pemangku kepentingan, baik antardirektur di Ditjen Hortikultura dengan kelembagaan petani maupun antarkementerian untuk memberikan solusi bagi petani," tukasnya.

Dedi menganggap, perhitungan pemerintah yang mengatakan produksi cabai turun 30% tidak tepat, sebab produksi cabai sudah anjlok hingga 90%. “Kalau biasanya per hektar bisa panen 12—15 ton. Saat ini hanya 2—6 ton saja, bahkan ada areal tertentu yang benar-benar gagal panen,” tegasnya.

Bermitra dengan Pedagang  

Menurut Dadi, fluktuasi harga cabai sulit diatasi sehingga kondisi ini kerap berulang. Jika faktor-faktor tak terduga muncul, seperti banyaknya serangan penyakit dan hama yang bisa meluluhlantakkan tanaman cabai, harga langsung melonjak karena pasokan menyusut.

Tambahan lagi sifat petani yang latah ikut-ikutan menanam cabai ketika harga tinggi. Karena itu pria yang sudah berpengalaman 11 tahun menanam cabai dengan luasan 40 ha di Cipanas, Cianjur, Jabar, ini menganjurkan petani bermitra dengan pedagang perantara. “Peran pedagang ini banyak karena bisa memberikan informasi pasar sehingga petani tahu persis luasan lahan cabai saat itu, waktu yang tepat untuk menanam cabai, dan jenis cabai yang diminati pasar, juga akan mendapat pasar yang jelas,” saran bapak yang bermotto “nikmati hidup raih kebahagiaan”.

Seringkali petani tidak mau bermitra dengan pedagang karena menganggap pedagang sebagai penekan harga di tingkat petani. Selain itu ada juga sinyalemen petani tidak menikmati kesejahteraan sewaktu harga tinggi.

“Padahal tidak demikian,” sangkal Dadi. Pedagang butuh pasokan cabai yang rutin, menanggung risiko rugi karena penyusutan komoditas saat dibawa dari kebun ke pasar, membayar biaya angkut dari kebun ke pasar dan lain sebagainya. “Bahkan ada pedagang yang mau memberikan modal kepada petani untuk budidaya cabai agar pasokan mereka bisa terpenuhi secara kontinu. Petani pun akan diuntungkan karena cabainya pasti terserap pasar,” katanya. Dengan bermitra, petani juga bisa menjual cabai dengan mudah.

Bukan Zaman Cultuur Stelsel

Mahalnya harga cabai sejak November tahun silam membuat pemerintah mengimbau masyarakat menanam sayuran termasuk cabai di pekarangan. Namun tindakan pemerintah ini, menurut pandangan Dadi, mirip pemadam kebakaran.

Seruan pemerintah itu bukan solusi meredam tingginya harga dan minat masyarakat untuk mengonsumsi cabai. "Memangnya seperti zaman Cultuur Stelsel, sekarang ini nggak bisa. Pemerintah ini seperti manajemen pemadam kebakaran, iya kalau padam kalau tidak," cetus pria kelahiran Sukabumi, Jabar, ini.

Pun niatan pemerintah memberikan benih cabai gratis bagi kalangan rumah tangga, bukan pemecahan masalah meningkatnya harga cabai. “Petani juga tidak ingin harga cabai yang dijualnya terlalu tinggi karena dampaknya juga kepada dirinya sendiri. Kalau harga (terlalu) tinggi, maka tidak ada yang membeli cabai terus akan dikemanakan cabai tersebut,” imbuh bapak yang berulang tahun pada 7 September ini.

Sarjana Tekstil

Keberhasilan Dadi mengembangkan usaha budidaya cabainya ternyata tidak berakar dari latar belakang pendidikannya. Suami Wiwin Winarsih ini sarjana pertekstilan. Pengetahuan budidaya pertanian hanya didapat dari pengalaman semasa kecil karena orangtuanya berprofesi petani. “Memang kalau masalah pertekstilan, saya hampir tahu semuanya. Tapi untuk cabai saat itu, saya harus benar-benar belajar dari pengalaman dan beberapa buku,” kata alumnus Akademi Tekstil Bandung 1975 ini.

Kakek seorang cucu ini sudah menggeluti budidaya cabai sejak masih bekerja di perusahaan tekstil di Tangerang. Proses belajar secara otodidak dan melalui bacaan tersebut membuahkan hasil. Akhirnya, ia memutuskan untuk pensiun dini pada 2002 dan berkonsentrasi pada usaha barunya.

Dadi memang sudah sukses sekarang. Namun bukan berarti anak pasangan Ahmad Sukatma dan Atikah ini tidak pernah rugi. “Tahun 2002 saat itu harga cabai sedang bagus-bagusnya dan saya mencoba untuk mengembangkan lebih besar lagi. Tapi ternyata juga banyak orang yang berinvestasi untuk tanam cabai. Terjadilah panen raya dan harga cabai turun, bahkan cabai yang saya hasilkan gagal terjual,” kenang ayah tiga orang anak ini.

Pengalaman pahit itu tidak membuatnya jera menjadi pelaku usaha agribisnis hortikultura. Bermitralah dia dengan seorang teman untuk membuat usahanya menjadi lebih baik dengan mendirikan PT Mitra Tani Agro Unggul. Di perusahaan ini ia bertindak sebagai direktur. Mereka mengelola kebun cabai seluas 40 ha di Cipanas, Cianjur dan menjadi salah satu pemasok cabai ke industri. Untuk bisa memenuhi permintaan secara terus menerus, Dadi menggandeng petani dan juga membantu mereka dalam hal akses permodalan.

Tri Mardi Rasa

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain