Bila bunga bisa melambangkan keindahan, bagaimanakah caranya melukiskan perempuan bernama Karen Tambayong? Yang paling mudah dan pasti, Karen dan bunga seolah tak bisa dipisahkan.
Hidup Karen memang seolah dari bunga, oleh bunga, dan untuk bunga! Betapa tidak, dia ditakdirkan terlahir di keluarga yang mencintai tanaman hias. Saat kanak-kanak, dia sudah diperkenalkan dengan bunga melalui buku bergambar bermacam jenis bunga berbahasa Belanda. Lantas, sang nenek pun kerap mendongenginya mengenai bunga.
Lalu, berkat bisnis tanaman hias yang dirintis sang ayah, pensiunan marinir bernama R. Tambayong, dia dikenal masyarakat. Dan kini segenap perhatiannya dicurahkan untuk mengembangkan dunia perbungaan. Perempuan kelahiran Surabaya, 24 April 1956, itu menduduki posisi utama di sejumlah organisasi, seperti Ketua Umum Asosiasi Bunga Indonesia, Ketua Umum Yayasan Bunga Nusantara, Sekjen Dewan Hortikultura Nasional, Ketua Komisi Green City International Association Horticulture Producer, serta Komite Tetap Bidang Pengembangan Pasar Pertanian Kadin, dan pendiri Forum Pangan dan Pertanian Indonesia (FPPI).
Dengan sejujurnya, Karen menyebut pengetahuannya tentang tanaman hias diperoleh setelah aktif berkecimpung di asosiasi bunga yang didirikan Ny. Bustanil Arifin pada 1980-an (istri Kepala Bulog waktu itu). “Awalnya dari situ. Kini, saya sudah tahu dari hulu hingga hilir masalah di industri ini,” ujar Karen yang menempuh pendidikan di Delft-Belanda, Winnipeg- Kanada, dan Dept. of Horticulture, Colorado State University, USA, ini.
Dipandang Sepele
Saat ini, menurut pandangan Karen, secara komprehensif pemerintah belum memperhatikan potensi tanaman hias untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Meski diakuinya, Kementerian Pertanian sudah mendorong, dan Kementerian Perdagangan mulai mempromosikannya. “Itu keliru karena seharusnya semua peluang yang ada digarap,” katanya.
Bagi Karen, tanaman hias adalah komoditas pertanian yang mempunyai akses kepada pangan. Artinya, dengan menjual bunga, kita bisa mendapatkan uang untuk menyediakan pangan. “Potensi ekspornya luar biasa,” ucapnya bersemangat. Belum lagi, kebutuhan di dalam negeri.
Wanita tinggi semampai ini lantas memberikan contoh perkembangan florikultura di sejumlah negara berkembang lain, seperti Zimbabwe, Etiopia, India, Malaysia, dan Kenya. “Mereka menempatkan florikultura sebagai komoditas unggulan, malah sebagai strategic plan,” tandasnya.
Banyak Ragam, Banyak Potensi
Masih banyak, menurut Karen, orang Indonesia yang belum memahami bisnis industri florikultura. Mereka mengira hanya soal memotong bunga dan mengekspornya. Padahal, lebih luas lagi. Apalagi, Indonesia punya keragaman hayati yang bisa dimultiplikasikan. Jadi, bisa diekspor dalam bentuk seedlings atau cuttings yang sangat ringan.
Komoditas florikultura itu sendiri beragam jenisnya. Ada landscape trees, potplants, annual plants atau perennial plants, dried decorative ornaments, aquatic plants, cut flowers, cut foliage, bulb, rhizome, seed, seedlings, tissue culture, flower arrangement. “Bayangkan, dari satu jenis komoditas, taruhlah landscape trees, ada landscape trees untuk penghijauan. Ada bugenvil, pinus, atau palem, yang beragam jenisnya,”ujarnya.
Inilah, imbuh Karen, produk masa depan yang seharusnya jadi andalan bangsa ini. Apalagi semua itu juga bisa dibudidayakan di rumah-rumah yang dapat meningkatkan penghasilan masyarakat. Jika dikembangkan sebagai industri, florikultura malah bisa menyediakan lapangan kerja yang luas. “Ke depan, saya ingin pemerintah menempatkan florikultura sebagai future product,” tegasnya.
Sesekali Karen balik bertanya, misalnya gembar-gembor penanaman sejuta pohon untuk mengantisipasi global warming itu akan mendapatkan tanaman dari mana? Siapa yang menanamnya? “Kami. Kami adalah grower, kami adalah petani-petani,” lagi-lagi dengan bersemangat.
Lantas, siapa menyuplai tanaman itu? Yang mempunyai keragaman hayati sangat luas adalah Indonesia. Jadi, logikanya, Indonesialah yang seharusnya menjadi pemasok tanaman hias ke seluruh dunia.
Mencintai Produk Sendiri
Sayangnya, upaya pengembangan florikultura ini terhambat pandangan yang menganggap bangsa ini masih miskin. “Bagaimana bisa memanfaatkan celah peluang yang ada?” keluhnya. “Anehnya, anggrek impor dari Thailand banyak pembelinya?”
Bangsa ini mestinya menghargai produk dalam negeri. “Di pertanian, kita tetap harus punya label, aku cinta Indonesia,” ucap Karen.
Dalam hidup ini, Karen berpegang pada filosofi, “Apa yang kita ambil dari bumi harus kita kembalikan ke bumi. Contohnya, jika mengambil air untuk mandi, air itu harus saya kembalikan ke tanah,” terangnya.
Di rumahnya dia menerapkan sistem zero waste, tak ada sampah. Dengan sumur resapan, air hujan ditampungnya. Sedangkan air limbah dapur masuk ke greywater system. “Jadi, air limbah bisa mengairi tanaman atau teras,” sambungnya.
Di rumahnya, Karen memasang panel surya dan menggunakan sesedikit mungkin listrik. Dia juga berupaya mengatur temperatur rumah dengan tanaman, misalnya green wall atau vertical garden.
Tak Mau Menyerah
Mengelola nurseri, sejumlah perusahaan, dan berbagai organisasi tentu bukan pekerjaan gampang. Adakah rahasianya? “Saya tak pernah menyerah. Apa pun persoalannya, saya selesaikan. Masalah itu hanya bagian dari warna kehidupan,” kilahnya.
Kendati sibuk mengurus nurseri Floribunda, menjadi Dirut PT Fajar Puspa Alam, PT Fajar Tata Alam, dan PT Fajar Puspa Nusantara, serta sebagai Direktur Keuangan New Line Floral Education Centre, toh Karen tetap bisa menikmati hobi membacanya, melakukan traveling, dan mencari hal–hal baru, terutama terkait tanaman hias.
Upaya menemukan tanaman baru itu tidak jauh-jauh, bisa dari seputar kehidupannya saja. “Ya, bisa dari got rumah, atau sungai dan gunung. Tanaman di sekitar kita ‘kan sudah punya daya adaptasi, mengapa cari dari luar? Kata orang luar, yang kita miliki cantik-cantik. Nah, mengapa tidak mempercantik diri dengan yang ada?” tutup Karen.
Syaiful Hakim