Banyak daerah yang mengecilkan peran penyuluhan. Struktur kelembagaannya belum mengikuti UU No. 16 Tahun 2006. Perlunya sosialisasi UU tersebut kepada gubernur, bupati, atau walikota.
Ibarat perang, penyuluh itu tentaranya. Program perangnya disusun dinas-dinas (pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan sebagainya), sedangkan pelurunya adalah proyek-proyek (dulu ditangani kantor wilayah). Tapi, seringkali, terutama di daerah-daerah, ”Tidak ada sistem yang mengatur bersatunya program, peluru, dan tentaranya,” kata Ir. Dancik Ibrahim, 55, Kepala Kantor Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Pringsewu, Lampung, kepada AGRINA (13/11).
Apalagi sekarang ini masih banyak kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota yang mengabaikan peran penyuluh. Misalnya, belum mengikuti nomenklatur dalam UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Semestinya, kelembagaan penyuluh pemerintah itu di tingkat pusat Badan Penyuluhan, di provinsi Badan Koordinasi, di kabupaten atau kota Badan Pelaksana Penyuluhan, dan di tingkat kecamatan adalah Balai Penyuluhan dan Pos Penyuluhan.
Model Nasional
Acapkali daerah menggunakan istilah kantor penyuluhan untuk tingkat kabupaten atau kota, padahal, Badan Pelaksana Penyuluhan. “Sebenarnya ada sesuatu yang tidak dipahami orang-orang pusat. Struktur penyuluhan dalam undang-undang nggak ada sosialisasinya. Harusnya undang-undang itu disosialisasikan kepada gubernur, bupati, atau walikota sehingga dalam penyusunan anggaran (penyuluhan) setiap tahun ada. Payung hukumnya ada,” kata alumnus Sosial Ekonomi Pertanian IPB itu.
Terkesan, terutama di daerah-daerah, ada yang tidak menghendaki lembaga penyuluhan itu berkembang karena dianggap bisa mengurangi porsi anggaran pemegang “program” dan pemegang “peluru”, dan beralih ke pemegang “tentara” ini. “Teman-teman kita di dinas merasa kalau badan penyuluhan itu berfungsi, (anggarannya) berkurang, uang jalannya berkurang, proyeknya berkurang, wibawanya berkurang, karena penyuluh itu tidak di bawah dia (dinas) lagi,” ungkap suami Ten Aswaliah ini.
Beruntunglah Provinsi Lampung. Wakil Gubernurnya, Ir. Muhammad Saleh Djoko Umar Said, berasal dari penyuluh. Dari 14 kabupaten/kota di Lampung, sudah tujuh daerah tingkat dua yang mengikuti UU No. 16 Tahun 2006 dan PP (Peraturan Pemerintah) No. 43 Tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian. Tertinggi di tingkat nasional yang sudah menerapkan UU dan PP tersebut. “Makanya Lampung sekarang sedang membuat sebuah konsep nasional tentang bagaimana struktur (penyuluhan) itu tadi. Ini akan menjadi model nasional,” lanjutnya.
Rencananya, di tingkat kecamatan, misalnya tidak ada lagi UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) dan cabang kepala dinas karena sudah fungsional. Balai Penyuluhan Pertanian tidak lagi struktural, tapi fungsional. “Mau (penyuluhan) ayam, ikan, Keluarga Berencana (KB), dan sebagainya, mendampingi camat. Itu planning-nya. Semua boleh memanfaatkan Balai Penyuluhan itu. Misalnya kalau penyuluh KB kurang, penyuluh pertanian bisa direkrut. Tinggal dibekali materinya. ‘Kan metode (penyuluhannya) sama dan sasarannya petani-petani itu juga,” sambung bapak kelahiran Baturaja, Sumsel, 11 November 1955, itu.
Pada era Presiden Soeharto, memang bintang penyuluhan (pertanian) terang benderang. Bahkan, swasembada beras 1983, diklaim tidak lepas dari peran penyuluhan. Sistemnya berjalan dengan baik, tapi begitu reformasi, para penyuluh kehilangan induknya. Bahkan, menurut Dancik yang memulai karir penyuluhan di Indragiri Hulu, Riau, ini, untuk naik pangkat saja, para penyuluh tidak tahu mesti ke mana. Tak heran bila banyak penyuluh yang berusaha untuk bertahan hidup dengan “membantu” pihak swasta seperti memperlancar penjualan pestisida, pupuk, dan benih.
Tugas penyuluh pada dasarnya menciptakan iklim dan membuat petani sebagai pelaku utama bersinergi dengan pengusaha. “Saya sangat gembira, dengan adanya UU No. 16 itu memberikan peluang kepada orang-orang yang mau berkecimpung (di penyuluhan), sehingga tidak ragu lagi,” ucap ayah lima anak ini. Wakil Ketua DPRD Bandarlampung 1999—2004 dari PAN tersebut, menambahkan, sekarang dengan adanya UU dan PP, ada payung hukumnya sehingga kontrolnya jelas.
Jalur sangat efektif
Berfungsinya Badan Pelaksana Penyuluhan sepertinya tidak dikehendaki karena dianggap bisa mengurangi anggaran dinas-dinas. Tapi di sisi lain, penyuluh dirindukan karena sangat dekat dengan petani, kelompok tani, dan gabungan kelompok tani (gapoktan). “Para penyuluh itu dekat dengan petani,” komentar anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Ibrahim dan Siti Nigisah itu. Di daerah yang kontribusi agribisnisnya sangat besar terhadap perekonomian daerah seperti di Provinsi Lampung, jalur penyuluh ini sangat efektif untuk merebut suara petani dalam pemilihan kepala daerah.
Dancik sangat perhatian dengan kepentingan petani, apalagi saat duduk di DPRD Bandarlampung. Karena persaingan politik, mantan Sekretaris Bimas Bandarlampung, ini sempat mendekam di Rutan Way Hui, Bandarlampung, lantaran dianggap menerima gaji ganda (pegawai negeri sipil dan anggota DPRD) dan terjerat pasal korupsi. Padahal, sesuai petunjuk Kanwil Deptan waktu itu, ia sudah mengembalikan kelebihan gaji sebagai pegawai negeri sebesar Rp16,6 juta.
Masih belum cukup, Dancik juga diberhentikan dengan hormat tanpa pensiun sebagai pegawai negeri sipil. Ia melakukan perlawanan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Dan, menang. Sejak 26 Januari 2010, ia dilantik sebagai Kepala Kantor Penyuluhan Pringsewu, kabupaten yang berpenduduk sekitar 340 ribu, yang 70% di antaranya petani. Namun, dari 27 tahun 7 bulan masa dinasnya, selama 13 tahun ia tidak menerima gaji. “Kan selama ini saya bukan tidak bekerja, tapi status quo,” katanya. Tapi, ia tetap semangat. “Saya mencoba, kita yang pertama merealisasikan undang-undang penyuluhan itu,” Dancik menutup obrolannya.
Syatrya Utama dan Abdul Hamid