Satu lagi perempuan Indonesia yang istimewa, Enny Sudarmonowati namanya. Di tengah suasana bangsa yang sering dianggap kehilangan tokoh panutan, jejak langkah perempuan ini layak ditiru kaum muda.
Enny kini menjadi perempuan Indonesia pertama yang memperoleh gelar Guru Besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ketika pada 21 Mei 2010 lembaga itu memberikan anugerah tersebut kepada tiga peneliti mereka. Orasi berjudul “Pendekatan Genetika Molekuler untuk Mengatasi Masalah Pertanian dan Kehutanan” yang disampaikannya kala itu mengundang kekaguman hadirin.
Wanita kelahiran Jember, Jatim, 12 September 1962, ini pantas mendapatkan perhatian istimewa karena apa yang dilakukannya bagi negeri ini, khususnya di bidang bioteknologi, amat bermakna. Kepala Balai Rekayasa Mikroba dan Genetika LIPI 1997 – 2001 ini, misalnya, tengah mengerjakan penelitian untuk menghasilkan singkong alias ubi kayu transgenik yang bermanfaat sebagai bahan makanan manusia dan juga bagi industri.
Memang, selama ini singkong dikenal rendah gizinya. Tapi, bila mampu merekayasanya sehingga mempunyai kandungan nutrisi lebih lengkap, tentu masyarakat yang mengonsumsinya bisa terjaga asupan gizinya. Sedangkan bagi dunia industri, bila dapat menghasilkan singkong beramilosa tinggi akan lebih efisien untuk dijadikan bahan pembuatan etanol.
Singkong dan Sengon
“Keberhasilan rekayasa genetika pada singkong beramilosa tinggi ini baru pertama kali di dunia dengan genotip Indonesia,” tutur Enny memulai perbincangan dengan AGRINA suatu pagi di kantornya.
Memilih singkong sebagai bidang penelitian juga bukan tanpa alasan. Sebab, dulu, ketika akan studi ke luar negeri, Enny bertekad harus bekerja dengan tanaman tropis, tak mau tanaman non-tropis. “Mungkin dengan tanaman mereka, kita dapat tekniknya, tapi tentu tak mudah mengerjakannya pada tanaman tropis,” dalih alumnus Faperta IPB ini.
Alasan lain, “Dengan tanaman tropis, saya bisa mengembangkan Indonesia,” tegas peraih gelar Doctor of Philosophy dari School of Biological Sciences di University of Bath, Inggris, awal Januari 1991.
Selain singkong, putri anggota TNI ini juga tengah meneliti sengon. Perekayasaan sengon itu berkaitan dengan pentingnya tanaman ini bagi dunia industri, khususnya pulp dan paper, dan belakangan, etanol. Perhatian pada sengon berawal dari keprihatinannya pada masih kurangnya pengembangan bioteknologi pada tanaman kehutanan. “Saat pulang ke Tanah Air saya ngenes melihat tanaman kehutanan tertinggal jauh bioteknologinya. Maka, sejak 1992 saya kerjakan. Tujuannya energi,” lanjut wanita yang bergaya bicara cepat ini.
Enny adalah juga pelopor penggunaan teknik baru sebagai solusi alternatif menyelamatkan keanekaragaman flora, yaitu kriopreservasi. Teknik ini dilakukan dengan cara menyimpan satu bagian tanaman dalam tabung cairan nitrogen pada suhu minus 196oC.
Aktivis Lingkungan
Namun, bukan cuma bioteknologi yang jadi perhatian perekayasa singkong beramilosa rendah ini. Dia juga aktivis lingkungan hidup. Dia adalah Ketua Umum Jakarta Green Monster (JGM) dan sebagai Jakarta Wetlands Conservation Programme Manager Fauna & Flora International – IP. “Banyak yang harus diperbuat. Lingkungan rusak, pangan sudah berkurang,” ucapnya.
Aktivitasnya di bidang lingkungan tak pelak mengundang keheranan. Orang misalnya akan mengatakan, mengapa aktivis lingkungan mengerjakan penelitian Genetically Modified Organism (GMO)? Bagi Enny, pandangan itu muncul dari mereka yang tak mengerti. Sebab, jika bukan orang Indonesia sendiri yang mengerjakan GMO, malah orang luar negeri yang mengerjakan. “Nanti, kita malah dibodohin. Prosesnya ‘kan panjang sekali, kalau tak kita mulai, kapan?” tukasnya.
Yang penting, bagi Enny, tujuannya untuk kemaslahatan manusia. Lagi pula, dia mengaku tak sembarang mengerjakan GMO. Dia mencontohkan, ada GMO yang berhubungan dengan rantai makanan dan ekosistem, misalnya membuat tahan wereng atau tahan tungau, sehingga tungau tak makan tanaman, lalu mati, predator tungau pun mati. “Nah, yang seperti ini saya hindari,” tuturnya. Karena itu saat ini dia memilih perekayasaan ke arah komposisi pati dan nutrisi yang tidak mengarah ke ekosistem dan rantai makanan.
Jadi, sebagai ilmuwan dan aktivis lingkungan, dia selalu menimbang mana yang patut dikerjakan dan mana yang tidak. Bagi Enny, orang yang bekerja dengan GMO harus menerapkan prinsip kehati-hatian, baik saat uji lapangan maupun di lab.
Selalu Semangat
Kegiatan Enny bisa dibilang segudang. Sudah menjadi peneliti di LIPI, aktivis lingkungan, masih pula berkiprah di Perhimpunan Hortikultura Indonesia (Perhorti), Perhimpunan Ilmu Pemulia Tanaman Indonesia (Peripi), dan International Society for Conservation Biology serta seabrek organisasi lagi.
Tak hanya telah menghasilkan 150-an makalah ilmiah, sejak 1992 dia juga aktif menulis di jurnal ilmiah nasional dan internasional, seperti Annales Bogorienses New Series, Berita Biologi, Menara Perkebunan dan Journal of Tropical Biology. Sudah tentu pula banyak penghargaan diraihnya, sebutlah penghargaan dari Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI sebagai penerima paten terbaik 2009, penghargaan sebagai pemakalah terbaik di Kongres Peripi 2009, dan Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun dari Presiden RI pada 2007.
Apa rahasianya hingga perempuan ini mampu melakukan semua itu? “Alhamdulillah, saya diberi energi yang banyak dan selalu semangat! Saya hanya tidur dua jam sehari. Siang ngider ke sana-sini,” katanya sembari tersenyum.
“Malam hari saya pakai untuk menulis paper, membikin presentasi, proposal, atau laporan,” sambung Enny lagi. Esoknya, “Bangun pagi, menulis e-mail. Orang luar ‘kan tidak tahu ritme saya. Kalau sampai hari Sabtu (masih padat aktivitas), saya tidur di mobil, bekerja, kirim sms, dan e-mail sampai pedes mata saya,” tutup profesor riset ini.
Syaiful Hakim, Peni SP