Senin, 25 Oktober 2010

Ir. Syamsuddin H. Amin, MM, Meluruskan yang Tidak Lurus

Tanpa pamrih lahir batin dalam bekerja dan berhubungan dengan manusia.

Filosofi inilah yang mendasari kecintaan Ir. Syamsuddin H. Amin, MM menjalani aktivitasnya sebagai Sekretaris Ditjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan Perikanan. ”Saya senang di sini, bisa berbuat yang bermanfaat bagi orang lain” ungkapnya.

Besarnya semangat membantu sesama diwujudkan dalam pembuatan program pengembangan wirausaha perikanan budidaya dengan anggaran dana hampir Rp185 miliar sepanjang 2010. Menurut lelaki kelahiran Bima, 13 Februari 1953, dana ini untuk pembiayaan lima kegiatan, yaitu pengembangan wirausaha pemula perikanan budidaya, administrasi dan pembinaan di kabupaten/kota, pengembangan budidaya lele di Boyolali, pabrik pellet mini, dan paket sarana budidaya maggot.

Prioritas dana ini, sambungnya, sebesar 70%-80% digunakan untuk pengembangan wirausaha pemula perikanan budidaya, yaitu dengan penyediaan 24.210 paket. ”Ini ’kan langsung ke masyarakat. Berarti, masyarakat mendapat cuma-cuma. Tujuannya apa, supaya mereka ada pekerjaan,” terang pria yang akrab disapa Pak Syam. Kegiatan ini juga bertujuan meningkatkan produksi perikanan budidaya. Diharapkan, setelah ada peningkatan produksi, pendapatan masyarakat akan meningkat dan kesejahteraannya pun ikut terangkat.

Paket pengembangan wirausaha perikanan meliputi berbagai komoditas, yaitu rumput laut, patin kolam, patin keramba jaring apung (KJA), lele, polikultur, nila KJA, gurami, mas, maggot, juga kolam. Paket ini menjangkau seluruh wilayah Indonesia dari Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, dan Pidie Jaya) hingga Papua Barat (Manokwari, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Sorong, Raja Ampat, Fak-fak, dan Kaimana).

Lebih lanjut, menurut ayah tiga anak ini, program administrasi dan pembinaan kabupaten/kota melibatkan 273 kabupaten/kota, pengembangan budidaya lele di Boyolali dilakukan dengan pembuatan 500 kolam, pembangunan 40 unit pabrik pellet mini, dan penyediaan 1.396 paket sarana budidaya maggot.

Tidak berhenti sampai di situ, program lain yang telah dilakukan adalah restocking, yaitu penebaran benih ikan di waduk atau danau. Ikan yang sudah besar dapat dipanen secara cuma-cuma oleh masyarakat. Dan dalam rangka penciptaan lapangan kerja, ”Ditjen Perikanan Budidaya sudah menyiapkan Rp450 miliar untuk paket bantuan cuma-cuma pada 2011 mendatang,” urai lulusan Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang, 1980.   

Perhatian Menyeluruh

Sifat tanpa pamrih dan perhatian yang besar diberikan kepada seluruh staf dan relasi tanpa memandang status sosial. ”Di sini ’kan (Ditjen Perikanan Budidaya) dapur, ya melayani semua orang. Mulai dari big boss, pesuruh, supir, keamanan, yang selevel dengan saya juga,” ungkap lelaki yang pernah menjadi tukang parkir semasa kuliah dulu.

Perhatian terhadap staf dan lingkungan kerja diberikan dengan cara melengkapi fasilitas yang dibutuhkan balai-balai di bawah naungan Ditjen Perikanan Budidaya. ”Kita harus perhatikan dia (balai). Anggaran sebagian harus masuk. Semua fasilitas untuk menunjang tugas pokok harus dipenuhi,” ujar Syam yang juga menggenggam gelar Magister Manajemen di STIE IPWI, Jakarta, pada 1997.

Pemenuhan fasilitas bekerja, menurut pandangan dia, menciptakan iklim kerja kondusif sehingga semangat bekerja meningkat. Peningkatan kinerja staf dibuktikan dengan meningkatnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dari Rp6 miliar menjadi Rp11 miliar. ”Saya ini ’kan tugasnya dapur. Ini yang saya lihat, semangat kerja,” tukas suami Ny. Chadijah ini.

Tak hanya di lingkungan kerja, sikap tanpa pamrih pun dijunjung tinggi dalam bergaul dengan relasinya. ”Dulu, salah satu pengusaha mau membeli kapal penangkapan ikan,” cerita Ayah dari La Moriansyah (25), Larani Soraya (23), dan Avina Syafira (15) ini. Karena mengenal si pemilik kapal, Syam lalu menghubungkan keduanya.

Tersedia tiga kapal yang diinginkan dengan harga masing-masing Rp150 juta. Saat itu si pemilik kapal memberi penawaran harga masing-masing Rp200 juta dan akan memberikan komisi Rp50 juta per kapal buat Syamsuddin. ”O, jangan. Itu ’orangtua’ saya. Sudahlah, katakan saja seratus lima puluh,” tolak pria yang besar di Kampung Bara, Bima, Nusatenggara Barat ini.

Tak Takut Musuh

Sebelum menjadi Sesditjen Perikanan Budidaya, lelaki berpangkat pembina utama madya ini, mengawali karirnya sebagai pengawas di Inspektorat Perikanan (dulu di bawah naungan Departemen Pertanian). ”Di Inspektorat cocok dengan jiwa saya,” ungkap Syamsuddin. Alasannya, inspektorat melakukan pemeriksaan pekerjaan mulai dari aspek persiapan, pengadaan alat kerja, pelaksanaan kerja, hingga membenarkan sesuatu yang menyimpang dan memberikan saran untuk perbaikan. ”Jadi, meluruskan suatu pekerjaan yang tidak lurus,” tandasnya.

Menemukan suatu penyimpangan yang besar nilainya dan melibatkan pejabat level tinggi, mendatangkan kepuasan luar biasa baginya. Walaupun, menurut dia, memang ada pertentangan batin saat mendapati teman atau memikirkan keluarga pelaku penyimpangan. Akan tetapi, lanjutnya, sesuatu yang prinsip tidak dapat diatur. ”Negara ndak boleh dirugikan. Intinya itu, negara tidak boleh dirugikan,” dia menegaskan.

Pekerjaan sebagai inspektur, diakuinya, memang berisiko. ”Banyak ’musuh’ memang benar, tapi selama Tuhan ndak membenci kita, ’kan ndak ada masalah. Kalau orang lain membenci silakan. Selama Tuhan ndak membenci kita itu bukan masalah bagi saya,” Syam mengakhiri perbincangan.

Windi Listianingsih, Syatrya Utama

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain