Selasa, 28 September 2010

Ketut Sugama Berkarya dengan Bekal Filosofi Bali

Tak banyak orang berpikiran jauh ke depan dan berupaya mengantisipasinya sejak dini seperti yang dilakukannya. Sebutlah, memikirkan solusi atas permasalahan dunia perikanan beberapa tahun mendatang.

Ketut Sugama melihat pasokan ikan laut yang kian berkurang sejalan meningkatnya penduduk bumi yang mencapai 6 miliar jiwa. Hingga 2020, diperkirakan perikanan Indonesia pun harus mampu menyediakan sekitar 130 juta ton ikan budidaya dan tangkap dengan rata-rata 30 kg ikan per kapita penduduk.

Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jelas tak bisa mengandalkan produksi perikanan hasil tangkapan, tapi harus didukung sektor budidaya. “Salah satu cara mengatasinya adalah budidaya ikan laut,” kata Ketut Sugama yang kini menjabat Direktur Perbenihan, Ditjen Perikanan Budidaya, KKP itu.

Ke depan, ujar lelaki yang biasa disapa Ketut ini, trennya adalah budidaya yang tak hanya sebatas ikan air tawar, tapi juga ikan air laut bernilai ekonomi tinggi, seperti kerapu, udang, juga tuna. “Dari data, kini produksi ikan budidaya hampir menyamai hasil tangkapan yang stagnan,” imbuhnya.

Potensi Besar Harus Dijaga

Sebelum menjadi pejabat teras KKP, Ketut pernah berkarir sebagai peneliti yang selanjutnya mengepalai Balai Riset Perikanan Budidaya Laut di Gondol, Bali pada 1990-2002. Sumbangsihnya sebagai peneliti adalah temuannya berupa teknologi sederhana perbenihan bandeng dan kerapu skala rumah tangga (Hatchery Skala Rumah Tangga/HSRT). Teknologi ini membantu nelayan yang selama ini biasa mengebom ikan dengan racun sianida beralih ke usaha perbenihan.

Teknologi tersebut sengaja dibuat untuk skala kecil agar masyarakat menengah ke bawah bisa memanfaatkannya karena tak butuh modal besar. Selain itu, usaha perbenihan yang terfokus pada pemeliharaan larva dan pendederan ini mudah diterapkan pada berbagai jenis ikan laut.  Dan juga tidak kalah pentingnya adalah membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat.

“Masyarakat harus bisa jadi pembudidaya ikan laut yang ramah lingkungan,” ucap laki-laki yang suka jalan-jalan dan mengendarai mobil ke tempat-tempat indah dan bersejarah bersama keluarganya ini.

Tak berlebihan jika sebuah lembaga internasional dari Australia menganugerahi award pada usaha Ketut. “Kami bangga bisa mengembangkan teknologi pembenihan ikan laut yang bisa diterapkan dalam unit perbenihan skala rumah tangga. Masyarakat yang dulu mengandalkan alam pun dapat memproduksi benih bandeng dan kerapu,” ujar peneliti yang mengambil disertasi S-3 tentang pemuliaan dan genetika ikan di Jepang ini.

Itu sebabnya Ketut sangat mencintai pekerjaannya lantaran pekerjaannya ini bisa bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kendati ia mengaku masih banyak cita-cita pengembangan perikanan budidaya yang diimpikannya belum terwujud. “Jadi, saya berkomitmen terus mengembangkan perikanan budidaya,” tandas ayah dari Ni Wayan Narita Sugama dan Ni Made Ryoko Sugama itu.

Kesetiaan dan ketekunan Ketut bekerja bisa terlihat dari upayanya terus berkarya menciptakan inovasi baru di bidang perbenihan. “Karena sudah menyandang profesor riset (orasi pada 2006), saya harus tetap berkarya. Saya kini ditugasi di Ditjen Perbenihan memproduksi induk unggul yang cepat tumbuh dan tahan penyakit,” jelasnya.

Berpegang pada Filosofi

Pria kelahiran Denpasar, 5 Juli 1956, ini dibesarkan sebagai orang Bali sehingga filosofi masyarakat Bali yang diajarkan orangtuanya selalu jadi pegangannya. “Hidup harus be productive, don’t be consumptive. Kita harus jadi orang yang produktif dan itu pula yang saya ajarkan pada anak-anak,” papar anak pasangan I Made Dana dan Ni Nyoman Rendih ini.

Ketut sangat percaya, jika manusia produktif, mau bekerja, rezeki atau uang akan datang dengan sendirinya. Hal ini telah terbukti dengan apa yang dilakukannya selama ini. “Saya berhasil mengembangkan teknologi yang membantu upaya mengurangi kerusakan karang,” terang suami Dra. Isti Koesharyani itu.

Penyuka musik country ini pun terus memacu diri untuk selalu berjalan sesuai jalurnya. “Saya takut ada karma. Sebagai orang Bali, saya percaya hukum karma karena sejak kecil sudah diajari begitu oleh orang tua saya,” tutup pengagum keindahan Pantai Sanur yang juga gemar membakar ikan di Jimbaran, Bali, ini.

Tri Mardi Rasa

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain