Selasa, 28 September 2010

Jangan Keburu Datang Bencana

Jangan Keburu Datang Bencana

Para investor lebih tertarik lagi kalau MIFEE menjadi kawasan ekonomi khusus. Apalagi menjadi semacam otorita.

Kondisi pangan, terutama beras, boleh dikatakan rawan. Diperkirakan tahun ini China bakal mengimpor beras satu juta ton. India juga bakal mengimpor beras. Indonesia, seperti yang dikatakan Menteri Pertanian Suswono, Senin (20/9), memberikan rekomendasi mengimpor beras untuk memperkuat cadangan nasional. “Kalau terjadi sesuatu di negara ini, kita mau beli beras dari mana,” tanya Ir. Hilman Manan, Dipl. HE, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA), Kementan, kepada AGRINA, Kamis (16/9).

Salah satu jalan keluar untuk mengatasi kecemasan dan keragu-raguan tersebut adalah mengembangkan Merauke Integrated Food & Energy Estate (MIFEE) di Merauke, Papua. Agustus lalu, pemerintah sudah meluncurkan kawasan pangan dan energi terpadu itu. “Sekarang ada jalan keluar yang akan diperbuat,” kata alumnus Teknik Sipil ITB itu.

Apa artinya pengembangan kawasan pangan dan energi terpadu tersebut bagi ketersediaan pangan kita? Benarkah ini merupakan solusi mengatasi kecemasan itu? Berikut petikan wawancara AGRINA, dengan orang yang lama bermukim di Papua itu.

Apa artinya peluncuran MIFEE ini?

Dengan grand launching itu berarti ada komitmen dari pemerintah untuk menunjang Merauke Integrated Food & Energy Estate. Yang pantas dan menjadi kewajiban pemerintah adalah infrastruktur, kalau dananya ada. Tapi juga tidak menutup teman-teman investor ini membangun infrastruktur, mungkin dengan memberikan insentif, apakah keringanan pajak, insentif kredit, atau kemudahan perizinan lainnya, sehingga mereka bisa mengambil margin dari usaha ini, sebagai pengganti infrastruktur yang dibangun itu.

Bagaimana respon para investor dengan adanya grand launching MIFEE ini?

Grand design sudah diambil investor-investor itu, apakah mereka mau masuk atau nggak. Dengan begitu mereka merasa lebih yakin. Begitu kita selesai mencanangkan, begitu mau dicanangkan, Sinar Mas, misalnya, yang tidak pernah ikut-ikut, langsung ikut. Wilmar katanya langsung maju untuk 200 ribu ha.

Dari kesepakatan terakhir, berapa luas lahan untuk MIFEE ini?

Luas Kabupaten Merauke itu 4,5 juta ha. Dari 4,5 juta ha itu, yang bisa menjadi lahan budidaya 2,5 juta ha. Dari 2,5 juta ha itu, setelah dilakukan penelitian, dalam penyusunan tata ruang, diusulkan 1,28 juta ha. Dari kesepakatan awal itu, turun menjadi 760.000 ha. Mungkin, karena ada moratorium gambut, tata guna hutan kesepakatan, kita nggak bisa langsung besar. Terus pemerintah daerah provinsi (Papua) pun menyarankan, sebaiknya 580 ribuan ha. Akhirnya kita sepakati, kan nggak mungkin ini dibuka dalam 1-5 tahun, yang 580 ribuan ini. Ya, kita mulai dari yang itu. Berarti hanya sebagian dari Merauke.

Bukankah masih perlu kebijakan-kebijakan lanjutan agar bisa operasional?

Ya, ada penataan lagi ke depan kebijakan-kebijakan yang disiapkan teman-teman di Menko (Perekonomian). Apakah dia (MIFEE) masuk kawasan ekonomi khusus (KEK). Kalau KEK, apanya yang masuk. Apakah investor yang nanti mau menginvestasikan pabrik, misalnya, mesin dan lain-lain, investasi ke sana bebas pajak masuk atau apa, itu yang lagi disiapkan. Dengan KEK, teman-teman yang berinvestasi ke sana akan lebih cepat dan lebih tertarik lagi. Idealnya semacam badan otorita. Kenapa? Misalnya alih fungsi hutan, ‘kan kewenangan pusat. Agraria juga pusat, karena ini mencakup luasan yang cukup besar. Kalau HGU 1-2 ha masih bisa (izin) di kabupaten. Untuk 10—25 ha di provinsi. Kalau kawasan cukup besar, ratusan ribu ha seperti perkebunan tebu, tentunya (kewenangan pemerintah) pusat.

Bagaimana kebijakan yang menyangkut hak ulayat?

Hak ulayat itu harus tetap didukung. Harus ada kesepakatan, mungkin perjanjian, kemudian bagaimana kita memberdayakan masyarakat. Mungkin di dalam hak ulayat ini disiapkan, dari sekian investasi ini, mungkin harus disiapkan kawasan industri. Misalnya kita bikin kawasan industri kayak Pulo Gadung (Jakarta) yang dibangun investor. Pengelola kawasan industri ini yayasan ulayat. Misalnya di kawasan ini ada pabrik tepung tapioka, pabrik etanol, yang merupakan turunan dari budidaya tadi. Dengan keterkaitan ini ada saling ketergantungan, di samping hak ulayat punya sharing di perkebunan, estate, mereka juga berharap estate ini berhasil, supaya kawasan industrinya berhasil.

Dalam konteks ketahanan pangan, apa artinya dengan keberadaan MIFEE ini? Bagaimana dengan feed the world?

Feed the world kalau kita sudah cukup. Yang sederhana aja. Kita sekarang mengimpor gula. Bagaimana supaya tidak impor gula? Perluasan lahan? Di Jawa? Mari kita ganti sawah kita dengan tebu. Padi hilang, padahal 55%-60% produksi padi di Jawa. Kalau kita nggak boleh di tempat lain (Merauke), udah kita impor terus gula. Padahal berapa triliun rupiah untuk impor gula. Setelah datang (dari impor), gula disubsidi lagi, karena Bapak nggak mau gula mahal. Itu contoh yang paling sederhana.

Lantas, bagaimana dengan padi?

Sekarang China minta impor beras satu juta ton. Filipina sudah ngimpor. India minta impor. Thailand dan Kamboja sudah menahan-nahan ekspor. Kalau terjadi sesuatu di negara ini, kita mau beli beras dari mana? Terus, pertumbuhan penduduk kita mencemaskan. Kok nggak mencemaskan ketersediaan pangan kita. Terus apa jalan keluarnya. Sekarang ada jalan keluar kita usulkan (MIFEE). Kita asyik berdebat. Ada suara-suara memarginalkan (rakyat). Terlambat bikinnya, keburu datang bencananya. Saya kira bangsa ini harus sepakat, kita ini resah sama ketersediaan pangan bangsa dan dunia.

Syatrya Utama dan Liana Gunawati

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain