Selasa, 28 September 2010

Mengelus Puyuh, Menambah Kocek

Potensi pasar telur puyuh sangat besar. Tapi sayang, jumlah peternak puyuh kurang begitu berkembang.

Puyuh (Coturnix coturnix japonica), boleh dibilang sebagai unggas lokal. Sebab, sejak 1981 sudah tidak pernah diimpor lagi. “Nggak ada impor lagi,” kata Slamet Wuryadi, 39, Ketua Kelompok Tani Cilangkap Sub 1, Desa Cikembar, Kec. Cikembar, Sukabumi, Jawa Barat, kepada AGRINA, Sabtu (5/9). Ditaksir, saat ini populasinya sekitar 250 juta.

Jumlah peternak puyuh boleh dikatakan kurang berkembang. Jika populasi puyuh setiap peternak 10.000 ekor, berarti jumlah peternaknya sekitar 25.000. Bandingkan dengan jumlah peternak ayam yang sudah mencapai jutaan. Padahal, “Market berkembang, tapi jumlah peternaknya stagnan,” kata Ketua Asosiasi Peternak Puyuh Indonesia (APPI) itu.

Sentra Peternakan

Para peternak puyuh ini tersebar di Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali. Menurut Slamet, sentra produksi puyuh itu di Jawa Timur. “Mereka rajin. Jiwa entrepreneurnya luar biasa,” kata alumnus IPB, Bogor, itu.

Slamet sendiri mempunyai 31.000 ekor indukan (grand parent stock dan parent stock). Selain bergerak di pembenihan (breeding), ayah dua anak ini juga mempunyai 60.000 ekor puyuh petelur. Kalau digabung dengan mitranya, yang berjumlah 33 orang, total populasi puyuh petelur dari Kelompok Tani Cilangkap Sub 1 ini mencapai 200.000 ekor.

Kalau kita lihat dari analisis usahanya, bisnis puyuh ini cukup menjanjikan. Dengan skala usaha 1.000 ekor dengan satu siklus 18 bulan, bisa menghasilkan omzet (dari telur puyuh, puyuh afkir, dan pupuk kandang) sekitar Rp 74,9 juta. Setelah dikurangi biaya bibit, pakan, obat, vitamin, listrik, dan sangkar, yang sekitar Rp 57,5 juta, maka diperoleh keuntungan bersih sekitar Rp 17,4 juta. Atau keuntungan per bulan sekitar Rp 965.000.

Sekadar gambaran saja, bukan karena untuk menyombongkan diri. Dari Slamet Quail Farm, Slamet Wuryadi mempunyai tanah lebih dari dua hektar. Ia juga mempunyai ruko dan rumah. Selain mempunyai dua colt Mitsubishi, ia juga mempunyai Toyota Kijang Innova. Ini adalah hasil kerja kerasnya lebih dari 10 tahun mengembangkan bisnis puyuh.

Potensi Pasar

Potensi pasar telur puyuh memang cukup besar dan terus berkembang. Jabodetabek saja, menurut Slamet, memerlukan telur puyuh sekitar 3 juta butir per minggu. Tapi yang baru bisa dipenuhi sekitar 15 persen. Menurut suami Lulun Layungsari itu, hampir 85 persen telur puyuh dipasarkan melalui pasar asongan dan sisanya dipasarkan di pasar modern.

Kalau dilihat dari segi harga, telur puyuh sekitar Rp 200 per butir. Menurut Slamet, nilai gizi tiga butir telur puyuh setara dengan satu butir telur ayam. Jika harga satu butir telur ayam sekitar Rp 1.000, berarti ada penghematan sekitar Rp 400. Menurut Woodar (1973) dan Sastry (1982) kandungan protein telur puyuh sekitar 13,1 persen, lemak 11,1 persen, dan karbohidrat 1 persen. Bandingkan dengan telur ayam ras yang kandungan proteinnya 12,7 persen, lemak 11,3 persen, dan karbohidrat 0,9 persen. Jika puyuh petelur ini bisa berkembang dengan baik di Indonesia, bisa membangunan kemandirian pangan di Indonesia. Apalagi sebagian besar sumber inputnya berasal dari dalam negeri (domestik).

Sedangkan untuk puyuh betina afkir (setelah berumur 18 bulan), puyuh ini dipotong dan dikirim ke Jakarta. Menurut Slamet, daging betina afkir ini untuk memenuhi kebutuhan warung di pinggir jalan. Di pasar, betina afkir ini agak mirip dengan daging burung dara.

Selain itu, menurut sumber yang diperoleh Slamet, banyak daging puyuh pejantan yang diekspor ke Kamboja, Myanmar, dan Laos. Dari informasi yang diperoleh Slamet, daging puyuh pejantan ini dapat meningkatkan stamina seksual pria. Dengan demikian, kalau jika informasi itu benar, sebenarnya puyuh bisa menjadi salah satu sumber devisa negara.

Dukungan Pemerintah

Lalu apa yang telah dilakukan pemerintah untuk mendorong bisnis puyuh di Indonesia. Seperti yang pernah diungkapkan Djajadi Gunawan, Direktur Budidaya Ternak Non-Ruminansia, Ditjen Peternakan, Kementerian Pertanian, sejak 2008 pemerintah telah memberikan fasilitas Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) pada daerah-daerah potensi puyuh. Hingga 2010, pemerintah telah memberikan fasilitas PMUK atau Tugas Perbantuan di 13 provinsi, 22 kabupaten atau kota kepada 24 kelompok. Setiap kelompok memperoleh rata-rata Rp 24 juta. Selain itu, dirintis pula Sarjana Masuk Desa (SMD).

Selain itu, pemerintah juga telah memberikan dukungan sumber pendanaan dari perbankan, yaitu skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dengan suku bunga 6 persen per tahun. Selain itu, dapat pula melalui skim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan program penjaminan dan suku bunga komersial melalui bank pelaksana daerah.

Belum lama ini, Kelompok Tani Cilangkap Sub 1 telah memproleh KKPE dari BJB (Bank Jabar Banten) sebesar Rp 550 juta untuk 22 anggotanya. Setiap anggota memperoleh Rp 25 juta, sehingga masing-masing bisa menambah populasi puyuhnya sekitar 2.000 ekor. “Harapan saya, dengan KKPE ini pemerintah memberikan stimulan,” kata Slamet, yang pernah bekerja di PT Golden Quail Farm, milik Rachmat Pambudy.

Untuk mendapatkan kucuran dana KKPE itu, Slamet memberanikan diri mengagunkan aset-setnya seperti tanah. “Saya memberanikan untuk memakai agunan saya,” katanya.

Dana KKPE itu dapat digunakan untuk membeli puyuh, pakan, dan perbanyakan sangkar. Dana KKPE ini diberikan kepada anggota kelompoknya. Dari keuntungan sekitar Rp 900.000, yang digunakan untuk membayar bunga sekitar Rp 200.000. “Nyaman sekali. Harapannya bisa ditambah supaya tetap ada peningkatan,” kata orang yang pernah bekerja sebagai Supervisor Layer Farm Commercial di PT Anwar Sierad, 1991–1993, itu.

Kalau dilihat dari gambaran di atas, puyuh merupakan sumberdaya lokal yang dapat meningkatkan kemandirian pangan dan kesejahteraan peternak. Karena itu, selayaknya pemerintah mendorong meningkatkan populasi puyuh dan jumlah peternaknya di Indonesia. Apalagi bisnis puyuh ini sangat layak. “Bisnis ini sangat layak,” kata Slamet.

Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain