Pakan menjadi salah satu penentu keberhasilan usaha budidaya udang. Kesalahan dalam memilih produk pakan bakal berpengaruh pada hasil produksi.
Hal tersebut dihayati benar oleh Aseng, petambak asal Lampung, yang ditemui AGRINA di workshop-nya kawasan Bandarlampung (22/9). Dia mendapat pelajaran berharga tentang pakan dari pengalamannya bertambak sejak 1983 di Jawa Timur. Kala itu sosok low profile ini mengusahakan udang windu dan memiliki 22 petak tambak. Luas setiap petak berkisar 5.000—8.000 m2. Namun karena kondisi perairan menurun dan serangan virus merajalela di wilayah tersebut, dia menghentikan usaha budidayanya.
Aseng lalu mencoba mencari tempat bertambak baru di Sumbawa, Nusatenggara Barat. Di tempat ini usahanya cukup berhasil karena kondisi perairannya yang masih bagus. Keberhasilannya menarik perhatian seseorang di sana yang akhirnya malah membeli tambak udang miliknya. Aseng pun kembali vakum bertambak.
Barulah pada 2006 Aseng masuk ke Lampung dan kembali mengusahakan udang. Kali ini jenis udang Vanname. Empat tahun bertambak, dirinya sempat berpindah lokasi. Lagi-lagi kondisi perairan yang mulai menurun kualitasnya menjadi alasan kepindahannya. Mula-mula di Desa Sidodadi, Kecamatan Hanura, Kabupaten Pesawaran, lalu dia merambah ke wilayah antara Kabupaten Tanggamus dan Kotaagung. Menurutnya, kawasan ini masih terbilang baik untuk budidaya udang. Kini dia memiliki 14 petak tambak yang rata-rata seluas 3.000 m2 per petak. Dari setiap petak dapat diraup 2—2,5 ton udang size 50. Hasil panennya dipasarkan ke Jakarta dan Cirebon dengan harga Rp49.000 per kg.
Pakan Terbaik
Memulai usaha di Lampung tersebut, Aseng mengaku telah menggunakan produk pakan yang menurutnya terbaik hingga sekarang ini. “Saya pakai produk Gold Coin sejak memulai usaha sampai sekarang. Hasilnya cukup memuaskan, terutama untuk pertumbuhan udang,” jelasnya.
Dari pengalamannya menggunakan produk Gold Coin, udang sudah siap dipanen saat berumur 100 hari, dengan size 50. Menurutnya, ketika sampling pada umur 95 hari bobot udang telah mencapai 18,64 g per ekor. “Untuk menambah bobot hingga mencapai 20 g, tinggal membutuhkan waktu 5 hari dengan rata-rata pertumbuhan 0,275 g per hari,” ujarnya.
Hitungan Aseng, biaya produksi sampai size 50 dengan masa budidaya 100 hari sekitar Rp 22,000-23,000 per kg. Artinya, terjadi penghematan cukup besar karena biasanya udang baru dipanen saat berumur 110—120 hari.
Petambak kawakan ini mengaku sempat tergoda untuk mencoba produk pakan merek lain. “Saya sempat coba beberapa periode, tapi hasilnya jauh dari memuaskan. Makanya saya langsung kembali ke produk Gold Coin,” cetusnya. Dengan kondisi perudangan yang sedang lesu dalam dua tahun terakhir ini, imbuh dia, bukanlah saat untuk mencoba-coba karena bisa menimbulkan kerugian cukup besar.
Berpuluh tahun bergerak di usaha perudangan, Aseng berbagi pengalaman. Menurutnya, agar sebuah usaha tambak udang berhasil, seorang petambak sedikit banyak harus tahu tentang budidaya udang. “Jangan hanya mengandalkan pekerja,” sarannya.
Selain itu seorang petambak juga harus teliti, mau belajar, dan selalu mengecek kondisi tambaknya. Dalam belajar pun tak pandang bulu. Harus mau bertanya kepada siapa saja, termasuk kepada pekerja di tambak. “Tak jarang saya bertanya dan berdebat dengan teknisi demi keberhasilan budidaya,” pungkasnya menutup perbincangan.
Ps.Priyono, Kontributor Lampung