Berdasarkan Laporan Verifikasi Independen (IVEX), SMART tidak melakukan pelanggaran. Tapi Greenpeace punya pendapat lain.
Apakah benar PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk menjadi pemicu deforestasi hutan primer, kerusakan habitat orangutan, membuka hutan tanpa izin, membakar hutan, dan membuka lahan gambut berkedalaman lebih 3 m seperti yang dituduhkan Greenpeace? Ternyata, menurut Laporan Verifikasi Independen (IVEX), tuduhan itu tidak benar. “Kami memiliki kepedulian yang tinggi kepada masyarakat, lingkungan hidup, dan keanekaragaman hayati, termasuk orangutan,” kilah Daud Dharsono, Direktur Utama PT SMART, pada acara jumpa pers di Jakarta, Senin (9/8).
Menurut Daud, SMART selalu beroperasi secara bertanggung jawab dan dalam koridor hukum serta peraturan perundang-undangan. Dalam laporan IVEX telah dijabarkan satu persatu. Antara lain, PT SMART dan Golden Agri-Resources. Ltd (GAR), perusahaan induk SMART, tidak bertanggung jawab atas deforestasi hutan primer di Indonesia karena beroperasi dalam koridor hukum. Apalagi pengelolaan perkebunan dilakukan berdasarkan langkah-langkah dalam menjamin konservasi berkelanjutan atas hutan primer dan lahan dengan Nilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value (HCV).
Sesuai prosedur
Tim IVEX, lanjut Daud, telah membuktikan bahwa SMART dan GAR beroperasi sesuai prosedur dan proses degradasi area hutan yang menjadi habitat orangutan terjadi jauh sebelum SMART memuli persiapan lahan dan penanaman. Dalam catatan IVEX disebutkan, 37.698 ha lahan (21%) telah dibuka sebelum dilakukannya penilaian HCV.
Sementara itu, SMART telah mengidentifikasi sekitar 21.000 ha lahan (11,5%) HCV dan mengonservasinya dan memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Lalu, sebelum melakukan pengembangan lahan, di seluruh lima areal konsesi di Kalimantan Barat telah melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). “Dengan begitu SMART telah memenuhi semua izin pengembangan lahan yang telah ditentukan,” tegas Daud.
Tim IVEX juga telah melakukan verifikasi lapangan dan tidak menemukan bukti adanya pembakaran dalam proses persiapan dan pembukaan lahan SMART. Hal tersebut dibuktikan dengan menerapkan kebijakan zero-burning (tanpa pembakaran) sejak 1997.
Lebih lanjut, Peter Heng, Managing Director of Communications and Sustainability GAR, menyatakan lebih dari 98% areal konsesi SMART tidak ditanam di atas lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 m. Di Kalimantan Tengah, pengembangan di lahan gambut sekitar 1.880 hektar (ha) atau 2,1% areal konsesi, dan di Kalimantan Barat sekitar 1.330 ha atau 1,4% areal konsesi. Terlebih juga tidak ditemukan bukti adanya dampak sosial negatif dari kegiatan budidaya tanaman kelapa sawit di areal konsesi SMART.
Pekebun plasma
Bahkan banyak dari beberapa pemilik lahan yang menjadi pekebun plasma dan bekerja sama dengan Perseroan. Sehingga mereka mendapatkan penghasilan yang jauh lebih baik. “Perkiraan pendapatan mereka bervariasi antara US$9 dan US$12 per hari, jauh di atas rata-rata upah minimum yang (saat ini sekitar) US$5 per hari,” jelas Peter.
Pada saat ini, perusahaan yang bernaung di bawah payung GAR mencapai 53 perusahaan, termasuk SMART. Sekarang ini, baru SMART dan PT Ivo Mas Tunggal yang telah menjadi anggota RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan tengah melakukan proses untuk mendapatkan sertifikasi RSPO. “GAR sendiri menargetkan untuk mendapatkan sertifikasi RSPO atas seluruh unit usaha kelapa sawitnya 2015,” katanya.
Tapi, Bustar Maitar tidak sependapat dengan informasi yang dilontarkan pihak SMART. Dengan menggunakan laporan IVEX, justru Bustar menuduh SMART telah melakukan pelanggaran. “Audit memperlihatkan Sinar Mas secara terus menerus melanggar hukum Indonesia, aturan RSPO, komitmen mereka sendiri, dan menyembunyikannya lewat manipulasi informasi,” kata Team Leader Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, itu.
Hasil audit menunjukkan, kata Bustar, delapan dari 11 perusahaan terbukti merusak hutan tanpa AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). Audit juga menyebutkan, Sinar Mas terlibat dalam pembukaan hutan secara besar-besaran tanpa assesment Nilai Konservasi Tinggi (High Value Conservation). Selain itu menghancurkan lahan gambut kaya karbon dan hutan hujan Indonesia yang masih tersisa, termasuk habitat orang utan.
“Saat ini kami mematuhi asas ketaatan dan telah mengambil tindakan-tindakan tegas untuk memastikan hal tersebut. Kami berharap kekeliruan yang ada tidak akan terulang kembali dan kini kami berkomitmen menjadi bagian penting dari solusi,” timpal Daud.
Meski IVEX membuktikan SMART tidak seperti yang dituduhkan Greenpeace, pihak Unilever sebagai pembeli produk sawit SMART tidak serta merta membuka pintunya. Hal tersebut diungkap Maria Dewantini Dwianto, Head of Corporate Communication. PT Unilever Indonesia Tbk. “Pada saat ini Unilever masih mempelajari secara mendetail hasil verifikasi oleh badan independen tersebut. Baru setelah itu akan ditentukan langkah selanjutnya,” katanya menjawab AGRINA via surat elektronik (25/8).
Yuwono Ibnu Nugroho