Kontaminasi mikotoksin kian sering ditemukan pada pakan dan bahan baku pakan. Dan jenisnya pun tidak hanya satu, bisa empat sekaligus. Perlu pengamanan yang efektif.
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan jenis cendawan tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan. Toksin atau racun ini tidak hanya menurunkan kualitas bahan pakan dan pangan, tetapi membahayakan kesehatan manusia maupun ternak bila sampai termakan. Misalnya, menurunkan kekebalan tubuh, menyebabkan radang saluran pencernaan, kerusakan hati, bahkan kanker hati.
Di antara akibat mikotoksin tersebut, drh. Setijo Purwono, Feed Additive Business Manager PT Romindo Primavetcom, perusahaan obat-obatan ternak di Jakarta, penurunan kekebalan termasuk yang seringkali tidak dilihat peternak. Biasanya, “Kalau peternak melihat kekebalan (ayamnya) menurun, yang dia serang vaksinnya, nggak bagus. Atau manajemen kandangnya nggak bagus. Jarang sekali mereka berpikir kenapa kok itu turun,” tutur Setijo.
Lebih jauh dia menjelaskan mekanisme kegagalan vaksinasi akibat kontaminasi mikotoksin. Bila ada mikotoksin dalam pakan, maka akan merusak kekebalan seluler, yaitu sel makrofag. Sel ini paling awal menangkap antigen (penyebab penyakit). Bila makrofag rusak, ia tidak mampu mengirim sinyal ke limfoid untuk membentuk antibodi. Akhirnya vaksinasi gagal, dan ternak pun bisa terserang penyakit.
Distribusi Tidak Sama
Jenis mikotoksin sekitar 300 macam, tetapi lima jenis yang paling sering ditemukan pada komoditas pertanian dan pakan ternak adalah aflatoksin (Afla), zearalenon (ZON), deoksinivalenol (DON), fumonisins (FUM), dan okratoksin (OTA).
Menurut survei Biomin Holding Gmbh, perusahaan feed additive berbasis di Austria, distribusi kelima toksin tersebut berbeda-beda di tiap wilayah di dunia. Selama tiga bulan, April–Juni 2010, dilakukan 2.599 analisis sampel. Hasilnya, di Asia Tenggara, Afla menduduki peringkat teratas, 72%, ZON 57%, DON 52%, FUM 64%, dan OTA 41%. Sementara kalau di kawasan Amerika Utara, jenis yang dominan adalah DON (90%), lalu ZON 63%, FUM 52%, Afla 5%, dan OTA 0%.
Analisis tersebut dilakukan pada sampel yang bervariasi, mulai dari biji-bijian seperti jagung, gandum, barley, padi, hingga produk sampingan. Misalnya, bungkil kedelai (soybean meal-SBM), corn gluten meal (CGM), dan dried distillers grains with solubles (DDGS) yang tengah dipromosikan karena kandungan proteinnya cukup tinggi. Di samping itu, tes juga dilakukan pada jerami, silase, dan pakan jadi.
Dalam lima tahun terakhir, menurut pantauan Setijo Purwono, kualitas bahan baku pakan tidak stabil terkait dengan kontaminasi mikotoksin. Kejadian kontaminasi cenderung naik tiap tahun. Bahkan pada jagung, imbuh dia, jenisnya tidak hanya aflatoksin, tapi juga fumonisin, deoksinivalenol, dan zearalenon.
Cara Penghilangan
Mengingat potensi bahayanya, pabrikan pakan maupun peternak berupaya menghilangkan racun yang sangat stabil dan sulit terurai dalam proses pencernaan itu. Sekali masuk rantai makanan, akan sulit untuk mengeluarkannya. Bahkan perlakuan pemanasan dan pembekuan pun tak mampu merusak racun ini.
Menurut Dr. Tan Seong Lim, Area Manager Biomin Singapore, ada beberapa cara untuk mengatasi mikotoksin. “Pertama, kita menghilangkan toksin menggunakan binder (pengikat). Toksin kita ikat, lalu buang. Contohnya aflatoksin. Kedua, ketika toksin tidak bisa diikat, kita menggunakan enzim atau bakteria yang bisa mematikan kumpulan aktif (senyawa) toksin itu dengan memotongnya. Atau bisa juga dengan yeast (ragi),” papar Mr. Tan, sapaannya, saat ditemui di Jakarta.
Pengikat (binder) tersebut bekerja bila ada air. Air melekat dulu pada binder, lalu toksin itu baru bisa mendekat. Aflatoksin bisa diikat dengan baik karena toksinnya mempunyai dua kutub, sama dengan air yang mengandung dua ion H.
Kemampuan mengikat, sambung Tan, biasanya diukur dengan standar 200 part per billion (ppb) untuk 0,2%. Bila mampu mengikat 95% ke atas, binder dikategorikan baik. Namun bila standar dinaikkan menjadi 4.000 ppb, hanya dua tiga produk saja yang lulus. “Kita coba cari di pasaran produk yang bisa mendeaktivasi fumonisin tapi tak ada. Sampai sekarang tak ada. Kita mencoba membuat dengan pengikat yang baru itu. Dan didapat dalam lab Biomin, bisa mengikat sampai 86% fumonisin D1. Sedangkan hasil analisis di Brasil dapat mengikat sampai 93%,” klaim Tan.
Produk Biomin diberi label Mycofix dengan tiga varian. Ketiganya dibedakan dari kandungan bahannya. Yang pertama paling lengkap karena mengandung ragi nonpatogenik BPSH797 yang bekerja dalam saluran pencernaan menghasilkan enzim tertentu untuk memecah ZON. Ekstrak beberapa jenis alga untuk meningkatkan imunitas dan aktivitas makrofag. Serta ekstrak herbal khusus yang berfungsi mengobati gangguan hati. Setijo mengklaim, produknya dapat menghilangkan semua mikotoksin dan memulihkan kerusakan hati.
Tambahan Biaya
Bagi pabrik pakan, kualitas menjadi taruhan. Karena itu kalangan pabrikan tak mau kecolongan sehingga pasti menggunakan pengikat toksin. Namun jenisnya yang mana dipilih, tergantung kebijakan masing-masing pabrik. Sementara bagi peternak yang mencampur pakan sendiri tentu mempertimbangkan seberapa besar faktor tambahan biaya.
“Bicara biaya, relatif ya. Kalau pakan ayam petelur terkontaminasi mikotoksin, penurunan produksinya bisa 20%. Kalau 4—5 minggu, berapa kerugiannya? Kalau hanya menggunakan binder, tidak mempan. Pengalaman kita di lapangan, penurunan produksi ini tidak hanya karena toksin-toksin semacam aflatoksin, tapi juga T2 toksin yang bisa menyebabkan peradangan saluran pencernaan sehingga penyerapan makanan lebih lambat,” terang Setijo.
Karena itu tambahan biaya dengan aplikasi produk ini memang relatif. Menurut Setijo, dengan dosis ˝--1 kg per ton pakan, tambahan biaya sebanyak Rp55—Rp60 per kg pakan. Sedangkan varian kedua, Rp45 dan varian ketiga yang termurah Rp25 per kg pakan.
Peni SP