Senin, 30 Agustus 2010

Panen Lebih Dengan Pakan Pabrikan

Dengan menebar pakan buatan pabrik, padat tebar bandeng bisa dua kali lipat dan waktu panen lebih singkat dua bulan.

Haji Ali tampak sumringah. Rabu, 21 Juli 2010, di rumahnya di Desa Tambak Sumur, Tirtajaya, Karawang, Jabar, sedang ada perhelatan. Bukan pesta, tapi pelatihan bandeng cabut duri. “Pak Haji pengen belajar, bagaimana bandeng tanpa duri itu,” ungkap Iwan Suhenrawan, penyelia dari PT Suri Tani Pemuka (STP), produsen pakan ikan dan udang.

Memang hari itu, sekitar 50 orang mengikuti pelatihan yang diadakan di rumah Haji Ali. Rupanya, bapak kelahiran Karawang, 20 Maret 1955, ini tidak puas hanya sebatas menjual bandeng segar biasa. Karena itu, STP memfasilitasi pelatihan untuk memproduksi bandeng tanpa duri (tandu). “Kita memfasilitasi acara pelatihan ini,” kata Iwan kepada AGRINA.

Pak Haji Ali, memang pengguna pakan STP. Ayah empat anak ini (H. Yeti Yuliantini, Winda Ningsih Trisnawati, Idalia Ali, dan Siti Komariah) memulai usaha tambak bandeng sejak 1988. Selama 10 tahun, ia tidak pernah menggunakan pakan pellet, tapi pakan alami. Lalu, mulai 1998, suami Hj. Mastini ini menggunakan pakan pabrikan.

Panen Dua Kali

Ada sejumlah keunggulan penggunaan pakan pabrikan. Tanpa pakan pellet, jumlah bibit bandeng yang ditebar per hektar sekitar 2.500 ekor, tapi jika menggunakan pellet bisa ditebar sampai 5.000 ekor. Selain itu, untuk menghasilkan bandeng dengan ukuran 4—5 ekor per kg, waktu yang diperlukan hanya enam bulan. Sebaliknya dengan pakan alami, butuh waktu 7—8 bulan. “Dengan (menggunakan) pakan pellet, setahun bisa dua kali panen,” tutur Haji Ali saat ditemui di rumahnya di Tambak Sumur.

Jika tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) 80%, berarti per musim panen jumlahnya sekitar 4000 ekor per ha. Jika setiap 5 ekor bobotnya satu kilogram, maka per musim panen diperoleh 800 kg. Bila harga bandeng sekitar Rp12.500 per kg, hasil penjualan per musim panen per hektar sekitar Rp10 juta. Jika diolah menjadi bandeng segar tanpa duri, harganya lebih tinggi, sekitar Rp30.000 per kg. Padahal, untuk menghasilkan satu kilogram bandeng tanpa duri (dan tanpa jeroan) dibutuhkan sekitar 1,3 kg bandeng segar setara Rp15.600.

Dengan puluhan hektar tambak bandeng yang dikelolanya, wajar jika Haji Ali selalu  sumringah. “Ya, saya selalu ikhlas, (ikuti) aturan. Itulah resepnya,” sambungnya. Selama menggeluti tambak bandeng, Pak Haji hampir tidak pernah merugi. Seingatnya, ia pernah merugi waktu terjadi banjir pada 2008. “Nggak pernah rugi, kecuali ada bencana seperti banjir. Jika dihitung-hitung, bandeng yang kabur sekitar 30%,” ujarnya.

Melalui Masa Sulit

Sebenarnya bukan pekerjaan yang mudah bagi Pak Haji untuk mencapai posisinya saat ini. Pada 1967, jebolan kelas 4 SD ini memelihara sekitar 100 ekor bebek. “Kurang tiga tahun saya ngangon bebek. Setelah itu saya banyak nganggurnya. Nggak kerja,” kenangnya.

Sepuluh tahun kemudian, ia menikahi Mastini. Lalu, sampai 1982, ia berdagang udang secara kecil-kecilan. Selama tiga tahun, 1982—1985, ia bangkrut. “Maklum dagang, ada pasang surutnya. Jadi, mengalami kebangkrutan,” kilahnya.

Meski demikian, ia tidak pernah patah arang. Ia kembali berdagang udang. Kebetulan, ada saudagar udang di Muara Angke, Jakarta, yang membutuhkan udang dalam jumlah besar untuk ekspor ke Singapura. Setiap hari, Pak Haji berhasil menjual udang sekitar 2—3 ton ke Muara Angke. “Ada kelebihan keuntungan, tahun 1988 saya beli tambak. Saya ada kemajuan dengan dagang udang untuk ekspor ini,” akunya.

Pada awalnya, Pak Haji bisa membeli tambak sekitar 2 ha. Di samping berdagang udang, ia mencoba bertambak udang peci (Penaeus merguiensis) dan udang api-api (Metapenaeus monoceros). “Saya nyoba juga udang tapi banyak gagal. Akhirnya (pilihannya) jatuh ke bandeng,” katanya. Sementara itu berdagang udang tetap ia lakoni.

Sayangnya, pada 2002, Pak Haji kekurangan pasokan udang untuk dikirim ke Muara Angke. Waktu itu, lanjut dia, udang banyak yang mati. Akibatnya, saudagar udang, yang menjadi bosnya di Muara Angke, terpaksa memutus kontrak dengan pembeli di Singapura karena tidak bisa mengirim udang sesuai dengan kontrak. “(Waktu itu) udang pada mati. ‘Kan kalau buat ekspor perlu banyak. Begitu udang kosong, ya, nggak bisa dagang lagi. Ya, (akhirnya saya) nekuni tani aja, tani tambak (yaitu bandeng),” ungkapnya.

Kini, dengan menggunakan pakan PT Suri Tani Pemuka, Haji Ali benar-benar menikmati kerja kerasnya selama ini. Bahkan, sekarang ia berusaha untuk memproduksi bandeng tanpa duri. Tentu saja nilai tambah bandeng tanpa duri (baik yang segar maupun yang telah diolah lebih lanjut) ini lebih tinggi nilainya ketimbang bandeng segar biasa. “(Bandeng tanpa duri) ini untuk bisnis anak saya. Kalau saya ini ‘kan sudah tua,” Pak Haji menutup perbincangan.

Syatrya Utama

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain