Jauhnya kesenjangan antara produksi gula tebu dengan kebutuhan nasional bisa diatasi dengan meningkatkan mutu bahan tanaman yang menghasilkan rendemen tinggi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman, mengungkap, industri pangan nasional saat ini diperkirakan membutuhkan gula sebanyak 2,3 juta ton per tahun yang terbagi sebanyak 1,2 juta ton untuk industri menengah besar dan industri kecil 1,1 juta ton. Kebutuhan tersebut dipenuhi dari gula rafinasi. Sedangkan kebutuhan gula konsumsi yang 2,7 juta ton, lanjut dia, diperkirakan tahun ini tidak terpenuhi karena mundurnya panen akibat faktor cuaca, terutama hujan. “Diperkirakan produksi nasional hanya sekitar 2,2 juta ton,” kata Adhi Lukman. Angka ini kurang dari produksi tahun lalu yang 2,77 juta ton.
Hitung-hitung, secara total industri gula nasional masih belum mampu memenuhi kebutuhan yang mencapai 4,85 juta ton per tahun (2009). “Di samping itu, industri pangan juga membutuhkan gula dengan spek khusus serta membutuhkan gula dengan harga yang kompetitif untuk menunjang daya saing global,” sambung Adhi.
Masih belum mencukupinya produksi nasional, menurut Prof. Dr. Bambang Sugiharto, tak lepas dari rendahnya produktivitas tanaman akibat mutu kultivar tebu yang makin menurun. Karena itu, perlu terobosan perbaikan mutu tebu untuk mempertahankan dan mengembangkan industri gula tebu. Salah satunya dengan menggunakan bibit hasil rekayasa genetik (transgenik).
Terkait bibit transgenik, Adhi Lukman berpendapat, apabila memang sudah ada bibit transgenik, maka akan sangat membantu. “Di negara maju sudah menggunakan bibit transgenik, dan seharusnya tidak ada masalah atau efek sampingan,” cetusnya. Ia menambahkan, bibit unggul memegang peran penting dalam meningkatkan rendemen gula, tetapi bukan satu-satunya cara. Penanaman bibit unggul ini harus diimbangi dengan manajemen budidaya hingga pascapanen, seperti jadwal tebang, cara penebangan, dan manajemen angkutan agar tidak terjadi antrean masuk ke pabrik yang bisa menurunkan rendemen.
Melalui Bioteknologi
Bambang mengatakan, untuk memperoleh varietas tebu dengan produktivitas tinggi kita bisa menempuh teroboson baru, yaitu bioteknologi. Beberapa keberhasilan bioteknologi tebu telah dipublikasikan, di antaranya rekayasa genetika tahan herbisida. Bahkan metode transformasi gen pada tanaman tebu juga telah dibakukan.
Pengembangan tanaman transgenik, termasuk tebu, sudah berkembang pesat dalam skala komersial di dunia. Tahun lalu International Service for the Acquisition of Agribiotech Applications (ISAAA) melaporkan, 14 juta petani mengusahakan 134 juta ha tanaman transgenik di 25 negara. Angka ini naik 8% dari data 2008. Peningkatan tersebut menunjukkan tanaman transgenik memberi manfaat bagi petani pada masa datang. Demikian pula pengembangan tebu transgenik, seperti telah dilakukan Australia dan Brasil, akan meningkatkan prospek budidaya.
Menurut Bambang, tidak hanya petani yang diuntungkan tapi juga industri lain. Sebab selain sukrosa (gula) sebagai bahan pemanis, turunannya pun bisa menjadi bahan pengawet, herbisida, maupun senyawa lain yang bermanfaat. Selain itu, hasil sampingan industri sukrosa bisa menjadi produk alternatif yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri alkohol, kertas, dan pakan ternak.
Transgenik Rendemen Tinggi
Di Indonesia bioteknologi tebu sudah dikembangkan di beberapa tempat seperti Pusat Penelitian Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan, Pusat Penelitian Perkebunan Bogor, dan PT Perkebunan Nusantara XI, Surabaya. Semuanya sudah berkomitmen untuk mengembangkan bioteknologi dengan alasan perbaikan varietas yang lebih akurat.
PTPN XI bekerjasama dengan PT Ajinomoto merakit tebu melalui rekayasa genetik. Rekayasa genetik ini dengan memasukkan gen toleran kekeringan. “PTPN XI melalui pendekatan bioteknologi tersebut berhasil mengembangkan tebu PRG (produk rekayasa genetik) yang toleran kekeringan,” ungkap Bambang.
Meskipun sudah dimasuki gen, yang dikonsumsi adalah gulanya. Gula sendiri merupakan produk olahan dari pemurnian yang tidak tercampur senyawa. Jadi, “Antara tebu yang berasal dari tanaman nontransgenik dan tebu transgenik sama, tidak ada masalah dalam masalah keamanan pangannya tidak perlu dikuatirkan,” jelasnya.
Selain varietas PRG toleran kekeringan itu, PTPN XI juga mengembangkan tebu rendemen tinggi yang bekerjasama dengan Bambang Sugiharto. “Dulu (kolonial) Belanda berhasil mengembangkan tebu karena banyak keuntungan, tetapi kemudian kita terpuruk hingga harus impor tebu. Ternyata salah satu penyebabnya adalah varietas tebu yang produktivitas gulanya turun. Kalau PTPN XI merakit tebu yang toleran kekeringan, maka saya merakit tebu yang rendemen tinggi artinya menghasilkan gula tinggi,” papar pakar dari Pusat Penelitian Biologi Molekul Universitas Jember.
Masih menurut Bambang, yang berperan menentukan produksi gula tebu di tanaman secara biokimia atau secara biologi molekul adalah gen yang bertanggungjawab pada proses tinggi rendahnya proses sintesis gula. “Gen ini kita sebut sebagai Sucrose -Phosphate Synthase (SPS). Gen ini kemudian diisolasi atau dikloning,” katanya.
Sebenarnya gen SPS sendiri sudah ada pada tanaman tebu. Kloning dilakukan untuk meningkatkan (over ekspresi) potensi sintesis gulanya. “Kalau potensinya sintesis gula hanya 5 atau 10, dioverekspresikan menjadi 20 atau 30,” sambung Bambang. Untuk merakit tebu rendemen tinggi itu, ia menggunakan tebu BL sebagai induk perakitan dan gen SPS dari tebu Jepang NiF4.
Secara analisis laboratorium, imbuh dia, rendemen bisa meningkat 30%—-40%. Analisis di lapang ternyata peningkatannya sedikit turun atau rendemennya sekitar 10%—20%. Bambang berharap varietas tebu yang masih dalam tataran akan dikomersialisasi itu bisa lulus. Memang setiap PRG, termasuk tebu, harus melewati pengujian keamanan hayati dan keamanan lingkungan yang butuh waktu hingga dua tahun.
Indah Retno Palupi (Surabaya)