Modal tekad untuk hidup lebih baik dan pengalaman sebagai anak kandang mengantarkannya menjadi peternak broiler sukses.
Sukses pria yang berdomisili di Ds Talang Buluh, Kec. Talang Kelapa, Kab. Banyuasin, Sumsel, ini pastinya tak instan. Dia pun melalui masa sulit yang mendera peternak ayam saat penyakit avian influenza (AI) mewabah di daerahnya pada 2006. Kala itu banyak peternak kolaps, termasuk dirinya, karena tidak bisa menjual ayamnya sama sekali. Tak kurang-kurang, utangnya membengkak sampai Rp167 juta. “Alhamdulillah, setelah itu kondisi (bisnis) ayam baik kembali dan saya bisa mengangsur utang tersebut. Sudah hampir habis utang itu,” tuturnya kepada AGRINA.
Kini, Paiman tidak hanya mengurusi ayam tapi juga menjadi pemborong pembuatan kandang ayam broiler dan petelur untuk peternak di daerah lain, seperti Palembang, Bengkulu, Batam, dan Riau. Dia pun terus ingin menambah populasi ayamnya. “Saya ingin bisa mencapai 100 ribu ekor untuk satu siklus,” katanya.
Berhasil menjadi juragan kandang tidak menghentikan usaha Paiman. Hasil tabungan dari memborong kandang dibelikannya tanah untuk membuat kebun karet. “Hasilnya sekarang ini lumayan. Saya baru mulai menanam 30 hektar. Karet juga ke depan masih dibutuhkan,” alasan lelaki Jawa asli Purworejo ini.
Modal Kepercayaan
Titik balik Paiman bermula pada 1998. Ketika itu dia mengelola peternakan ayam dengan cara bagi hasil bersama temannya. Namun sayang, bagi hasil itu tidak sesuai kesepakatan. Bahkan dirinya kerap menanggung kerugian untuk membayar gaji anak kandang.
Saat itulah suami Sarifah ini berkeinginan memiliki usaha peternakan ayam sendiri yang akan dikelolanya bersama sang istri. “Saya tidak punya modal dan kebetulan ada majikan saya yang pertama percaya lalu meminjami uang untuk usaha,” kenang pria yang merantau sejak lulus SD ini.
Dengan modal pinjaman tersebut Paiman membuka usaha peternakan ayam broiler berskala 6.000 ekor. Modal yang menurutnya sedikit itu dibelanjakan secara cermat. Dia pun ikut kemitraan dengan PT Primatama Karyapersada (PKP), perusahaan unggas yang beroperasi di daerahnya. “Saya jadi anak kandang lagi, tapi tidak masalah karena saya sudah pernah mengalaminya. Dengan bermitra tidak repot memasarkan lagi,” kilah anak kelima dari enam bersaudara ini.
Menurut dia, sistem kemitraan memberikan kenyamanan dalam usaha daripada sistem mandiri karena tidak harus berhadapan dengan fluktuasi harga ayam saat panen yang tidak menentu. Hitung-hitungan pendapatan tinggal mengacu pada kontrak yang disepakati dengan PKP.
Peternakan tersebut mula-mula harus menggunakan nama istrinya karena namanya masih tertera sebagai penanggung jawab atau operator kandang milik rekan kerjanya. Hal ini untuk menghindari kekeliruan saat pengiriman pakan dari perusahaan pakan.
Sembilan tahun berlalu, akhirnya Paiman mampu memiliki usaha dengan namanya sendiri. Bahkan dia mampu membeli peternakan sang teman yang bangkrut. Kini total populasi ayam yang dipelihara bertambah menjadi 63.000 ekor per siklus.
Mengembangkan Usaha Lain
Usaha Paiman kian berkembang. Kendati begitu, dia tetap rendah hati dengan mengatakan, apa yang diperolehnya sekarang ini berkat bantuan teman-temannya yang menjadi technical service (TS) di perusahaan tempat dirinya bermitra.
Selain itu, tambah Paiman, agar meraih kesuksesan modal utamanya adalah kejujuran. Tak dapat disangkal memang, kejujuran sangat diperlukan karena bisnis ini memang bisnis kepercayaan pemilik ayam yang dititipkan kepada para peternak. Peternak juga harus ulet dalam menjalankan usahanya.
“Seorang peternak ayam dituntut memiliki keuletan dan kesabaran,” tandasnya. Hal itu disadari betul karena pengalamannya sendiri membuktikan sukses tak dapat diraih secara instan. Karena itu, Paiman selalu mengajarkannya juga pada anak-anaknya untuk selalu bekerja keras dan cerdas.
Meski hanya mengenyam pendidikan sampai lulus SD, toh Paiman sangat perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya. ”Biarpun bapaknya hanya tamat SD tapi anak-anak harus lebih tinggi dan lebih pintar dari bapaknya,” tekad ayah empat anak ini. Dia ingin anak-anaknya kelak bisa meneruskan usahanya. “Nantinya, saya ingin, anak-anak saya dapat saling bahu-membahu dengan bidang ilmunya masing-masing untuk meneruskan usaha yang sudah berjalan ini,” sambungnya.
Keuletan dan kesabaran Paiman memang telah membuahkan hasil yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, seperti membangun rumah sendiri, memiliki mobil, dan kebun karet. Pendidikan anak-anaknya pun lebih baik. Anak sulungnya sudah berkeluarga, kedua kuliah di UGM, Yogyakarta. Sedangkan anak ketiga dan keempatnya masih duduk di bangku SMP. “Semuanya dari tabungan ayam, meski mobil untuk operasional, kebun karet tidak seberapa luas dan rumah kecil-kecilan,” pungkasnya merendah.
Tri Mardi Rasa