Terdengar klise memang, tapi begitu sebaiknya menyikapi hasil dari setiap doa yang kita panjatkan kepada Tuhan.
Kata-kata itu bukanlah terucap oleh seorang ustad yang tengah memberikan ceramah jelang Ramadan. Namun itu ungkapan Dr. Ir. Sumardjo Gatot Irianto, MS, DAA, yang seorang Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian dan juga Pelaksana Tugas Dirjen Tanaman Pangan. Gatot, demikian biasa ia disapa, melontarkannya saat tampil dalam seminar “Perubahan Iklim dan Masa Depan Pertanian Indonesia” yang digelar Himpunan Alumni IPB di Jakarta bulan silam.
Selalu ada hikmah
Menurut Gatot, hasil dari doa ada tiga. Pertama, dikabulkan dengan cepat. "Kalau begini, kita bilang, oh Tuhan baik sekali," katanya. Kedua, dikabulkan tapi makan waktu lama. Kita umumnya mengeluh, kok Tuhan tidak kunjung mengerti. Padahal kita sudah sholat tiap hari, sudah ke gereja tiap hari. Di sinilah banyak orang yang tidak sabar. Ketiga, dikabulkan tapi tidak sesuai dengan yang kita inginkan. "Padahal ini mungkin yang terbaik buat kita," lanjut pria kelahiran 24 Oktober 1961 itu.
Berbaik sangkalah kepada Tuhan. Termasuk terhadap perubahan iklim ini. Kalau tidak ada perubahan iklim, kita-kita ini tenang-tenang saja. Dengan pergi ke mana-mana, kita diajak berpikir. Memang, iklim telah beranjak dari polanya sejak beberapa tahun terakhir. Bulan-bulan ini yang semestinya sudah jatuh musim kemarau tapi ternyata malah masih banyak hujan. Karena itu ada istilah kemarau basah. Orang mengeluh, kok masih hujan terus, kalau banjir bisa menurunkan produksi. "Tapi orang selalu lupa, (saat ini) di lahan kering kita bisa produksi dua kali," tandas alumnus Ilmu Tanah UGM dan Agroklimat IPB ini.
Dengan begitu, produksi tetap bisa digenjot. Namun ada pekerjaan mengatasi wereng yang meledak karena kondisi kemarau basah sangat disukai hama utama tanaman padi itu. “Ya Anda harus bekerja. Kalau nggak berkeringat, ya tidak sehat,” cetus ahli hidrologi lulusan Perancis ini bijak. Jadi, dalam pikiran kita adalah untung, untung, dan untung. Bagaimana supaya untung, itulah yang perlu kita pikirkan.
Adaptasi dan adaptasi
Lebih jauh Gatot memaparkan strategi Kementerian Pertanian, khususnya tanaman pangan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Menurutnya, “Kata kuncinya pada sektor pertanian untuk pangan adalah adaptasi, adaptasi, dan adaptasi.” Di antaranya dengan menanam varietas padi yang cocok dengan situasi iklim. Alhamdulillah, peneliti-peneliti di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah berhasil merakit varietas itu. Inpara misalnya, tergenang 14 hari berturut-turut tidak mati. Begitu banjir surut, langsung bangkit untuk tumbuh.
“Saya lihat di Merauke, Inpara ini seperti hibrida karena mungkin situasinya bagus sekali. Inpago (padi gogo untuk lahan kering) bisa panen 4—5 ton per hektar. Benihnya sudah kita kembangkan, bukan hanya 5 kg tapi puluhan atau ratusan ton,” cerita Gatot penuh semangat.
Kaitan dengan mitigasi, pihaknya mengembangkan pertanian ramah lingkungan dan yang bernilai ekonomi. Pertanian selalu dikatakan sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca meskipun Indonesia punya jutaan hektar pertanaman yang juga menyerap emisi. Dia berpendapat, menurunkan emisi dan beradaptasi dengan lingkungan itu kuncinya harus menghasilkan nilai tambah.
“Kalau hanya sekadar menurunkan emisi, sampai kiamat tidak akan ada orang yang mau melakukan itu,” tukas Gatot. Peluang ini harus digunakan untuk diversifikasi produk, meningkatkan nilai tambah dan meningkatkan produksi secara berkelanjutan. Misalnya di sawah, orang bisa mengupayakan padi, jamur, ikan, dan sapi. Model ini harus diperluas menjadi kegiatan yang masif dan jelas meningkatkan nilai tambah bagi petani.
Yang tidak kalah pentingnya, kita harus melakukan reorientasi strategi pembangunan pertanian kaitannya dengan perubahan iklim. “Saya ketemu teman-teman di Badan Litbang. Saya minta bisa menghasilkan varietas yang umurnya pendek dan produktivitasnya tinggi. Ini mau nggak mau karena meluaskan sawah bukan pekerjaan yang mudah,” imbuh mantan Direktur Pengolaan Air, Kementan.
Selain itu, program adaptasi lainnya adalah pemanfaatan lahan suboptimal. “Suboptimal ini sebenarnya dari kacamata kita yang “agak malas”. Lahan itu nggak ada yang suboptimal, lahan semua optimal kalau ada teknologinya kan? Lahan subur pun kalau kita nggak kelola dengan benar ya seolah-olah lahan suboptimal,” urainya. Ia mengambil contoh kawasan yang dikatakan tidak cocok bagi tebu milik Gunung Madu Plantation. Faktanya, dengan penerapan teknologi, perusahaan mampu berproduksi dengan sangat baik.
Dia lalu mengajak berpikir dan melihat dunia nyata yang kadang tidak cocok dengan rekomendasi buku. Termasuk dalam menyikapi perubahan iklim ini. “Jangan-jangan ini yang bagus. Mungkin Allah memberi kita yang ketiga, tidak yang kita inginkan tapi itu yang baik,” pungkas Gatot.
Peni SP