Telur-telur ikan gurami asal Desa Purwasari, Banyumas, laris manis dipasarkan ke Temanggung, Yogyakarta, dan Medan. Petani tersenyum cerah.
Desa Purwasari, Baturaden, Banyumas, Jateng, belakangan ini memang terlihat lebih “menggeliat” lantaran kegiatan petani di sana yang kini sibuk menuai rezeki dari usaha penjualan telur ikan gurami. Adalah Paguyuban Budidaya Ikan Gurami Mina Sari yang bisa disebut turut berjasa menjadikan usaha itu kian berkembang saja.
Padahal, sebelum paguyuban itu terbentuk satu tahun lalu, biasanya petani harus menjual hasil telur gurami mereka sendiri-sendiri. Ini tak jarang menyebabkan petani merasa kebingungan dalam memasarkan telur-telur gurami tersebut. “Sekarang, setelah terhimpun dalam satu kelompok, petani tak perlu repot-repot lagi mencari pembeli,” ujar Susanto, Ketua Paguyuban Budidaya Ikan Gurami.
Berkembang pesat semenjak didirikan, paguyuban itu telah mempunyai 112 anggota. Dalam satu hari, paguyuban bisa memperoleh 80.000 telur gurami dari petani. Seorang petani akan membawa pulang duit Rp150 ribu setiap kali mengirim 5.000 telur ikan.
Dijelaskan oleh Susanto, petani menjual telur ikan gurami itu dengan harga Rp26 per butir. Lalu dijual lagi ke bagian pemasaran Rp28 per butir. “Selisih Rp2 itu dibagi menjadi Rp1 untuk biaya penghitungan, Rp0,5 untuk kas, dan Rp0,5 sisanya untuk tabungan anggota,” ujarnya.
Apa yang dikerjakan ayah tiga anak ini mungkin bisa melukiskan bagaimana cara memproduksi telur-telur ikan gurami tadi. “Saya punya lima kolam. Indukannya ada 100 ekor atau 20 pasang. Satu jantan untuk empat betina,” kata lelaki yang mulai berusaha di bidang ini sejak 1998. “Indukan saya sudah bisa bertelur dua kali sehari. Rata- rata sekali angkut sekitar 5.000 butir.”
Namun, lain lagi hasil yang diperoleh Alfid, Petugas Bagian Pemasaran Paguyuban Budidaya Ikan Gurami Mina Sari. Meski hanya memiliki empat kolam, ia mampu menghasilkan 10.000 telur tiap kali pengiriman karena memiliki 300 indukan. “Saya panen dua hari sekali,” terangnya.
Dikirim ke Berbagai Daerah
Telur-telur gurami itu nantinya akan dipasarkan ke Tulungagung, Yogyakarta, dan Medan. “Kami mengirim ke Tulungagung rata-rata 300 ribu butir setiap kali kirim. Dalam satu minggu, ada dua kali pengiriman,” kata Alfid.
Sedangkan untuk Yogyakarta, pengiriman dilakukan dua kali per minggu, dengan rata-rata 200 ribu telur per kiriman. “Kalau ke Medan, 100 ribuan butir telur per kiriman. Satu minggunya satu kali kirim,” lanjut dia.
Harga jual telur ikan gurami itu berbeda-beda di berbagai kota tujuan. Untuk Tulungagung, dihargai Rp31 per butir, di Yogyakarta sebesar Rp33 per butir, sedangkan di Medan Rp55 per butirnya. “Biaya pengiriman kami tanggung. Kami kirim pakai bus dan paket. Kalau di Medan, musim hangat ataupun dingin harganya tetap,” urai Alfid.
Dijelaskan pula, untuk wilayah Banyumas sendiri dipasok sekitar 20% telur. “Kalau dijual semua ke wilayah lokal tentu tidak mampu. Sebab, ketersediaan lahan pembesarannya sedikit. Ini jadi problem Dinas Pertanian yang ingin agar telur tak sampai dijual ke daerah lain,” ungkapnya.
Tapi, mengapa telur ikan gurami dari Banyumas itu laris? Menurut Alfid, kualitas telur dari wilayah itu termasuk bagus, nyaris semuanya bisa jadi ikan. “Paling-paling yang jelek satu persen,” katanya.
Untuk menentukan mana jenis telur ikan gurami yang bagus, Alfid yang sudah sejak 1994 menekuni usaha ini juga tak segan-segan memberikan panduan. “Telur ikan yang bagus itu warnanya kuning kunir agak kemerahan. Kalau yang jelek itu pucat warnanya. Nah, kalau yang warnanya putih itu tidak bisa menetas, biasanya sudah mati,” jelasnya.
Dijelaskan pula, pendederan di wilayah Banyumas dilakukan secara alami. Ini berbeda dengan di Tulungagung, yakni dengan plester. “Kalau saya, satu bulan dengan biaya pakan bisa dapat bersih Rp3,5 juta,” katanya.
Mengenai biaya pakannya, dalam satu minggu ia membutuhkan 25 gulung, harganya Rp7.000 per gulung. “Agar bisa untung, setidaknya butuh 150 indukan, 15 pasang,” katanya.
Toh, tantangan juga ada. Sebut saja, serangan hama dan penyakit. “Ada bintik-bintik putih dan jamur. Biasanya, untuk mengurangi penyakit itu, kami campur indukan dengan ikan lain, misalnya ikan melem karena ikan itu suka menggigiti bintik-bintik tadi,” papar Susanto.
Hambatan lainnya adalah masalah pakan. Menurut Susanto, petani ikan di sana amat jarang menggunakan pelet. Soalnya, kalau memakai pellet, telurnya terkadang jadi semu pucat warnanya. Jadi, pelet hanya sebagai bahan campuran. “Nah, karena kurang, saya beli pakan hijauannya. Harganya satu gulung bisa Rp7.000. Satu hari saya butuh 10 gulung pakan hijauan,” ucapnya.
Syaiful Hakim