Dua abangnya sudah berkiprah untuk negara ini sebagai presiden dan duta besar. Karena itu ia juga ingin berbuat sesuatu, tidak jitu-jitu amat tapi yang lumayanlah.
Niat Habibie bungsu ini diwujudkannya dengan terjun ke agribisnis jagung. Ketika berbincang dengan AGRINA di kantornya akhir Mei silam, ia pun membeberkan aktivitasnya di bidang agribisnis. Pilihan lokasinya mendekati tanah kelahirannya di Makassar, yaitu wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pangan Berkelanjutan
“Saya melihat, nggak mungkin Indonesia itu bisa mempunyai ketahanan pangan nasional yang baik kalau berdasarkan sistem lama dengan petani yang punya lahan cuma 3.000 m2. Sudah ada satu kajian bahwa minimum petani harus mempunyai dua hektar, baru bisa dia tumbuh. Artinya, kalau kurang dari dua hektar, dia akan merugi, defisit, sehingga akhirnya hilang. Sementara kebutuhan terus naik,” papar Timmy, sapaan akrab bos PT Timsco Indonesia ini.
Karena itu insinyur sipil jebolan ITB 1977 ini bercita-cita membangun kawasan tanaman pangan berkelanjutan seluas 10.000 ha berbasis jagung. Skala 10.000 ha ini, menurut dia, ekonomis secara bisnis. Sayang, untuk mendapatkan lahan tidak gampang, meskipun acapkali kita mendengar jutaan hektar telantar.
Survei pun dilakukan sejak 2006 dari kawasan Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, hingga Sulawesi Tenggara. Baru pada 2008, Timmy memperoleh izin lokasi di Bombana, Sulawesi Tenggara, seluas 16.000 ha. Namun sayang, di daerah ini kemudian heboh oleh temuan potensi tambang emas sehingga petani yang diajak kerjasama tidak berkonsentrasi penuh pada pertanian.
Akhirnya kegiatan dipindahkan ke Konawe Selatan, masih wilayah Sulawesi Tenggara. Timmy dikenalkan dengan lahan telantar bekas izin lokasi PTPN XIV seluas sekitar 4.300 ha. Mengantongi izin lokasi nomor 1919/2009 tanggal 25 November 2009, “Pada 21 Desember saya melakukan penanaman pertama. Tanggal 15 April panen. Setelah itu mulai timbul masalah,” ungkap Dirut PT Bombana Bumi Lestari ini. Dari luasan itu, pihaknya hanya menginginkan 2.650 ha karena sisanya sudah banyak digarap masyarakat. Sekarang pihaknya sedang bernegosiasi untuk membereskan semua perizinan.
Pria berusia 60 tahun ini merancang kemitraan jagung berkelanjutan dengan masyarakat di lima desa dan dua kelurahan yang berbatasan dengan lahan inti. Proses budidayanya menerapkan mekanisasi penuh. Hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang ditinggalkan untuk menyerap tenaga kerja lokal. “Maunya, ada yang saya kelola sendiri 100%, ada yang dikelola bersama, ada yang mereka kelola sendiri. Yang penting, pascapanennya (jagung) bisa diterima. Dan sesuai amanat bupati, peran pemda adalah menyediakan saprodi (bersubsidi) untuk mitra. Jadi, mitra ini ada selama saya ada. Bukan sekali tanam, terus sudah. Impian yang susah tapi gampang. Susah karena belum terjadi. Gampang karena sederhana dan ikhlas. Jujur dan benar,” tutur Timmy dengan nada bersemangat.
Memberi Contoh
Sampai akhir Mei lalu, Timmy baru mencoba tanam dan panen dari luasan 100 ha jagung hibrida. Aktivitas yang disebutnya “silaturahmi” itu menyerap tenaga kerja hampir 50 orang di luar tenaga harian lepas. Dari video yang diberikannya ke AGRINA, tampak kegiatan persiapan lahan, menanam, hingga memanen memanfaatkan alat berat, seperti traktor dan mesin panen. Pascapanennya memanfaatkan silo dan pengering bantuan pemerintah yang rusak dan dikelola Gapoktan Tekukur Indah setelah diperbaiki terlebih dahulu.
Bila urusan lahan beres, penanaman akan diperluas secara bertahap. Demikian pula frekuensi penanamannya akan ditingkatkan secara bertahap pula. Pada tahun keempat, ia berharap dapat bertanam dua kali setahun. Dengan demikian target produksi 150 ribu ton tidak lagi sebatas angan-angan.
Ketika ditanya mengapa tidak mengintegrasikan jagung dengan ternak, Timmy mengaku sudah pernah melakukannya. “Delapan tahun lalu, saya bikin di Takalar (Sulsel) makanan ternak berbasis jagung untuk diekspor ke Korea untuk sapi perah (silase). Empat tahun lalu saya stop karena freight lebih dominan ketimbang harganya. Freight-nya di atas 50% dari harga. Saya hitung-hitung petani saya hanya dapat 7%. Ngapain? Ini bukan usaha makanan ternak tapi usaha pelayaran,” kenangnya.
Akhirnya Timmy mensosialisasikan pakan ternak itu kepada lingkungan. “Saya harus mengubah budaya peternak, supaya mereka mengandangkan sapinya,” terangnya. Ia membuat kandang percontohan beserta digester untuk memproduksi biogas. Biogas dari sekitar 50 ekor sapi mampu menghasilkan listrik sebesar 1.800 watt. Terang benderangnya lokasi tersebut memikat masyarakat setempat, bahkan tentara. Berbondong-bondong mereka datang melihat dan belajar tentang peternakan terpadu jagung dan sapi potong.
Berdasarkan pengalamannya, integrasi jagung dengan sapi potong itu susah dalam mencari bakalan. Meski jauh dari latar belakang peternakan, toh Timmy mengaku piawai memilih sapi bakalan yang bagus untuk digemukkan. “Bakalan itu yang bagus tinggi 160 cm, mukanya bulat. Insya Allah naik minimum 6 ons sehari. Kalau datengnya kerempeng, ya paling dua ons (naiknya). Saya lihat sapi dengan perempuan, sama pinternya lho,” candanya sembari terbahak.
Peni SP, Syatrya Utama, Tri Mardi
Biodata Nama : Suyatim Abdurachman Habibie Tempat/Tgl Lahir : Makasar, 9 November 1950 Pendidikan : Sarjana Teknik Sipil ITB (1977) Pengalaman kerja : - 2008 - sekarang : Dirut PT Bombana Bumi Lestari - 2001 - sekarang : Dirut PT Tata Harapan Cemerlang - 1999 - sekarang : Ketua Media Development Center The Habibie Center - 1991 - 1995 : Wakil Direktur PT AT&T Network Systems Indonesia, Jakarta - 1989 - 1999 : Wakil Direktur PT Standard Toyo Polymer, Jakarta - 1978 - sekarang : Pemilik dan Dirut PT Timsco Indonesia - 1977 - 1978 : Site Engineer PT Kaliraya Sari, Jakarta -. 1975 - 1977 : Site Engineer PT Karya Retra, Jakarta