Ketidakjelasan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tebu menambah permasalahan yang dihadapi petani.
Pemerintah harus lebih serius dalam menimbang pengenaan PPN terhadap gula (tebu). Pasalnya, terdapat dua peraturan yang saling berseberangan dan merugikan industri gula terutama pada petani tebu. Ketidakjelasan tersebut terlihat dalam UU No.42 Tahun 2009 berisi Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas PP No.12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
“Di dalam UU PPN, petani tebu masih dikenakan pajak (pertambahan nilai) 10%, sedangkan di dalam PP No.7 petani tebu sudah tidak lagi dikenakan (pajak) dari hasil penjualan tebunya,” ungkap Franciscus Welirang, Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kadin Indonesia pada acara “Roundtable Revitalisasi dan Kebijakan Industri Gula Nasional dalam Mendukung Ketahanan Pangan Berkelanjutan” di Jakarta (8/6). Ketidakjelasan tersebut, lanjut Franky, sapaannya, dapat dimanfaatkan sebagian oknum dari Ditjen Pajak untuk mengambil keuntungan dari petani tebu.
Memang, dalam penjelasan PP 7/2007, tebu dalam bentuk batang dan pucuk, termasuk barang hasil pertanian yang tidak dikenai PPN. Sementara dalam penjelasan UU 42/2009, tebu (gula) tidak termasuk dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak sehingga bebas PPN. UU ini hanya menyebut beras, gabah, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayuran.
Petani Tertekan
Menurut salah satu praktisi pabrik gula, selama ini petani menggilingkan tebunya di pabrik gula dengan bagi hasil 64 (petani) : 36 (pabrik). Hasil gulanya lalu dilelang kepada pedagang yang itu-itu saja. Selama itu pula petani tidak dikenai PPN.
Nah, sekarang muncul wacana akan mengenakan PPN (berdasarkan UU 42/2009). Karena pedagang dibatasi harga eceran tertinggi (HET), mereka tidak mau rugi bila kena PPN sehingga mereka menekan harga pembelian gula dari petani. Berkuranglah penghasilan petani. Hal itulah yang mengemuka belakangan ini.
Bagi Ditjen Pajak, pemasukan dari PPN gula cukup menggiurkan. Jika harga gula di tingkat lelang mencapai Rp8.000 per kg, maka dengan volume gula petani sebesar 1,6 juta ton, pajak yang terkumpul sebanyak Rp1,28 triliun selama setahun. Memang, ini prestasi bagi Ditjen Pajak, tapi derita bagi petani tebu.
Di samping PPN, petani juga dihadapkan pada tidak adanya perbedaan harga antara gula kristal putih (GKP) dan gula kristal rafinasi (GKR). “Saat ini pemerintah tidak membatasi masuknya gula rafinasi ke Indonesia dengan alasan industri gula dalam negeri belum mampu memproduksinya. Padahal semua itu salah,” kata Melvin Korompis, Ketua Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) dalam acara yang sama.
Melvin menjelaskan, sebenarnya industri gula kita mampu membuat gula rafinasi jika diberikan tambahan lahan kepada petani tebu. Dengan tambahan lahan tersebut, petani tebu dapat memilah hasil panennya untuk GKP dan GKR. Berdasarkan survei, kebutuhan gula rafinasi terus tumbuh sekitar 5% setiap tahun dan itu bisa dijadikan tambahan pendapatan bagi petani tebu ataupun industri gula dan pemerintah.
Swasembada Masih Sulit
Soal tambahan lahan itu, dalam komitmen awal, Kementerian Kehutanan bersedia memberikan izin lahan seluas 500 ribu ha di Merauke, Papua untuk kebun tebu. “Tapi setelah beberapa kali menggelar rapat, tampaknya Kementerian Kehutanan gamang,” ucap Direktur Agus Hasanuddin, Budidaya Tanaman Semusim, Kementerian Pertanian.
Padahal, menurut Tito Pranolo, Direktur Center for Agricultural Policy Studies (CAPS), jika ingin mencapai target swasembada gula pada 2014, maka harus tersedia lahan seluas 750 ribu ha. Sementara total luas lahan tebu pada 2009 baru berkisar 436 ribu ha. Artinya, diperlukan tambahan areal dengan luas lebih dari 313 ribu ha. “Hal itu tampaknya bakal sulit untuk bisa dipenuhi,” jelasnya.
Selain keterbatasan areal tanam, Tito yang mantan pejabat Bulog itu juga menyoroti kesulitan pencapaian swasembada melalui penambahan pabrik. Jumlah pabrik gula saat ini sebanyak 61 unit yang memproduksi gula 2,77 juta ton pada 2009. Pada 2014 nanti, kebutuhan gula akan menginjak 5,7 juta ton, terdiri dari 2,96 juta ton untuk konsumsi langsung dan 2,74 juta ton memenuhi kebutuhan industri. Untuk merealisasikan target ini diperlukan 71—86 pabrik unit. Artinya, pemerintah harus membangun 10—25 pabrik baru.
Senada dengan Tito, Franky pun menilai agak sulit menggapai swasembada melalui penambahan pabrik baru. Melihat segudang permasalahan pada industri gula, saran dia, sebaiknya pemerintah lebih konsentasi untuk membenahi yang ada dulu agar menjadi lebih baik lagi.
Yuwono Ibnu Nugroho