Penyaluran KUPS tidak dalam bentuk tunai, tapi dibayarkan sesuai dengan jumlah sapi betina produktif. Jadi, ada barang, ada uang.
Pemerintah berkomitmen meningkatkan populasi sapi melalui skim Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Hingga Mei lalu, realisasi KUPS sekitar Rp171,6 miliar untuk 12.647 ekor sapi betina produktif Brahman Cross (BX) dan Frisian Holstein. Kredit ini dikucurkan bank pelaksana, yaitu Bank Jatim, Bank DIY, Bank Jateng, BRI, dan BNI.
Di Jatim, menurut Sri Pudji Astuti, dana KUPS yang sudah disalurkan mencapai Rp13,75 miliar di Lamongan, Jombang, dan Pasuruan. “Penyaluran kredit ini tidak dalam bentuk cash. Begitu ada sapi (betina produktif), baru dibayar. Jadi, ada barang, ada uang,” kata Kasi Penyebaran dan Pengembangan Ternak, Dinas Peternakan Jatim, itu.
Sesuai pedoman, KUPS ini hanya diperuntukkan bagi kelompok, koperasi, dan perusahaan. Intinya, menurut Pudji, KUPS ini harus dengan pola kemitraan. Ada inti dan plasma sesuai ketentuan KUPS. “Kalau perusahaan dan koperasi harus ada plasmanya, (sedangkan) kelompok atau gabungan kelompok harus ada intinya,” katanya.
Perlu Rekomendasi
Untuk mendapatkan KUPS itu, peminat (kelompok, koperasi, atau perusahaan) wajib membuat proposal guna memperoleh rekomendasi dari Dinas Peternakan dan atau Ditjen Peternakan. Bagi kelompok atau koperasi, cukup mendapatkan rekomendasi dari kepala dinas peternakan kabupaten atau kota, sedangkan perusahaan, selain mengantongi rekomendasi dari dinas peternakan, juga dari Ditjen Peternakan.
Di dalam proposal itu antara lain terdapat rincian biaya pembelian bibit, bantuan kandang, bantuan pakan, dan biaya inseminasi buatan (IB). Dana yang dicairkan sesuai kebutuhan. Misalnya, calon debitur tidak memerlukan bantuan kandang karena sudah ada, maka dana untuk kandang itu tidak bisa diberikan. “Misalnya, satu kelompok sudah memiliki semua (kandang, pakan, dan biaya IB), (maka hanya diberikan) untuk pembelian bibit,” imbuh Pudji.
Setelah mendapat rekomendasi dari dinas peternakan dan atau Ditjen Peternakan, baru proposal itu dibawa ke bank pelaksana. Kemudian bank pelaksana akan menilai jaminan. Ada bank pelaksana yang mau menerima betina produktif sebagai jaminan (fidusia), tapi ada juga yang tidak mau sehingga perlu jaminan berupa aktiva tetap. “Jaminan ini tergantung pada bank pelaksananya,” kata Pudji kepada AGRINA, pertengahan Juni lalu.
Harus Ada Jaminan
Kalau BNI, menurut Emil Ermindra, Vice President PT Bank Negara Indonesia Tbk., jaminan kreditnya bisa berupa sapi bunting, sapi siap bunting, ditambah dengan aktiva tetap. Memang diperlukan jaminan aktiva tetap karena risiko kreditnya ada di bank pelaksana. “Kalau (sapi bunting atau siap bunting) ada jaminan dari importirnya, bahwa kalau nggak bunting dibalikin. Nanti sapi mandul lagi yang masuk. Jadi, aman,” katanya.
Memang soal jaminan ini perlu sosialisasi. Sebab, menurut Rohayati, Kepala Bidang Produksi dan Budidaya Dinas Peternakan Jatim, banyak peternak yang berminat untuk mendapat KUPS hanya sekadar melihat bunga yang mereka harus bayar 5% per tahun, tapi mereka tidak melihat jaminan. Padahal, “Di situ (KUPS) itu ada agunan,” katanya.
Bahkan, menurut Emil, banyak masyarakat yang salah persepsi terhadap kredit program seperti KUPS ini. Ada yang menyebutnya sebagai hibah. Padahal, sumber pendanaan KUPS itu berasal dari dana masyarakat yang dihimpun oleh bank. “Kita sosialisasikan ke masyarakat, bahwa (KUPS) ini sumber dananya dari dana masyarakat yang ditampung di bank. Ini dana komersial, sedangkan pemerintah hanya memberi subsidi bunga,” terangnya.
Jadi, menurut Emil, sebenarnya beban bunga KUPS ini sekitar 13%, sama dengan beban bunga pinjaman komersial. Tetapi, yang dibebankan kepada peternak sebesar 5%, sedangkan sisanya atau 8% dibayar pemerintah (menggunakan dana APBN). Bank pelaksanalah yang akan menagih bunga subsidi tersebut kepada Kementerian Keuangan.
Memang, untuk mendorong industri pembibitan sapi, baik sapi potong maupun sapi perah, pemerintah memberikan subsidi bunga. Sebab, tidak banyak yang mau masuk ke industri pembibitan karena marginnya tipis, menurut informasi yang diperoleh Emil, sekitar 10%-20%. Bahkan, menurut seorang pengusaha pembibitan sapi, bisa merugi. Bandingkan dengan industri penggemukan sapi, yang marginnya antara 30%—40%.
Emil berperdapat, KUPS ini sangat bagus karena mengarah ke ekonomi kerakyatan dan swasembada pangan (sapi). Sampai 2014, BNI berkomitmen untuk mengucurkan Rp500 miliar. Tahun ini, mereka menargetkan Rp100 miliar. “Sebagai bank pemerintah, kami commit dan mendukung program pemerintah. Ini suatu idealisme perbankan yang harus kita capai. Akhirnya kita mengembangkan potensi daerah,” pungkasnya kepada AGRINA.
Syatrya Utama, Indah Retno Palupi, dan Renda Diennazola
Boks:
Uji Publik dan Notifikasi
Jatim, termasuk salah satu sentra sapi (populasi 3,5 juta ekor) yang merasakan dampak impor daging dan jeroan sapi. Bukan karena provinsi ini kedatangan daging dan jeroan impor, tapi pasar mereka seperti Jabar dan Jakarta sudah dikuasai daging dan jeroan impor. “Kami mencari pasar baru seperti di Kalimantan dan Sumatera,” urai Rohayati, Kepala Bidang Produksi dan Budidaya, Dinas Peternakan Jatim, kepada AGRINA.
Memang, Dinas Peternakan Jatim sendiri tidak pernah merekomendasikan pemasukan impor sapi bakalan, daging, dan jeroan. “Kita tidak merekomendasikan sapi bakalan, daging, dan jeroan impor, kecuali sapi (betina produktif) untuk KUPS,” tegas Rohayati.
Karena itu, menurut Dayan Antoni PA, Koordinator Dewan Asosiasi Produsen Daging & Feedlot Indonesia (Apfindo), untuk mengendalikan pasokan daging tidak cukup dengan mengendalikan impor sapi bakalan, tapi juga daging dan jeroan impor. “Kita tahu daging dan jeroan impor itu juga mendistorsi harga (daging dan sapi hidup),” tandas Dayan.
Sebab, kalau impor daging dan jeroan sapi tidak dikendalikan bisa mengganggu program pembibitan sapi. Pasalnya, saat populasi bertambah, daging dan jeroan impor justru bisa mendistorsi harga daging dan sapi hidup. Karena itu pemerintah berniat melarang impor daging variasi (buntut, lidah, cingur, kikil) dan jeroan (jantung dan hati).
Menurut Permentan No. 20 Tahun 2009, ada empat jenis daging yang bisa dimpor, yaitu primary cut, secondary cut, daging variasi, dan jeroan. “Dalam draft revisi (Permentan) itu, daging variasi dan jeroan sudah dihapus,” kata Tjeppy D. Soedjana, Dirjen Peternakan, Kementan, pada rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR-RI (9/6).
Namun, selain harus melalui uji publik dengan pemangku kepentingan di dalam negeri, perubahan ini juga harus dinotifikasikan dulu ke WTO. “Pada saat dinotifikasikan, kita harus menunggu selama tiga bulan untuk menunggu masukan dari negara-negara mitra yang berkaitan dengan (larangan) impor daging (variasi) dan jeroan ini,” ungkap Tjeppy.
Syatrya Utama, Indah Retno Palupi, dan Yuwono Ibnu Nugroho