Siapa sangka anak yang pernah kesulitan melanjutkan sekolah ke SMA ini, sekarang mampu memimpin kelompok peternak sapi potong dan ayam petelur.
Setamat SMP, Suparto memang dilarang orangtuanya melanjutkan sekolah dengan alasan tidak ada biaya dan lebih baik jadi petani. “Saya melihat kehidupan orangtua yang menjadi petani dan buruh tani hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Saya tidak mau seperti itu,” kenang lelaki kelahiran 20 Agustus ini.
Tekadnya untuk tetap melanjutkan sekolah sangat kuat tapi ia terpaksa memendam keinginan selama setahun. Barulah tahun berikutnya penduduk Kampung Banyuurip, Desa Gunungrejo, Kedungpring, Lamongan, ini melanjutkan sekolahnya ke SMA. Itu pun dengan biaya sendiri dari hasil berjualan roti keliling kampung. Selepas SMA, anak pasangan Wagiman dan Sumi ini memberanikan diri kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, Unair, Surabaya. Kali ini biaya didapatkannya dari berjualan limbah pertanian kepada peternak ayam petelur di Blitar, Jatim.
Salah Komoditas
Lulus kuliah pada tahun 2000, pria yang akhirnya menyunting drh. Wulan Cahya Pratiwi ini sempat bekerja di perusahaan pembibitan unggas ternama. Namun hanya bertahan enam bulan dan memilih memperkuat bisnisnya sebagai pemasok pakan unggas. Kemudian ia mulai menekuni peternakan ayam petelur.
Berbekal ilmunya, dokter hewan yang memulai usaha dari 500 ekor pada 2001, sukses mengembangkan populasi bersama orang-orang di desanya dalam Kelompok Ternak Gunungrejo Makmur. Dalam waktu empat tahun, populasi ayam menjadi 200 ribu ekor pada 2005. Meski sukses toh peternak tetap sulit mengakses permodalan ke perbankan karena usaha peternakan ayam petelur dinilai berisiko tinggi.
Gemas dengan kondisi tersebut, ayah dua putri ini tergerak mengikuti Program Sarjana Membangun Desa (SMD) dari pemerintah pada 2008. Ada cerita lucu di balik upayanya kali ini. “Saya ajukan proposal dan diterima untuk melakukan tes di Malang. Ketika itu saya memaparkan panjang lebar tentang kelompok saya dan bagaimana mengkondisikan mereka hingga terbentuk sebuah kelompok secara detail,” cerita Wakil Ketua Asosiasi SMD seluruh Indonesia ini.
Saat itu juri justru geleng-geleng kepala mendengarkan paparan tersebut sebab komoditas yang seharusnya dipaparkan adalah kelompok peternak sapi potong, bukan kelompok peternak ayam petelur. Namun, ada satu juri yang menyarankan untuk mengubah proposalnya menjadi sapi potong. ”Saya berpikir pendek saja waktu itu. Kalau ayam bisa, kenapa sapi tidak?” katanya. Memang sudah rezekinya, ia mendapat dana SMD untuk membeli 25 ekor sapi jantan dan 12 ekor betina. Singkat cerita, tangan dingin Suparto mampu mengembangkan sapi kelompoknya yang diberi nama Gunungrejo Makmur II.
Berkembang dengan KUPS
Keberhasilan kelompok Gunungrejo Makmur II menarik perhatian Pemda Jatim. Melalui Bank Jatim kelompok ini mendapat kucuran dana lagi melalui skim Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). “Saya dapat dari Bank Jatim. Dana yang diberikan sebanyak Rp750 juta,” katanya.
Dana tersebut dialokasikan untuk membeli sapi betina bunting sebanyak 50 ekor dari berbagai jenis sapi yang harganya Rp12 juta per ekor. “Sisa dana kami gunakan untuk memperbaiki kandang dan pabrik pakan,” jelasnya.
Hal tersebut dilakukan karena belajar dari pengalaman saat mendapat dana dari program SMD yang semula hanya untuk penggemukan dan pembibitan saja. Tapi sudah berkembang bisa mengolah pakan untuk memasok kebuthan sapi di kandang. Selain itu, tambahnya dengan bisa menjual pakan keluar tentu akan bisa menambah penghasilan kelompok.
Kini Suparto terbilang sebagai sarjana yang berhasil membangun desanya. “Kalau dibilang mapan memang masih belum tapi kalau rumah saya sudah punya sendiri, mobil sudah ada dan motor semuanya juga hasil dari usaha di peternakan ini, dan itu sudah saya lakukan sejak 2000 tahun lalu,” pungkasnya bangga.
Tri Mardi Rasa