Rabu, 9 Juni 2010

Mempercantik Wajah Sawit

Yayasan BOS bisa membantu melakukan program Best Management Practices, terutama di daerah yang terdapat habitat orangutan liar.

Dari kacamata Dr. Togu Manurung, industri kelapa sawit, terutama di Sumatera dan Kalimantan, dibangun dengan merusak hutan alam tropis Indonesia. Dalam hal ini, ia tidak berbicara sebagai Chairman dan CEO BOS Foundation, lembaga swadaya masyarakat yang peduli pelestarian orangutan, tetapi berbicara sebagai pendapat pribadi.

Rezeki Nomplok dari Kayu

Selama ini, para pengusaha perkebunan kelapa sawit masih mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) di lahan berhutan yang potensi kayunya tinggi. Dengan demikian, dalam  land clearing (penyiapan lahan), pengusaha perkebunan kelapa sawit masih mendapat keuntungan dari pemanfaatan kayu hutan setelah mendapat izin pemanfaatan kayu (IPK).

Sebagai konsultan dan Forest Economist, ia pernah menulis laporan untuk Natural Resources Management Program-USAID. Bila suatu perkebunan kelapa sawit dibangun di lahan 10.000 ha, dengan cara land clearing di hutan tropis (selama satu tahun), menggunakan alat-alat berat, dengan asumsi potensi volume kayu yang konservatif, perusahaan bisa mendapat rezeki nomplok sekitar US$21 juta (Rp189 miliar). “Ini keuntungan sebelum membangun perkebunan kelapa sawit,” katanya kepada AGRINA.

Seringkali dilaporkan, setelah mendapatkan keuntungan dari pemanfaatan kayu itu, masih ada perusahaan kelapa sawit yang tidak merealisasikan pembangunan perkebunan sawit. Areal menjadi telantar dan akhirnya menjadi semak belukar atau alang-alang, dan tidak produktif. Saat ini, ada sekitar 30 juta ha yang tidak produktif.

Fakta lain, menurut Togu, pembangunan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Kementerian Pertanian memang masih membolehkan perkebunan sawit di lahan gambut berketebalan di bawah tiga meter. Tapi trennya, masyarakat dunia berkeberatan karena pembukaan lahan gambut bisa memberikan sumbangan besar emisi karbon ke atmosfir.

Restorasi Habitat Orangutan

Pada 2009, lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 9,1 juta ha. Enam provinsi dengan luas perkebunan kelapa sawit terbesar adalah Riau (2,9 juta ha), Sumut (1 juta ha), Kalteng (738 ribu ha), Jambi (700 ribu ha), Kalbar (525 ribu ha) dan Kaltim (368 ribu ha). Sedangkan lahan yang masih tersedia untuk rencana ekspansi perkebunan sawit sekitar 26,7 juta ha.

Di samping itu, masih ada lahan kelapa sawit yang tumpang tindih dengan habitat orangutan. Saat ini jumlah orangutan sekitar 57.000 ekor, 50.000 ekor hidup di Kalimantan dan 7.000 ekor di Sumatera. Padahal, sebelum maraknya perkebunan kelapa sawit, jumlah orangutan di Indonesia sekitar 120 ribu ekor. “Pada saat ini, Yayasan BOS melakukan progam kegiatan konservasi orangutan dan habitatnya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah,” jelas Chairman dan CEO BOS Foundation itu.

Melalui PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI), yang mayoritas sahamnya dikuasai Yayasan BOS (the Borneo Orangutan Survival), pihaknya mendapat izin definitif HPH Restorasi Ekosistem (HPH-RE) 86.450 ha di Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Kini, RHOI mengajukan tambahan areal 23.500 ha, yang letaknya berdekatan. “Ke depan, RHOI masuk bisnis perdagangan karbon di areal konsesi HPH-RE,” lanjut dia.

Memang, wajah industri sawit Indonesia, hanya bisa dipercantik dengan melakukan  Best Management Practices (BMP) dalam konteks Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Dengan demikian, pembangunan perkebunan kelapa sawit harus berkelanjutan, tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi (produksi CPO atau crude palm oil dan PKO atau palm kernel oil), tapi juga aspek hukum, lingkungan dan sosial. “Yayasan BOS bisa membantu perusahaan kelapa sawit melakukan program BMP, terutama dalam penentuan dan pengelolaan areal, di mana diketahui terdapat habitat alami orangutan liar,” terangnya.

Syatrya Utama dan Peni Sari Palupi

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain