Kekhawatiran masyarakat tentang pengembangan Food Estate masih terjadi, walaupun regulasi pemerintah melalui PP 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman sudah dikeluarkan.
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional untuk Aliansi Desa Sejahtera (ADS), mengungkapkan, negara seharusnya mengupayakan ketahanan pangan, bukan menyerahkannya ke swasta. Ia beranggapan, swasta lebih berorientasi mengejar keuntungan semata. “Pengembangan food estate Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang jalannya diperlebar dengan terbitnya PP No.18/2010, menunjukkan sikap pemerintah yang menempatkan sektor usaha sebagai ”the players, the real actor” dalam penyediaan pangan. Padahal faktanya, kebutuhan pangan kita lebih banyak disediakan petani kecil, yang belum mendapat dukungan cukup untuk dapat mewujudkan kedaulatan pangan kita,” ucap Tejo.
ADS menilai, MIFEE hanya mengakomodir proses pemindahan lahan secara masif ke tangan swasta dan penggunaan teknologi pertanian padat modal, seperti yang berlangsung saat ini di seluruh dunia. “Sayang sekali jika krisis pangan yang terjadi di dunia dijawab oleh Indonesia dengan cara membuka investasi pangan bagi swasta. Terlalu riskan menyerahkan urusan pangan ke swasta. Tidak akan ada kemandirian pangan jika semua hal yang terkait dengan pangan dikuasai swasta. Investasi untuk pembangunan pertanian sepuluh tahun ke depan lebih baik ditujukan bagi petani kecil,” tegas Witoro, Ketua Pokja beras/pangan di ADS.
Pahami Konsep Dasar
Menjawab itu semua, Hilman Manan, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian Pertanian, menjelaskan, harus dipahami dahulu konsep dasar food estate itu. Food estate merupakan kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas, minimal 25 ha. Dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, modal, serta organisasi dan manajemen modern.
Hilman menambahkan, peranan aktif swasta dalam penyediaan pangan ini juga merupakan peranan negara. Penerapan food estate ini diletakkan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam agribisnis dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari, dikelola secara profesional, didukung oleh SDM berkualitas, serta teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. “Selain itu, diarahkan pada sistem agribisnis berbasis pemberdayaan masyarakat lokal, jadi tidak benar jika tidak ada kemandirian lokal,” tambahnya.
Dalam pengembangan food estate diatur mengenai pelayanan perizinan budidaya tanaman pangan, peternakan dan perkebunan, pembatasan skala usaha, dan hasilnya diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sisanya diekspor. Serta, kewajiban untuk melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), dan penyertaan modal asing dibatasi maksimal 49%.
Bagi perusahaan yang mempekerjakan WNA, wajib menyelenggarakan pelatihan dan alih teknologi. Dan pelaku usaha pertanian terdiri dari perorangan WNI atau Badan Hukum Indonesia. “Bagi WNA dan Badan Hukum Asing wajib bekerjasama dengan pelaku usaha Perorangan WNI dan Badan Hukum Indonesia, dengan membentuk Badan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,” tandas Hilman
Pemerintah akan mengarahkan pelaku usaha untuk bekerjasama secara terpadu. Kebutuhan tenaga kerja tetap mengutamakan tenaga kerja WNI, khususnya masyarakat lokal. “Sebagai contoh akan dikembangkan kerjasama kemitraan yang dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis dan diketahui Bupati. Desain kemitraannya didasarkan kepemilikan natural aset masyarakat adat berupa tanah ulayat sebagai penyertaan modal masyarakat dalam usaha kemitraan tersebut,” ucap Hilman.
Febriansyah, Staf Humas Ditjen PLA Kementerian Pertanian