Rabu, 9 Juni 2010

Pintu Terbuka Tapi Tak Bisa Masuk

Tahun silam Singapura mengimpor 461.165 ton sayuran berbagai jenis, tapi Indonesia hanya mampu mengisi 26.000 ton atau 6%.

Posisi strategis Singapura sebagai pedagang berbagai komoditas agribisnis memberi peluang bagi Indonesia untuk memasok pasar yang cukup dekat itu. “Kami banyak mengimpor buah dan sayuran dari negara tetangga, seperti Malaysia, China, Filipina, juga Indonesia. Anda punya banyak jenis yang menguntungkan konsumen kita. Kita juga tahu banyak turis datang ke Singapura sehingga mereka bisa mengonsumsi buah dan sayuran Indonesia,” ungkap Leslie Cheong, Director Special Duties Corporate and Technology Group, Agri-Food & Veterinary Authority of Singapore kepada AGRINA.

Dua dekade lalu, menurut Iwan Dermawan Hanafi, Ketua Kadin Indonesia Komite Singapura, kita menguasai 30%—40% pasar hortikultura Singapura. Namun sekarang, “Pasar kita direbut Malaysia dan China,” katanya di sela-sela acara pertemuan tentang peluang ekspor buah dan sayuran ke Singapura akhir April lalu di Menara Kadin, Jakarta.

Sebab Utama

Mengapa pangsa pasar Indonesia terpuruk? Gopal R., Direktur Transportation & Logistic, Frost & Sullivan Asia Pasific, memaparkan, pasar sayuran segar Singapura tahun lalu mencapai 461.165 ton. Pemasoknya adalah Malaysia (43%), China (28%), India dan Indonesia masing-masing 6%, Australia (5%), Amerika dan Vietnam (3%), Thailand 2%, dan lain-lain 4%.

“Malaysia mempunyai beberapa kunci sukses,” ujar Gopal. Di antaranya, harga murah dengan pasokan konsisten, kelancaran transportasi sehingga kesegaran produk terjaga, transportasi bisa lewat jalur darat lebih murah, dan pengemasan bagus. Sedangkan China menawarkan harga kompetitif, rasa yang cocok dengan selera konsumen, jenis sangat bervariasi, kelancaran hubungan dengan pemasok, jejaring yang kuat, serta kepercayaan dan tradisi.

Di sisi lain, lanjut Gopal, eksportir Indonesia dinilai memberikan harga yang berfluktuasi, produk kurang segar, dan kontak bisnis yang terbatas. “Indonesia menghadapi sejumlah kendala untuk ekspor,” lanjut Gopal. Enam yang berhasil diidentifikasi adalah masalah logistik dan transportasi, sedikit permintaan karena rendahnya kualitas dan rasa, kurangnya penerapan teknologi dan ketrampilan petani, keterbatasan kontak bisnis, dan harga yang lebih tinggi.

Mantan Direktur Komersial di Caterpillar Logistics Services, Inc. ini juga menyoroti kekurangan Indonesia dalam penanganan produk. Antara lain, patahnya rantai dingin, kurangnya kontainer berpendingin, pengepakan kurang berkualitas,  pemanenan kurang teratur, tegangan listrik dalam kontainer tidak stabil, tidak tertutup oleh asuransi, dan perkarantinaan.

Transportasi pun masih berkendala. Dari kebun sampai ke pelabuhan ekspor makan waktu 2,5—4 hari via kapal dan 9—18 jam lewat udara. Parahnya lagi, “Tidak ada penyedia pengapalan yang sehari sampai ke Singapura,” terang Gopal lagi.

Jalan Keluar

Saat ini Indonesia mengandalkan beberapa jenis sayuran, yaitu kubis, sayuran buah, bawang bombay, dan kentang. “Kubis putih dan kentang sangat disukai konsumen. Demikian pula buncis, bawang bombay, cabai kuning, hijau, dan merah,” papar Gopal.

Untuk mendongkrak pangsa pasar di Negeri Singa itu sampai 10%, Gopal menyarankan sejumlah pembenahan. Di tingkat petani, mereka harus menggunakan benih unggul, menerapkan good agricultural practices (GAP), pemanfaatan fasilitas penyimpanan dan pengemasan dekat kebun produksi. Sementara di sisi transportasi dibutuhkan fasilitas yang memadai dalam pengiriman dan penanganan kargo, gudang penyimpan yang memadai dengan suplai listri stabil, pengendalian suhu dalam kontainer berpendingin, layanan pengapalan yang teratur, dan percepatan dalam pengiriman serta terjaganya rantai dingin sampai ke pembeli.

Peni SP

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain