Setelah berhasil menjual pakan, induk, anak, kandang, dan olahan kelinci, ia bakal membuka wisata kelinci.
Banyak peternak kelinci yang hanya menjual hasil ternaknya berupa anak maupun induk kelinci. Tidak banyak yang menjual segala macam yang berbasis hewan berkuping caplang itu. Berbeda dengan Nuning Priyatna, pemilik UR2 Farm (Usaha Rakyat 2 tempat). Ia bisa meraup omzet Rp40 juta per bulan dengan menjual pakan, induk, anak, kandang, dan hasil olahan kelinci.
Pada 2008, bermodal Rp1 juta, ibu dua anak yang minim pengetahuan beternak ini, nekad beternak kelinci (hewan yang dilambangkan sebagai maskot playboy) di samping rumahnya di Jagakarsa, Jakarta. “Lagi jalan-jalan ke Lembang, Bandung, saya membeli sepasang kelinci Anggora dan sepasang kelinci lokal,” ujarnya kepada AGRINA.
Ia kebingungan saat kelincinya, beranak-pinak dengan cepat karena sekali reproduksi bisa beranak 4—12 ekor. “Mau diapakan anak kelinci yang telah besar,” tutur pensiunan perbankan ini. Lalu ia berinisiatif menjual 30 ekor induk dan anak kelinci hias maupun yang lokal di kawasan Puncak, Bogor, Jabar.
Malangnya, selama tiga hari berjualan, tak satu pun yang laku. “Waktu itu saya tekor,” akunya. Namun sarjana ekonomi ini tak putus asa. Diajak anak pertamanya, ia mengikuti pameran UKM di Universitas Indonesia, Depok, Jabar. Itulah awal keberhasilannya. Setelah itu, setiap hari pedagang dan peternak membeli kelinci di rumahnya. Kelinci lokal dihargai Rp50.000 per ekor dan anggora Rp750 ribu per ekor.
Berkat arisan
Karena kelincinya semakin banyak, lantas di lahan 2.000 m2 di Cidokom 5 kav 67 Desa Kopo Cisarua-Bogor, ia membuat kandang kelinci. Kandang ini bisa menampung 400 ekor kelinci lokal dan 500 ekor yang unggul (Anggora, Rex America, White New Zealand, dan Benggala).
Suatu hari, Nuning menjadi tuan rumah arisan ibu-ibu di rumahnya. Ia menghidangkan produk olahan kelinci, seperti bakso, nugget, kerupuk, dan somay. Maklumlah, “Karena kebanyakan, kelinci saya potong saja sebagian,” ujar lulusan Universitas Brawijaya, Malang, Jatim, ini. Rupanya, ibu-ibu itu menggemari olahan berbasis kelinci ini.
Ibu jago masak ini kemudian mengembangkan sayap bisnisnya di bidang olahan kelinci. Setiap bulan ia memotong 100 ekor kelinci dan menghasilkan olahan (bakso, nugget, dan somay) sebanyak 400 kotak, yang dijual Rp20.000 per kotak. Ia juga menjual kerupuk Rp 5.000 per plastik. Sedangkan karkas kelinci (tanpa kaki dan kepala) ia patok Rp75.000 per kg.
Bila ikut pameran, wanita kelahiran Yogyakarta ini menyajikan makanan siap saji berupa kroket daging kelinci dan sate kelinci. Biasanya, harganya dibandrol Rp12.000—Rp15.000 per porsi. Tak dinyana, pelanggan produk olahannya semakin banyak. Bukan hanya di Jabodetabek, tapi juga sudah merambah sampai ke Yogyakarta, Ambarawa, dan Bali.
Menjual limbah
Selain menjual kelinci hidup dan olahannya, Nuning pun menyulap limbah kelinci menjadi pupuk cair dan pupuk padat. “Daripada dibuang, mending jadi duit,” kata ibu berusia 43 tahun ini. Setiap bulan ia memproduksi 100 bungkus pupuk padat yang dijual Rp5.000 per bungkus dan 60 botol pupuk cair Rp10.000 per botol. Pelanggannya petani di Bogor, Cianjur, dan Cipanas. “Setiap hari banyak petani ke kandang membeli pupuk,” ujarnya.
Selain itu, istri seorang kontraktor ini juga menyediakan kandang kelinci ukuran 60 cm x 40 cm yang dibandrol Rp300 ribu per unit untuk yang terbuat dari kayu dan Rp500 ribu per unit untuk yang terbuat dari besi. Kelak, wanita berparas ayu yang bersuamikan orang Bali ini berencana membuat wisata kelinci dan rumah makan kelinci di kawasan Bogor.
Agung Christiawan