Tidak semua peternak mampu mandiri karena harga ayam naik turun.
Peternak, terutama yang mandiri, menghadapi tantangan berupa kenaikan harga sarana produksi di tengah tidak menentunya harga jual ayam. Dua hal ini sering kali membuat para peternak bangkrut. Adalah Agus Suwarna, peternak dari Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, Bogor, yang berupaya keras mempertahankan usahanya agar tetap bertahan. Tekadnya tersulut oleh kondisi bisnis yang tidak kunjung membaik, “Masa aku kayak gini terus,” ceritanya mengawali perbincangan dengan AGRINA.
Bisa Mandiri Karena Utang
Pada 1996 Agus mengadu nasib ke Jakarta dengan melamar ke PT Charoen Pokphand, perusahaan integrasi unggas. Itu langkah awalnya untuk mengetahui tatacara beternak yang baik. Lima tahun berselang, ia hijrah ke perusahaan sejenis sambil mulai beternak dengan skala 4.000 ekor. Bermodalkan Rp20 juta, ia membuka peternakan di kawasan Darmaga, Bogor.
Pria asal Boyolali, Jateng, ini memilih bibit ayam broiler keluaran Charoen Pokphand. Untuk pakannya, ia memberanikan diri berutang pada Ko Liem Bi alias Koko, peternak asal Gunung Sindur. “Ko, saya punya ayam tapi belum punya pakan, boleh saya utang dulu,” katanya malu-malu.
Ketika panen, Agus tidak tahu ke mana mesti menjualnya. Terpaksa ia minta bantuan kembali ke Koko. Beruntunglah, harga ayam saat itu cukup tinggi. Setelah dipotong utang pakan, ia masih bisa mengantongi keuntungan. Hingga periode kedua dan ketiga, Koko masih mau memberinya utang pakan.
Pada 2003, para peternak, khususnya yang mandiri, sangat kesulitan mencari DOC, tak terkecuali bapak tiga anak ini. Kali ini ia mencari bantuan ke Tri Hardiyanto, peternak besar di Bogor. Ketua Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) ini bersedia membantu menyediakan bibit ayam (DOC). Uluran tangan Tri berlangsung sampai tiga periode. Keuntungan demi keuntungan ditabungnya. Begitu tabungannya memadai untuk memulai usaha secara mandiri, ia pun melepas pekerjaannya. Sukses mulai menghampiri lulusan Fakultas Peternakan Undip Semarang ini yang terlihat dari skala usahanya yang mencapai 50.000 ekor per periode.
Untuk menghindari kesulitan pemasaran, Agus mencari dulu pembeli yang diharapkannya menjadi pelanggan tetap. Ia mampu menggaet beberapa rumah potong ayam, pedagang ayam, dan penjual ayam bakar sebagai pembeli.
Bisnis Agus kian kinclong. Skala usahanya naik terus sampai sekarang mencapai 300 ribu ekor per periode. Untuk menggemukkan ayam sebanyak itu, ia membeli 7—8 ton pakan dan 24.000 ekor DOC. Hasil panennya merambah Ciputat, Pondokcabe (Tangerang) Bogor, dan Depok.
Multivitamin plus Elektrolit
Lantas apa rahasia sukses Agus? Pria beristrikan sarjana akuntansi ini tak segan mengungkapnya. Modal kerja keras dan kepercayaan terhadap petugas kandang, itulah yang diakuinya sebagai kunci kesuksesannya. Untuk mengurus salah satu kandangnya di Tajur Halang, ia merekrut lima orang petugas kandang yang pendidikannya setaraf SMU, maksimal D3. Tiap hari pria kelahiran 1969 ini memberi pengarahan sebelum aktivitas di kandang berlangsung.
Bila ada ayam sakit, petugas kandang memanfaatkan Gallivit Ws, produk dari Duta Medika Satwa. Multivitamin yang mengandung elektrolit tersebut bisa mencegah stres pada ayam karena vaksinasi, pindah kandang, dan penyebab stres lainnya. Selain itu, produk ini juga memelihara kestabilan produksi dan membantu pemulihan kesembuhan dari penyakit. Cara aplikasinya mudah. Untuk pencegahan stres, campurkan 1—2 g multivitamin ini dalam satu liter air minum lalu diberikan saat ayam berumur 3—5 hari. Bila ayam sudah telanjur stres, berikan 8—10 g per liter air pada umur 5—7 hari.
Agung Christiawan