Rabu, 26 Mei 2010

Antara Terpal, Beton, dan Tanah

Masing-masing jenis kolam lele mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Lele sejatinya terbilang jenis ikan tahan banting dan bandel. Terlihat dari kemampuannya bertahan hidup di berbagai jenis lokasi atau kolam. Namun bakat alami lele tersebut tak akan bermakna jika kualitas dan kuantitas panen yang menjadi target.

Secara umum, terdapat tiga jenis pilihan kolam dalam usaha pembesaran lele, yaitu kolam terpal, kolam beton, dan kolam tanah. Dari sisi besaran anggaran, lama pembuatan dan manfaat, ketiganya ada plus-minus tersendiri. Bahkan, untuk lebih menggenjot hasil maksimal, si pembudidaya menyiasatinya dengan memadukan dua jenis kolam.

Terpal, Praktis

Kolam terpal dianggap paling mudah, praktis, dan murah dalam pembuatannya. Setidaknya begitu pengakuan Yulianto, pembudidaya lele di Desa Ngranti, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jatim. Dari perhitungan pemilik 10 ha lahan lele ini membuat kolam terpal menghabiskan anggaran Rp1 juta per unit kolam. “Banyak orang yang tak mau repot. Kolam terpal memang cocok bagi yang tak mau repot. Cepat, ringkas, dan murah,” tandas Yulianto yang memulai usaha sejak 11 tahun silam ini.

Lebih jauh Yulianto merinci, untuk membuat satu unit kolam terpal ukuran 5 m x 10 m misalnya, dibutuhkan plastik terpal sekitar 8 m x 13 m atau seharga Rp500 ribu. Diperkirakan terpal tesebut dapat bertahan selama 5 tahun. Lalu, dibutuhkan sekitar 4 orang tenaga kerja dengan masa kerja tiga hari. Upah pekerja tersebut, dianggarkan sekitar Rp480 ribu. Jadi jika ditotal, biayanya tak lebih dari Rp1 juta. 

Karena alasan itu pula pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan paket wirausaha lele dalam bentuk kolam terpal. Seperti diungkapkan Iskandar Ismanadji, Direktur Produksi Budidaya, Ditjen Perikanan Budidaya, KKP, paket senilai Rp7 juta tersebut, terdiri dari 6.000 ekor benih, 720 kg pakan, dan kolam terpal ukuran 4 m x 6 m dengan kedalaman satu meter. “Kolam terpal memang lebih mudah dibuat sehingga untuk paket wirausha pemula kita berikan paket dalam bentuk sarana produksi. Salah satunya berupa kolam terpal,” jelasnya.

Tanah

Berdasarkan pengalamannya, Yulianto mengakui kolam terpal juga mengandung kelemahan. Dibanding dengan kolam tanah, kolam terpal lebih rawan tercemar. Pasalnya, pada kolam terpal, sisa pakan biasanya menumpuk di dasar kolam tanpa bisa terurai alami. Hal inilah yang dikhawatirkan malah menimbulkan pencemaran di kolam. Alhasil, kesehatan ikan ikut terancam.

“Mungkin amonianya tak bisa terserap ke bawah tanah sehingga tidak bisa terurai dan bisa mencemari air dan amonianya meracuni ikan. Kondisinya rata-rata memang begitu di kolam terpal,” jelas lelaki 40 tahun ini. Untuk menyiasati hal tersebut, lanjut dia, para pengguna kolam terpal biasanya membiarkan dasar kolam tak tertutup terpal. Jadi hanya dinding kolam saja yang dipasangi terpal, sedangkan dasar kolamnya tetap tanah. Atau cara lain adalah sengaja melapisi dinding atau dasar kolam terpal dengan tanah.

Pengalaman menggunakan kolam yang terbuat dari tanah juga dirasakan Aken Hafian, pengusaha lele di Gunung sindur, Parung, Bogor. Dia berpendapat, kolam tanah dapat mengkondisikan lele seperti habitat asli di alam dan juga mempercepat penetralan suhu kolam. “Lele ‘kan aslinya hidup di lumpur, ya kita sesuaikan dengan lingkungan aslinya saja,” beber pemilik 15 ha lahan pembesaran lele ini.

Suhu, imbuh dia, juga mempengaruhi nafsu makan ikan sehingga akan berujung pada terhambatnya pertumbuhan lele dan lama masa panen. Dari pengamatannya, suhu optimal bagi lele adalah di kisaran 27ºC, jika kurang atau lebih dari itu, bisa dipastikan siklus budidaya jadi panjang. Selain itu kualitas lele juga tidak optimal. “Kalau pakai kolam tanah, jika siangnya panas sekali, sorenya bisa cepat normal. Atau malamnya dingin, paginya juga bisa cepat kembali,” ucap pemiliki CV Jumbo Bintang Lestari ini. 

Namun kolam tanah juga punya kelemahan. Menurut Aken, selain lebih banyak menggunakan tenaga kerja, kolam tanah juga membutuhkan pasokan air tidak sedikit. Pasalnya, berbeda dengan kolam terpal atau beton yang mudah menahan dan menampung air, di kolam tanah air bisa terus hilang melalui pori-pori tanah. Repotnya lagi, setelah siklus budidaya berakhir, kolam tanah harus dikeringkan, diangkat endapannya dan diberi kapur. Proses ini juga membutuhkan biaya.

Lalu bagaimana dengan kolam beton? Menurut Yulianto, jenis kolam ini tidak cocok bagi pengusahan yang lahannya masih berstatus sewa. Selain itu, anggaran pembuatannya juga terbilang tidak murah, meski kolam tampak lebih bersih.

Selamet Riyanto, Indah Retno Palupi

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain