Bioteknologi bisa meningkatkan produktivitas dan memperbesar keuntungan petani. Karena itu ia bisa menjadi jalan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Ketahanan pangan, menurut UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Berarti keberhasilan ketahanan pangan dilihat dari tiga indikator. Pertama, ketersediaan (cukup, baik jumlah, mutu, maupun aman). Kedua, distribusi (dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil). Ketiga, konsumsi (dapat diakses dalam jumlah yang cukup dan sesuai kaidah gizi, kesehatan, serta preferensinya).
Menurut Maxdeyul Sola, Sekjen Dewan Beras Nasional, peranan bioteknologi dalam ketahanan pangan minimal dua. Pertama, meningkatkan produktivitas tanaman karena bioteknologi mampu menjawab tantangan yang dihadapi petani Indonesia, misalnya serangan hama, pengendalian gulma, selain kepastian produksi saat panen. Bioteknologi juga mengurangi pemakaian pestisida. Kedua contoh keuntungan produk bioteknologi ini selanjutnya mengurangi biaya tenaga kerja, terutama dalam penyiangan dan pengendalian hama penyakit.
Perkembangan bioteknologi ke depan tidak hanya meningkatkan produksi di lahan yang selama ini tidak bisa dimanfaatkan untuk berproduksi akibat sifat kimianya. Juga di wilayah yang tidak kondusif karena curah hujan yang pendek dan sering kekeringan atau malah kelebihan air sehingga produksi akan gagal. “Dalam kondisi seperti itu bioteknologi merupakan jawaban menciptakan varietas yang tahan keasaman tanah, kekeringan, dan kebanjiran,” kata Pak Sola, sapaan akrabnya.
Peran kedua, memperbaiki kualitas pangan, seperti mempertahankan kualitas dan selama masa penyimpanan transportasi serta kandungan gizi. Misalnya, Golden Rice, beras transgenik untuk mencukupi kebutuhan Vitamin A bagi perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat.
Selangkah Lebih Maju
Perkembangan pemanfaatan bioteknologi di dunia, menurut International Services for the Acquisation of Agri-Biotech Application (ISAAA), tahun lalu mencatat lompatan berarti. China berani mengeluarkan sertifikat keamanan hayati untuk padi biotek tahan hama dan jagung fitase pada November 2009.
Memang dengan izin itu tidak serta merta melegalkan petani di China menanam benih padi dan jagung transgenik, tapi paling tidak mempercepat adopsi biotek di Negeri Tirai Bambu tersebut. “Dengan populasi 1,3 miliar jiwa, tanaman biotek merupakan bagian yang sangat penting bagi China dan negara lain untuk mencapai swasembada,” tandas Clive James, Ketua dan Pendiri ISAAA di Jakarta, awal Maret lalu.
China, satu dari 16 negara berkembang yang mengadopsi tanaman berbasis biotek pada 2009. Total luasan pertanaman biotek di negara berkembang 13% atau 7 juta ha, sedangkan di negara maju 3% atau 2 juta ha. Tahun lalu, 14 juta petani menanam benih biotek pada lahan 134 juta ha tersebar di 25 negara atau naik 7% dari capaian 2008. Dari 14 juta petani itu, yang 13 juta adalah petani kecil di negara-negara berkembang.
Mengambang
Di tengah perkembangan adopsi tanaman hasil bioteknologi di dunia, posisi Indonesia masih jalan di tempat. Pemanfaatan tanaman biotek (transgenik) belum mendapat lampu hijau dari pemerintah. Padahal, “Peneliti kita mampu (menghasilkan benih biotek). Jangan menyepelekan kita. Anda pergi ke BB Biogen itu, semua kualitas internasional,” ujar Bustanul Arifin, ekonom senior INDEF dan Rektor Universitas Lampung itu melalui telepon. Status boleh atau tidaknya mengembangkan tanaman transgenik, menurut istilah Bustanul yang telah lelah berdiskusi tentang ini, diambangkan.
Pemerintah terkesan ekstra hati-hati dalam menetapkan regulasi pemanfaatan tanaman transgenik. “Itu lebih disebabkan karena instrumen yang akan memberikan rekomendasi terhadap penggunaan transgenik belum terbentuk di mana di dalam aturannya harus ada Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang berfungsi memantau dampak transgenik terhadap keamanan produk tersebut apabila dikonsumsi dan terhadap lingkungan,” jelas Sola.
Dahri Tanjung, peneliti dari Center for Alternative Dispute Resolution, Regulation and Policy and Empowerment (CARE) IPB memperjelas, Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan sudah terbentuk. Namun para personilnya belum ada karena menunggu Peraturan Presiden yang menetapkannya sehingga komisi ini belum bisa bekerja.
Selain peneliti lokal mampu menghasilkan benih transgenik, menurut Dahri Tanjung, dalam skala penelitian terbatas petani pun diuntungkan. Hasil penelitian di Jatim dan Lampung 2007—2008, keuntungan per hektar petani penanam jagung transgenik lebih tinggi Rp4 juta—Rp4,5 juta ketimbang jagung hibrida. Hal ini lantaran biaya produksi transgenik lebih rendah 27,57%—34,52%.
Dengan belum menyalanya lampu hijau yang terang dari pemerintah, petani seperti Hj. Satini di Lampung Timur, masih sebatas menikmati keunggulan jagung hibrida, belum transgenik. Saat ini ia menanam varietas DEKALB 979 Acceleron yang lebih tahan penyakit bulai dibandingkan benih lainnya. Varietas ini memberinya panen 9 ton pipilan per ha.
Mungkin Indonesia bisa berkaca pada Filipina. Menurut Dahri, pemanfaatan produk bioteknologi di sana terus meningkat karena mendapat respon positif dari petani yang memperoleh keuntungan dan kemudahan budidaya. Hal ini terjadi berkat dukungan pemerintah yang memberikan peraturan dan pedoman yang jelas, berdasarkan fakta ilmiah, dan prosesnya dapat diikuti secara transparan. Di samping itu, berbagai institusi pemerintah terkait dan para ilmuwan berperan aktif dalam memberikan penerangan kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan.
Bila kuatir dengan ketergantungan benih impor, pemerintah bisa mendorong peneliti lokal untuk menghasilkan sendiri. Dengan demikian, keunggulan bioteknologi modern ini dapat menjawab tantangan pertambahan penduduk, penyempitan lahan pertanian, dan perubahan iklim yang masih mengancam ketahanan pangan nasional.
Peni SP, Agung C., Renda D., Syatrya Utama