Pada industri jasa boga, posisi ikan sebagai bahan masakan naik pangkat, dari urutan ketiga menjadi kedua.
Potensi pasar ikan di dalam negeri demikian besar. Kebutuhan horeka (hotel, restoran, dan katering) sekitar 5 juta ton, warung 10 juta ton, dan rumah tangga 5 juta ton per tahun. Tetapi, kenyataannya, rata-rata konsumsi nasional baru sekitar 30,2 kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta, sejatinya kebutuhan nyata ikan baru sekitar 7 juta ton. Jadi, ada kesenjangan potensi dan kebutuhan riil ikan sekitar 13 juta ton.
Program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) merupakan salah satu cara mendorong peningkatan konsumsi ikan. Nah, untuk memacu maraknya Gemarikan, pertengahan Mei ini pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menandatangani nota kesepahaman dengan Tim Penggerak Pembinaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Pusat. Kelak, kampanye makan ikan dapat dipadukan dengan kegiatan Posyandu.
Kalau dilihat pada industri jasa boga, sebenarnya ada pergeseran posisi ikan sebagai bahan masakan: naik dari urutan ketiga menjadi kedua. Tiga tahun lalu, menurut Sadullah Muhdi, 52, Direktur Pemasaran Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, urutan kebutuhan industri jasa boga adalah telur, daging ayam, ikan, dan daging (sapi). Tapi, sekarang menjadi: telur 35%, ikan 30%, daging ayam 25%, dan daging (sapi) 10%.
Sesungguhnya, kebutuhan ikan pada industri jasa boga ini tinggi, tapi mereka kesulitan mendapatkan ikan secara kontinu dan bermutu. Selain itu, mereka tidak mudah memperoleh ikan semi terolah seperti fillet (potongan daging), yang mereka kehendaki. “Mereka kesulitan memperoleh bahan baku, dalam konteks kontinu, kualitas, dan standar yang mereka kehendaki,” kata suami Siti Nuraeniah itu kepada AGRINA (4/5).
Bulog Ikan
Memang kalau diperhatikan di hulu, baik perikanan budidaya maupun tangkap, para pelaku selalu dicirikan berskala kecil, beragam, dan musiman. Sedangkan pasar menginginkan sebaliknya, yaitu keteraturan dan keseragaman. Misalnya, industri jasa katering, menginginkan fillet yang seragam. Selain itu, dalam cara menjualnya, pelaku perikanan budidaya menjual per kolam atau per petak pada setiap panen. Nelayan juga menjual ikan sekaligus dan tidak mau dipilih-pilih. Di samping itu, sistem pembayarannya pun tunai.
Di sini perlu ada institusi yang menjembatani pelaku usaha budidaya atau nelayan tangkap dengan konsumen (pasar institusional ini). Untuk itulah Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mengembangkan program depo-depo pemasaran perikanan. Perannya seperti Bulog, tapi pemiliknya swasta. Depo ini menampung ikan-ikan dari pelaku budidaya dan tangkap. “Lembaga ini bisa menyortir dan memotong-motong ikan sesuai kebutuhan dan keinginan pasar,” kata Sadullah. Dengan fasilitas pendinginan, depo-depo ini bisa menyimpan dulu ikan-ikan yang sudah dipotong tadi sebelum dilempar ke pasar.
Selain itu, dengan adanya depo-depo pemasaran ini, harga ikan bisa relatif stabil. Alumnus Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian IPB itu memberikan contoh. Setiap hari petambak nila dari Cirata, Jawa Barat, mengirimkan ikannya ke pasar Muara Angke, Jakarta. Padahal, pasar Muara Angke itu banyak mendapat pasokan dari nelayan tangkap. Kalau pasokan dari nelayan lagi tinggi, maka harga ikan nila dari Cirata tadi bakal jatuh.
Dengan depo pemasaran, ikan nila tadi bisa disortir dan dipotong-potong, lantas disimpan di ruang pendingin, sehingga harga ikan nila tidak terpukul ketika hasil perikanan tangkap sedang membanjir. Tetapi, kalau sekarang ini, “Semi gambling. Mereka mengirim nila setiap hari ke Muara Angke,” kata kelahiran Majalengka, Jabar, 6 Mei 1958, itu.
Nah, pemerintah akan memfasilitasi depo pemasaran ini. Untuk Jakarta, menurut Master of Bussiness Administration (MBA) bidang Industrialization dan Management, Maastricht, Belanda, itu sudah ada beberapa pengusaha yang tertarik mendirikan depo pemasaran ikan. “Mereka adalah pemain di pasar-pasar ikan,” ungkap ayah dua anak ini.
Para pemilik depo ini, lanjut Sadullah, harus bisa membantu mendesain bisnis para pembudidaya ikan. Sebab, kalau deponya bagus, tapi pembudidaya ikan atau nelayan tangkap kurang bagus, juga sia-sia. “Artinya di dalam suatu daerah sudah ada sistem kapan harus panen, kapan tebar sehingga panen dapat berkelanjutan setiap hari,” katanya.
Kalau orang pasar, kata penggemar makan ikan itu, tidak berbicara total produk ikan per tahun, tapi butuh berapa dan dalam bentuk apa. Jadi, harus diatur. Misalnya, produksi suatu kawasan 100 ton per musim. Tetapi belum tentu bisa memasok ikan secara teratur. Akibatnya, “Hari ini produksi melimpah, besok nggak ada. Padahal, restoran tidak menginginkan seperti itu, tapi tiap hari. Di sinilah pentingnya depo pemasaran,” tandasnya.
Lebih Menggairahkan
Tentunya, depo pemasaran ini lebih dekat ke hulu (pelaku budidaya ikan atau nelayan tangkap). Sedangkan yang lebih dekat ke konsumen akhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga akan mengembangkan one village one market (OVOM). Selain merehabilitas pasar tradisional, juga membangun pasar baru, pasar mobil, dan sistem waralaba. Merehabilitasi pasar tradisional dan membangun pasar baru merupakan ranah (domain) pemerintah, sedangkan pasar mobil dan pola waralaba merupakan ranah swasta.
Jika depo pemasaran ikan ini kian banyak, dampaknya terhadap peningkatan konsumsi ikan kian terasa. Ia memberikan contoh. Industrial catering (antara lain, pelaku jasa boga yang memasok makanan buat karyawan perusahaan) masih kekurangan pasokan ikan bermutu dan kontinu. Mereka sangat berhati-hati memilih ikan karena ini menyangkut makanan. “Mereka sangat khawatir dengan kualitas ikan,” kata pejabat yang pernah berkarir di Pusat Pengembangan Usaha, Badan Agribisnis, Kementerian Pertanian, itu.
Jika program Gemarikan, depo pemasaran, dan OVOM ini berjalan seiring dan didukung para pemangku kepentingan perikanan lainnya, tentu bisnis perikanan nasional kian menggairahkan. Gemarikan berperan menggugah minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan, sedangkan depo pemasaran dan OVOM pada ketersediaan dan keterjangkauan ikan. Jadi, Kementerian Kelautan dan Perikanan tak sekadar memasang target produksi 353% sampai 2014, tetapi juga meramunya dengan penguatan dan perluasan pasar perikanan.
Yuwono Ibnu Nugroho, Syatrya Utama