Sampai kucing bertanduk pun, petani singkong tidak akan sejahtera kalau ia hanya tanam singkong dan panen singkong.
Orang kebanyakan memandang sebelah mata terhadap singkong. Apalagi umbi akar ini memang telanjur dicap sebagai makanan orang miskin. Padahal potensinya luar biasa sebagai bahan pangan, bahan baku industri pakan, dan industri bioetanol. Khusus dalam industri etanol, Amerika, India, dan Brasil mengembangkannya dengan bahan baku jagung, jarak pagar, dan tebu. Indonesia pun berpeluang menjadi produsen etanol kelas dunia, tapi dengan bahan baku singkong.
Potensi singkong Indonesia malah sudah digarap investor asal Korsel. Investor ini akan membangun tiga pabrik etanol berkapasitas total 180.000 kiloliter. Dengan totak investasi senilai Rp1,2 triliun, mereka mulai mengembangkan penanaman singkong di Gowa dan Takalar, Sulsel untuk mendapatkan bahan baku. Satu pabrik saja membutuhkan 600 ribu ton singkong segar per tahun yang akan ditanam pada lahan seluas 10.000 ha. “Dunia datang ke Indonesia, kok kita malah tidak peduli,” ucap Marwah Daud Ibrahim dalam acara “Roundtable Singkong” yang mengangkat tema “Singkong Sejahtera Bersama” di Gedung Kadin, Jakarta (12/4).
Pola Klaster
Lebih jauh dalam presentasinya, Marwah yang kini menjabat Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) memaparkan betapa nilai ekonomi singkong tidak bisa dibilang kecil bila serius dikembangkan. Singkong bisa dijadikan mocaf (modified cassava flour) atau tepung singkong yang dimodifikasi. Mocaf ini bisa menjadi campuran terigu sehingga berpotensi mengurangi impor terigu. Mengutip data Gatra September 2009, ia membeberkan, tahun lalu volume impor terigu kita mencapai 4,6 juta ton per tahun atau senilai Rp22,5 triliun.
“Untuk industri kertas, kita impor (mocaf) sampai 1 juta ton. Kalau harganya Rp4.000 per kg, apa nggak Rp4 triliun itu? Untuk mengganti terigu 10% saja berarti Rp2,5 triliun. Terus etanol (Sulsel), nilainya hampir Rp1 triliun. Siapa bilang (singkong) kecil?” sergah Marwah. Karena itu, wanita yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden ini mengaku begitu serius ingin mengembangkan singkong bersama rekan-rekannya di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Singkong termasuk komoditas yang ditanam di lahan marginal. Petaninya pun rata-rata miskin, bertanam sendiri-sendiri, menjual sendiri ke tengkulak-tengkulak yang bertingkat-tingkat untuk sampai konsumen. Apalagi produktivitas tanamannya juga rendah, hanya 15—30 ton. Padahal dengan teknologi budidaya yang benar, produktivitas bisa digenjot sampai 40 ton, bahkan 70 ton per hektar. Dan dari survei 40 petani di Bogor ditemukan fakta, sebagian besar petani berusia di atas 50 tahun dengan pendidikan maksimal lulus SD. Pendapatan mereka hanya Rp750 ribu setahun. Pokoknya, “Selama petani hanya tanam singkong, panen singkong, sampai kucing bertanduk pun tidak bisa (sejahtera),” tandas tokoh yang kini mendapat julukan “Ratu Singkong” ini.
Karena itu, supaya petani lebih sejahtera, istri Ibrahim Tadju bersama rekan-rekannya mengajukan konsep pengembangan singkong sistem klaster agroindustri supply-chain berskala 300 ha. Dengan sistem ini, kelompok petani bersama praktisi agribisnis lainnya secara bersama-sama mengupayakan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah singkong sebelum menjualnya ke konsumen dalam negeri maupun ekspor.
Dalam klaster tersebut, ada petani, pabrik mocaf, pabrik tapioka, lembaga keuangan mikro, juga motivator. Petani, sendiri kecuali bertanam singkong juga memelihara sapi, bertanam kacang koro sebagai pakan ternak, menanam pohon jabon untuk menjaga sumber air dan sumber kayu. Mereka juga punya saham di pabrik dan diharuskan mempunyai tabungan di lembaga keuangan mikro. Targetnya, “Penghasilan petani bisa Rp3 juta—Rp6 juta per keluarga,” terang ibu kelahiran Soppeng, 8 November 1956 ini.
Mengubah Pola Pikir
Konsep tersebut sudah berhasil dikembangkan di Ciamis dan Garut, Jabar, tapi skalanya, diakui Marwah, masih kecil. Untuk itu, pihaknya mengajukan proposal ke Bappenas guna mengembangkan 30 klaster seluas 9.000 ha dengan total investasi Rp1,6 triliun lebih. “Kami ditanya tentang dampak ekonominya. Yang terpengaruh langsung 45.000 orang, sedangkan secara tidak langsung sekitar 300 ribu orang,” jelasnya.
Untuk mewujudkan kesejahteraan petani singkong lewat sistem klaster tersebut, diakui ibu tiga anak ini, tidak mudah dan butuh waktu lama. “Kita memang harus berpikir jangka panjang paling tidaak sampai 2045,” ujarnya. Namun kalau tidak dimulai, sungguh sayang karena kita dikarunia Allah lahan yang luas, matahari sepanjang tahun, juga hujan yang banyak. Di samping itu pula kita harus mengatasi kemiskinan yang masih menggelayuti 110 juta penduduk. Lantas bagaimana cara memulainya? “Kita mulai dengan mengubah mindset (pola pikir). Ini singkong bisa bikin sejahtera,” urai doktor komunikasi internasional jebolan American University, Washington ini.
Perubahan pola pikir itu tidak hanya di kalangan petani tapi juga mencakup tokoh-tokoh birokrasi dan para sarjana muda di daerah tempat klaster akan dikembangkan. Pakar komunikasi ini kemudian mengajak duduk bersama mengorkestra pemikiran mereka agar mempunyai visi yang sama. Setelah visi sama, lalu cara pandang yang sama, tekad untuk membuat terobosan, dan bersinergi bersama.
Baginya, soal-soal komunikasi tentu bukan hal yang sulit karena memang di situlah keahlian. Apalagi kesehariannya memang memberikan pelatihan Mengelola Hidup Merencanakan Masa Depan (MHMMD). “Ya memang tugas saya menjadi simpul-simpul komunikasi. Saya optimis, ini bisa berhasil,” Marwah menutup bincang-bincang dengan AGRINA di sebuah hotel di kawasan Cempaka Putih, Jakarta.
Peni SP