Perdagangan bebas ASEAN-China membuka peluang “menghitamkan” minuman masyarakat China. Sayang, pasar premiumnya belum berkembang.
Jauh sebelum AC-FTA berlaku, sejumlah eksportir anggota Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) sudah menggelar berbagai pameran di sejumlah kota besar di China guna mempromosikan kopi dan produk olahannya. Misalnya, berpartisipasi dalam “Tea & Coffee World Cup” dan “Indonesia Solo Exhibition” di Shanghai pada 2006. AEKI juga rutin mengikuti China-ASEAN Expo di Kota Nanning, setiap tahun.
Bahkan PT Taman Delta Indonesia dari Semarang, Jateng, sudah merintis ekspor kopi biji ke China sejak 2007 dan sempat berjalan selama dua tahun. “Namun masih partai kecil karena permintaan buyer di sana masih sedikit,” ujar Moelyono Soesilo, Manajer Ekspor PT Taman Delta Indonesia kepada AGRINA awal bulan ini. Belakangan ekspor tersebut terhenti karena pembeli mengalihkan impor ke Vietnam yang harga jualnya lebih murah akibat biaya transportasi lebih rendah. Selain itu, karena itu pembeliannya partai kecil, pihaknya lebih mengutamakan partai besar ke Eropa dan Amerika.
Asal Hitam dan Pahit
Moelyono mengklaim, dari sisi citarasa, baik kopi robusta maupun arabika, dari Indonesia tidak bisa disubstitusi kopi asal negara produsen lain, termasuk Vietnam. “Namun karena peminum kopi di China baru terbentuk, maka bagi mereka yang penting asal pahit dan murah laku. Berbeda dengan peminum kopi di Jepang, Amerika, dan Eropa yang sudah mengutamakan citarasa dalam minum kopi,” jelasnya lagi.
Karena itu, Moelyono berpendapat, saat ini yang prospektif diekspor ke China adalah produk-produk kopi olahan seperti kopi instan dan mudah larut (soluble). Kalau kopi biji, terutama yang premium masih kecil pangsa pasarnya. Ke depan ia yakin China merupakan potensi pasar yang luar biasa seiring meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk China dan berkembangnya budaya minum kopi, terutama di kalangan usia muda. Semakin maju masyarakat China, tambah Moel, mereka makin meniru budaya hidup masyarakat Amerika dan Eropa yang memang suka minum kopi. Dengan demikian budaya minum teh, terutama di perkotaan makin ditinggalkan.
Ketua Asosiasi Perusahaan Indonesia (Apindo) Daerah Lampung Yusuf Kohar pun berpendapat lain. Dari sisi hitung-hitungan bisnis, eksportir kopi nasional masih lebih untung mengekspor kopi ke Eropa, Jepang dan Amerika. “Selain memang sudah berhubungan bisnis dalam jangka waktu lama, juga permintaannya dalam partai besar sehingga lebih memudahkan dan menguntungkan dalam membuat perencanaan bisnis,” ujar Yusuf yang juga Manajer PT Indokom Citra Persada, salah satu eksportir kopi di Bandarlampung.
Senada dengan Moelyono, Yusuf mengatakan, seiring mulai terbentuknya selera peminum kopi di China tentu lambat laun mereka akan membutuhkan kopi bercitarasa tinggi yang tidak dimiliki Vietnam, terutama kopi jenis arabika.
Sementara Azischan Satib, Ketua Kompartemen Hukum dan Arbitrase BPD AEKI Lampung, mengatakan, sebagai daerah pengekspor kopi terbesar secara nasional, terutama jenis robusta, Lampung diuntungkan AC-FTA. “Kopi robusta Lampung semakin memiliki daya saing yang tinggi di pasaran internasional, khususnya ASEAN dan Tiongkok,” ujarnya. Menghadapi pesaing, imbuh Azis, petani harus meningkatkan mutu kopinya agar mencapai kualitas nomor satu yang laku di pasar internasional.
Syafnijal D. Sinaro (Kontributor Lampung)