Hari-hari ini peternak ayam petelur bisa sedikit tersenyum lantaran harga sudah lebih baik daripada delapan bulan lalu. Namun mereka tetap menghadapi sejumlah kendala yang perlu solusi.
Menghadapi perdagangan bebas ASEAN-China yang sudah empat bulan berjalan, para peternak petelur (layer) se-Jawa berkumpul di Solo, Jateng (9/4). Dalam pertemuan bertema “Peran Pemerintah dalam Mengentaskan Layer Mandiri di Era AC-FTA” itu hadir pula Ir. Djajadi Gunawan, Direktur Non Ruminansia, Ditjen Peternakan, Kementan. Sejumlah peternak anggota Pusat Informasi Unggas (PINSAR) tersebut melontarkan komentar, unek-unek, dan kendala yang dialami di daerah masing-masing.
Soal pemberlakuan AC-FTA, ada yang paham, tak kurang pula yang tidak tahu maksud dan konsekuensi dari perjanjian perdagangan tersebut. “Wong sebelum ACFTA saja, kita sudah kebanjiran produk Cina. Apalagi sekarang sudah berlaku, jadinya seperti air grojok,“ ucap Win Chen, peternak layer kakap asal Solo. Menurutnya, enam bulan terakhir ini, kondisi bisnis layer tidak menjanjikan karena pergerakan harga pakan dan telur cukup fluktuatif. Meskipun begitu, berlakunya ACFTA justru dalam beberapa hal menguntungkan. Pasalnya, China menjual bahan pakan murah dan peralatan kandang murah.
Sementara itu Yoseph Setiabudi, penasehat Pinsar, mengatakan, pada 1990-an sekitar 60%—80% peternak layer bangkrut. Namun dengan sigap dibuatlah proposal untuk menyelamatkan peternak ke Pinsar sehingga hanya 20% yang gulung tikar. Bisa jadi, menurut pengamatan Yoseph, saat ini kondisinya mirip dengan era 1990-an sehingga perlu penyelamatan segera.
Stabilisasi Harga
Beberapa peternak, khususnya dari Kendal, Jateng, menambahkan, idealnya rasio harga pakan dengan harga jual telur itu 1 : 4. Dengan rasio ini harga pokok produksi bisa terlampaui. Namun sekarang baru 1 : 3. Contohnya harga pakan sekarang Rp3.300 per kg dan harga jual telur Rp11.200 per kg. Padahal kalau mengacu rasio 1 : 4, semestinya harga telur Rp13.200.
Masih terkait harga, Djajadi dari sisi pemerintah menyayangkan mengapa penjualan telur terkonsentrasi ke wilayah Jabodetabek. Padahal daerah-daerah di luar itu masih memerlukan pasokan telur. “Diperlukan promosi ke berbagai wilayah yang belum terjamah. Dengan begitu, pasar telur di Jabodetabek tidak terjadi oversuplai dan justru harganya bisa terus dipertahankan baik,“ usulnya.
Untuk menstabilkan harga, Yoseph punya ide sendiri. Selama ini peternak di beberapa daerah dibebani berbagai pungutan resmi dan tidak yang membuat ekonomi biaya tinggi. Karena itu, ia mengusulkan, semua pajak dimasukkan pembelian bibit ayam (DOC) menjadi pajak final. Separuh penerimaan pajak dimasukkan sebagai penerimaan pemerintah, separuh lainnya dimasukkan ke Pinsar. Dana Pinsar ini digunakan untuk menyerap telur tatkala harga jatuh dan berinvestasi membeli mesin penepung telur. Jadi dalam hal ini Pinsar berfungsi seperti Bulog sehingga stabilisasi harga bisa tercapai.
Selain itu mencuat pula keluhan klasik seperti tidak jelasnya tataruang untuk usaha peternakan. Djajadi mengutarakan, pertengahan Maret lalu, Menko Ekuin mengadakan rapat membahas UU No. 18/2009 tentang Tata Ruang Kawasan Industri dan Budidaya, termasuk budidaya peternakan. “Diperjelas dengan Permentan No. 41/2009 tentang Kriteria Teknis Pengusahaan Kawasan pertanian. Namun sayangnya, sampai detik ini belum diperoleh hasil yang jelas,“ ujarnya.
Ketidakjelasan pengaturan ruang dan wilayah itu memunculkan masalah. Izin HO yang sudah dikantongi tidak menjamin peternakan aman dari penggusuran meskipun farm lebih dulu ada ketimbang pemukiman di sekitarnya. “Kalau sudah begitu, otomatis farm disuruh pergi dengan beragam alasan. Mana tanggung jawab pemerintah?,” gugat Eko Joko dari Kediri, Jatim.
Ryan Masanto (Kontributor Magelang)