Senin, 26 April 2010

Bioflok Atasi Mahalnya Pakan dan Penyakit

Teknologi bioflok dapat mengontrol bakteri patogen dan mendaur ulang protein yang berasal dari pakan lebih dari 50%.

Mahalnya harga pakan dan mewabahnya berbagai macam penyakit menjadi ancaman pengembangan budidaya akuakultur di Tanah Air. Jika kedua faktor ini tak bisa diatasi, maka cita-cita menjadi produsen produk akuakultur terbesar di dunia sulit tercapai. Salah satu teknologi yang perlu diimplementasikan untuk mengatasi kedua masalah tersebut adalah teknologi bioflok.

Hal itu terungkap pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA-2010) di Bandarlampung (20/4). Kegiatan tersebut diikuti 379 peserta yang terdiri dari praktisi akuakultur, pengusaha, peneliti, akademisi, dan pejabat terkait. FITA yang dibuka Dr. Ir. Gellwyn Daniel Hamzah Yusuf, M.Sc., Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan ini bertema “Inovasi Teknologi bagi Terwujudnya Indonesia sebagai Produsen Akuakultur Terbesar”. 

Solusi Bioflok

Pada kegiatan tersebut dibahas perkembangan teknologi bioflok. Prof (E.M) Yoram Avnimelech dari Israel Institute of Technology menegaskan, teknologi konvensional sudah tak mungkin bisa memacu produksi budidaya akuakultur. Lagi pula di beberapa kawasan dunia, seperti Afrika, Timur Tengah, dan China, saat ini mengalami keterbatasan ketersediaan air dan lahan untuk budidaya akuakultur. “Bahkan di Israel, untuk mencukupi kebutuhan air bagi warganya saja terpaksa menyuling air laut karena air tawar tidak mencukupi,” katanya.

Yoram menambahkan, setiap tahun kebutuhan air terus meningkat, sementara sumber-sumber air makin berkurang. Karena itu ekstensifikasi untuk meningkatkan produksi budidaya akuakultur tidak memungkinkan lagi. Khusus budidaya udang, ketersediaan air laut tidak terbatas. Namun lahan tetap jadi persoalan karena 60% penduduk di dunia tinggal di seputar pantai. Belum lagi pinggir pantai harus dilestarikan dengan bakau untuk menjernihkan air dan menetralisir racun-racun yang terdapat di perairan pantai.

Selain itu, sistem intensifikasi juga lebih mahal karena membutuhkan infrastruktur. Sistem ini tetap bisa dilakukan dengan konservasi air, sistem biosekuriti, kontrol suhu, menghemat pakan, dan menimimalkan dampak lingkungan.

Budidaya akuakultur juga menghadapi persoalan rendahnya kualitas air karena tercemar limbah industri. Guna meminimalkan dampak percemaran ini, air harus diperlakukan agar bakteri yang merugikan terkendali dan sebaliknya bakteri yang diperlukan lebih optimal. Teknologi bioflok dapat mengontrol bakteri dan mendaur ulang protein yang berasal dari pakan lebih dari 50%.

Efiensi Pakan

Sementara Prof. Dr. Enang Harris menyatakan, dengan menerapkan teknologi bioflok, 70% pakan yang menjadi limbah budidaya akuakultur bisa dimanfaatkan. Sebab, pada prinsipnya semua nutrien limbah budidaya yang jumlahnya lebih banyak ketimbang yang diserap, dimanfaatkan untuk akuakultur dari mulai rumput laut, kerang-kerangan, tiram, tripang, ikan detritivora, herbivora, dan omnivora.

Itulah akuakultur berbasis trophic level yang dapat menghasilkan komoditas utama (yang diberi pellet dan bernilai ekonomis tinggi) dan komoditas ber-trophic level rendah dalam jumlah yang lebih besar dari komoditas utama dengan biaya murah karena tanpa biaya pakan. Bahkan, kata Enang, teripang bisa memakan feses ikan kerapu sehingga di Vietnam budidaya udang dikombinasikan dengan teripang.

Mengenai efektivitas aplikasi bioflok pada udang, Enang memaparkan hasil penelitian untuk mengkonversi nitrogen dari limbah pakan menjadi bakteri heterotrof yang dapat digunakan sebagai pakan dan perbaikan kualitas air. Percobaan pertama dilakukan Purnomo Hadi (2006), yaitu  budidaya Vanname dengan penambahan probiotik Bacillus sp. dan sukrosa sebagai sumber karbon pada dinamika populasi Vibrio dan bakteri total.

Percobaan kedua dilakukan Rachmawaty pada 2008 untuk mengetahui pemanfaatan limbah budidaya lele buat nila. Dan percobaan terakhir, pemanfaatan limbah budidaya lele untuk udang galah dilaksanakan Rohmana tahun lalu.

Berdasarkan tiga percobaan tersebut diketahui, penambahan karbon pada media budidaya bisa menumbuhkan bakteri heterotrof dan amoniak dimanfaatkan untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Setiap gram N (NH4) memerlukan 3,57 g HCO3- 15,17 g karbohidrat dan 4,71 g oksigen untuk menjadi 8,07 g bakteri dan 9,65 g CO2.

Enang menyimpulkan, teknologi bioflok mampu mengkonversi amoniak sebagai limbah budidaya ikan/udang menjadi bakteri yang dapat dimanfaatkan oleh organisme budidayanya sendiri seperti udang Vanname atau organisme lain yang dibudidayakan bersama. Dan ini ditujukan sebagai pemakan limbah tersebut supaya pakan menjadi lebih efisien.

Jika dipadukan dengan akuakultur berbasis trophic level, teknologi bioflok diharapkan dapat meminimalkan limbah dari ikan-ikan yang berbasis pellet. Selama periode 2009-2014, jumlah pellet sedikitnya 4,4 juta ton dan akan melepaskan limbah N sedikitnya 0,114 juta ton. “Jadi teknologi bioflok dan akuakultur berbasis trophic level akan lebih menjamin sustainabilitas akuakultur Indonesia,” jelas guru besar yang sekaligus juga paktisi budidaya akuakultur ini.

Syafnijal D. Sinaro (Kontributor Lampung)

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain