Senin, 12 April 2010

Hadapi Bencana Alam dan Gangguan Cuaca

Peristiwa dan pemberitaan tentang bencana alam dan gangguan iklim yang mengancam produksi pangan serasa begitu mencekam. Sejak awal tahun sampai Maret lalu, banjir dan tanah longsor melanda belasan ribu hektar sawah dan puluhan kilometer jaringan irigasi, cuaca ekstrem dan kemarau datang kepagian. Masih ditambah lagi dengan kenaikan harga pupuk subsidi, permasalahan bantuan benih, keharusan mengubah pola tanam, ketidakpastian biaya produksi, perkembangan hama penyakit. Pada ujungnya konsumen akan terbebani kenaikan harga produk pangan, sementara margin pendapatan petani produsen juga berkurang (sekalipun harga pembelian pemerintah telah dinaikkan).

Situasi mengkhawatirkan, menurut Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian Sutarto Alimoeso, terutama akan dialami daerah-daerah yang selama ini musim tanam padinya mundur akibat El Nino lemah 2009, seperti NTT, NTB, Maluku, serta sebagian Jawa dan Bali bagian utara. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengemukakan, 3.148.574 ha lahan irigasi dan non-irigasi rawan kekeringan dari Maret sampai Mei. Luas total areal pertanaman padi berpengairan teknis 6,6 juta ha di 17 provinsi. Timbul kekhawatiran target produksi padi 2010 yang 66,68 juta ton gabah kering giling sulit dicapai.

Datangnya musim kemarau yang lebih awal berdampak pada meningkatnya biaya untuk pembelian sarana produksi, kata Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB, Hermanto Siregar. Apalagi produksi beras pada musim tanam gadu mencapai 35% dari rata-rata produksi setahun, kata pengamat perberasan, Husein Sawit. Sedangkan menurut pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta, Billy Haryanto, pedagang mulai gencar membeli gabah petani untuk disimpan, dan diperkirakan kenaikan harga beras akan terjadi lebih awal. Bisa pertengahan tahun (Kompas, 11 Maret 2010).

Ancaman juga datang dari hama dan penyakit.  Menurut Winarno Tohir, Ketua Umum KTNA, dengan cuaca lembap begini, wereng pesat sekali berkembang biak. Mudaid, petani Indramayu malah mengatakan, wereng yang dulu cuma muncul saat musim kemarau, kini juga muncul pada musim hujan. Winarno menganjurkan pola tanam diatur ulang dan tidak memaksakan diri menanam padi. Ia pun mengingatkan tentang diversifikasi pangan yang harus dikonkretkan. Hal serupa dinyatakan Dirjen Tanaman Pangan Sutarto. Menggantinya dengan tanaman lain untuk menekan risiko kerugian. Sedangkan Husein Sawit bilang, menanam jagung relatif lebih hemat air, “Apalagi saat ini harga jagung Rp2.500 per kg”. Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia, Agusdin Pulungan, menyarankan petani lahan kering menanam umbi-umbian dan singkong.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi dan pihak swasta seperti Dupont bergiat melakukan pemuliaan padi untuk mendapatkan varietas yang toleran terhadap banjir atau tahan kekeringan dan perubahan iklim. Penanamannya dicocokkan dengan musim, serta diadopsi pada berbagai wilayah di Indonesia yang sangat luas dan kondisinya begitu beraneka. Ada padi yang spesifikasinya untuk lahan kering, ada padi rawa atau floating rice  -- kalau panen harus pakai perahu -- yang bisa untuk daerah rawan banjir atau pasang surut. Ada banyak jurus pintar untuk menjaga ketahanan pangan dari ancaman bencana alam dan perubahan iklim. Ada juga temuan-temuan yang ampuh untuk memerangi hama dan penyakit tanaman.

Betapa kita dituntut untuk senantiasa belajar dan mengambil tindakan pintar dalam menghadapi gangguan alam yang tak terduga. Juga makin disadarkan bahwa bencana dan anomali iklim itu secara tidak langsung akibat ulah manusia pula. Maka kita dituntut melestarikan lingkungan, memulihkan kondisi daerah aliran sungai, mengurangi efek rumah kaca dan lain-lain. Kita seyogyanya juga menjadi pintar mengatasi hambatan yang diakibatkan oleh perbuatan langsung manusia itu sendiri, atau mencegahnya. Hambatan itu di antaranya: bantuan benih yang penyalurannya tidak sesuai permintaan petani dan tidak tepat waktu, alokasi APBN untuk subsidi pupuk dikurangi, sehingga harga pupuk bersubsidi dinaikkan, penelantaran irigasi yang rusak, investasi pemerintah untuk  infrastruktur transportasi yang sangat lambat, ketidakmampuan mencegah pengalihan fungsi lahan pertanian, akses permodalan yang dipersulit, kurangnya penyuluhan. Dan banyak lagi.   

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain