Salah satu penyebab rendahnya produksi cabai adalah gangguan hama yang menyerang sejak tanaman di persemaian hingga saat panen. Beberapa di antaranya adalah Thrips sp., tungau, dan Liriomyza sp.
Gangguan hama pada tanaman cabai sangat kompleks. “Hama menjadi musuh utama petani cabai, sebab jika tidak dikendalikan kerugian yang ditimbulkan cukup besar bahkan bisa gagal panen,” kata Unang, petani cabai keriting di Kp. Cinangsih, Pulosari, Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jabar.
Namun menurut Heru Hermawan, Sales Supervisor West Java Agricultural Product PT BASF Indonesia, hama-hama itu sebenarnya bisa ditangani secara mudah jika petani menyiapkan langkah pencegahan tepat dengan menggunakan insektisida yang tepat pula. “Dosis tepat, waktu dan teknik aplikasi tepat. Sedangkan jika dosis berlebih atau kurang dari anjuran, justru akan menyebabkan terjadinya resistensi,” jelas Heru.
Sehat dan Produksi Maksimal
Untuk mengendalikan beberapa jenis hama yang menyerang cabai, Unang menggunakan insektisida Rampage 100 EC. Insektisida golongan terbaru berbahan aktif klorfenapir 100 g/l ini dirasakannya ampuh untuk mengendalikan hama Thrips sp., tungau, dan Liriomyza sp. Unang tidak khawatir lagi karena aplikasi yang dilakukannya selalu mematuhi aturan. Ia menggunakan Rampage 100 EC dengan dosis 1 l/ha. Biasanya ia melakukan penyemprotan sebanyak 5 kali dalam satu musim tanam, yaitu pada 30, 40, 50, 70, dan 80 hari setelah tanam (HST).
“Memang kita menganjurkan untuk hanya menggunakan Rampage antara 3—5 kali dalam satu musim tanam. Namun jika ada serangan pada saat-saat awal dan setelah masa aplikasi Rampage, pengendalian hama dapat dilakukan sesuai kebiasaan petani,” jelas Heru. Aplikasi sebaiknya, tambah Heru, dilakukan menjelang tanaman cabai berbunga sekitar 45 HST dengan interval 3—7 hari.
Meski demikian, lanjut Unang, penggunaan insektisida produk PT BASF Indonesia itu juga harus dibarengi dengan pemilihan benih cabai yang bagus, teknik budidaya yang baik, dan ketekunan. Sehingga hasil panen yang diperolehnya pun bisa maksimal. “Jangan beranggapan dengan penyemprotan tersebut semuanya jadi bagus. Kita tetap harus memonitor serangan hama,” katanya.
Biaya produksi yang dikeluarkannya mencapai Rp55 juta termasuk 20 botol Rampage 100 EC untuk setiap hektar lahan yang terdiri dari 22 ribu tanaman. Bagi Unang biaya tersebut tidak masalah, “Sebelum menggunakan Rampage hasilnya 600 g per tanaman, setelah menggunakan Rampage 750 g,” ungkapnya. Jika sebelumnya ia panen 13,2 ton per ha, kini rata-rata 16,5 ton per ha. Jadi ada selisih tambahan produksi sebanyak 3,2 ton per ha.
Sejak melihat Unang berhasil panen cabai lebih banyak, Yudi Cahyudi, petani cabai di dusun yang sama pun tidak mau ketinggalan untuk mengaplikasikan Rampage 100 EC pada lahannya. “Hingga panen ke 14 kali dari 17 kali panen cabai ini, daunnya masih terlihat segar dan hijau serta tanaman sehat, sangat berbeda dibandingkan yang tidak menggunakan Rampage,” kata Yudi. Selain itu, tambah Yudi, kemudahan dalam aplikasi Rampage yang bisa dibarengkan dengan fungisida. Menurut Yudi, jika hama terkendali membuat tanaman sehat dan produksinya maksimal.
Tri Mardi Rasa