Senin, 12 April 2010

Merakit Kunci Kemandirian Benih Padi Hibrida

PT Sumber Alam Sutera mengembangkan tetua sendiri di Integrated Research Centre di Tanjungan, Lampung Tengah.

Ketut Supartha, 48, penangkar benih padi hibrida di Rama Dewa, Seputih Raman, Lampung Tengah, ini sumringah. Dengan menangkarkan benih Bernas Rokan, petani mitra PT Sumber Alam Sutera, anak perusahaan Artha Graha Network, ini bisa mengantongi pendapatan Rp18 juta per hektar (ha) per musim tanam. Padahal, jika ia menanam benih padi Ciherang, pendapatan dari menjual gabah sekitar Rp10 juta per ha per musim tanam.

Dalam bermitra dengan SAS, keturunan transmigran Bali ini mendapat kucuran dana sekitar Rp12,3 juta per ha per musim tanam dari Bank Artha Graha melalui skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Jika benih yang dihasilkannya 1,2 ton per ha, Supartha mendapat keuntungan sekitar Rp6 juta, setelah dipotong kreditnya. Kelebihan produksi benih di atas 1,2 ton per ha, akan dibeli SAS lagi seharga Rp11.000 per kg.

Biasanya, menurut Supartha, produksi benihnya berkisar 2—2,5 ton per ha per musim tanam. Dari kelebihan produksi tersebut, ia masih bisa mengantongi duit sekitar Rp8 juta—Rp14 juta. “Kita buat paket seperti ini untuk mendorong petani meningkatkan produktivitas benihnya,” kata Arviono Sahar, Kepala Integrated Hybrid Centre (IHC) SAS di Trimurjo, Lampung Tengah. “Saya senang menjadi penangkar,” timpal Supartha.

Butuh Tiga Tahun

Dulu, menurut Heka Widya A. Hertanto, Direktur SAS, produksi benih petani penangkar sekitar 600—800 kg per ha per musim tanam. Pada panen raya benih Bernas Rokan, yang dihadiri Baran Wirawan, Sekretaris Menteri Pertanian, di Rama Dewa, Jumat (26/3), secara ubinan produksi benihnya sekitar 2,9 ton per ha. “Kita butuh tiga tahun untuk menghasilkan benih 2,9 ton per hektar,” terang Heka di IHC SAS.

Supartha merupakan salah satu dari 1.300 petani penangkar yang menangkar benih padi hibrida Bernas Rokan, Bernas Super, dan Bernas Prima di lahan sekitar 1.500 ha di Lampung. “Kita merangsang para petani yang pintar, rajin, dan unggul ini membuat benih padi hibrida,” kata Tommy Winata, pemilik Artha Graha, di Rama Dewa.

Bernas Rokan merupakan rakitan BB Padi Sukamandi, Kementerian Pertanian (Kementan), yang dikembangkan SAS. Untuk membangun kemandirian, SAS membangun Integrated Research Centre (IRC) di Tanjungan, Lampung Tengah. Di IRC dikembangkan tetua padi hibrida, yaitu CMS (cytoplasmic male sterile atau tetua betina), maintainer (galur pelestari), dan restorer (tetua jantan) Bernas Rokan, Bernas Super, maupun Bernas Prima.

Produksi CMS

“Kunci kemandirian adalah memproduksi sendiri CMS,” jelas Supriyono Siswowijojo, Kepala Tim Teknis SAS. Agar diperoleh CMS yang benar-benar murni, CMS ini dikawinkan dengan galur pelestari. Kemurnian CMS ini nantinya sangat menentukan produktivitas gabah yang dihasilkan dari penanam benih padi hibrida. “Pemurnian CMS menentukan pengisian gabah,” imbuh Hadi Sunarto, Technical Advisor SAS.

Di IRC, yang menempati lahan sekitar 13,5 ha juga dikembangkan CMS, galur pelestari, dan tetua jantan Bernas Super dan Bernas Prima, kerjasama SAS dengan Guo Hao Seed Industry, China, dan Litbang Kementan. Dengan begitu, SAS tidak lagi tergantung pada impor tetua padi hibrida karena, menurut Heka, China kini melarang ekspor CMS dan restorer.

Untuk menghasilkan benih padi hibrida, maka CMS dikawinkan dengan restorer supaya diperoleh benih padi hibrida. Jika benih padi hibrida ini ditanam petani gabah, maka akan menghasilkan gabah sekitar 9—12 ton GKP per ha. Bayangkan kalau CMS-nya kurang murni, produktivitas gabahnya tidak akan tinggi sehingga merugikan petani.

Nah, untuk itu hasil pengembangan tetua padi hibrida di IRC ini diujicobakan dulu di IHC, yang menempati lahan seluas kurang lebih 2,5 ha. Di IHC ini bisa diketahui berapa produksi benih padi hibrida. Di IHC juga diujicoba berapa produksi gabah dari penanam benih padi hibrida. Setelah diketahui hasilnya bagus, baik produksi benih maupun gabahnya, baru kemudian penangkaran benih dikerjasamakan dengan petani. Jadi, “Kita nggak mau merugikan petani (penangkar dan gabah),” kata Puji Pramono, anggota Tim Teknis SAS.

Sejak 2006, SAS sudah mengembangkan sebanyak tujuh varietas padi hibrida, yaitu Bernas Super, Bernas Super-2, Bernas Prima, Bernas Prima-2, Bernas Prima-3, Bernas Prima-4, dan Bernas Rokan. Luas lahan yang sudah ditanami padi hibrida SAS sekitar 363.601 ha dengan produksi sekitar 3,1 juta ton gabah atau setara 2 juta ton beras.

Dana yang sudah dikucurkan Artha Graha Network untuk penelitian dan penanaman benih padi hibrida ini, menurut Babay Chalimi sekitar Rp120 miliar. Tahun depan, SAS menargetkan memproduksi benih padi hibrida sekitar 2.000 ton. “Kita buktikan bahwa kita bisa, walau kita sudah berdarah-darah,” kata Direktur Utama SAS itu saat panen raya benih di Rama Dewa itu.

Syatrya Utama

 

 

Bukti Kecintaan

Mengembangkan benih padi hibrida memang perlu kecintaan. Artha Graha Network sudah menggelontorkan Rp120 miliar. Bahkan perlu ditambah lagi Rp100 miliar. “Kita tekor terus untuk riset-riset,” aku Tommy Winata, pemilik Artha Graha di Rama Dewa.

Tapi, tidak apa-apa. “Kita berikan bukti kecintaan kita kepada petani, kepada rakyat, otomatis kecintaan kita kepada pemerintah, bangsa, dan negara. You tahu, ‘kan kita negara agraris. Dewanya kita punya: Dewi Sri. Makanan rakyat kok impor. Malu. Itu yang merangsang kita (untuk mengembangkan padi hibrida ini),” kata Tommy.

Secara nasional, penggunaan benih padi hibrida baru sekitar 5.000 ton per tahun atau sekitar 5% dari kebutuhan benih padi nasional. Selain diproduksi SAS, benih padi hibrida ini juga dikembangkan Bayer Indonesia, Bisi Internasional, Dupont Indonesia, Biogen, Syngenta Indonesia, dan PT Sang Hyang Seri. “Semua produksi benih padi hibrida itu diserap pemerintah,” jelas Baran Wirawan, Sekretaris Menteri Pertanian, usai panen raya benih padi hibrida Bernas Rokan di Rama Dewa, Seputih Raman, Lampung Tengah.

Harga beli pemerintah, melalui subsidi benih, bantuan langsung benih unggul ataupun cadangan benih nasional, terhadap benih padi hibrida ini sekitar Rp40.000—Rp50.000 per kg. Dengan produktivitas benih di atas 2 ton per hektar, diharapkan harga benih padi hibrida bisa turun. “Kalau harganya murah, petani mau beli, dan industri benih terus berkembang. Kelak, benih padi hibrida ini (harus) masuk ke pasar bebas,” tandas Baran.

Pemerintah akan mendorong melalui riset padi hibrida dengan menghasilkan bahan-bahan setengah jadi seperti varietas Rokan dan Maro. “Kemudian kita lepas kepada kalangan swasta mengembangkannya, sehingga lebih cepat berkembang,” pungkas Baran. Varietas Rokan, misalnya, sekarang dikembangkan SAS dengan nama Bernas Rokan.

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain